Pemilu 2019 Debat Capres: Gagal Menguji, Hanya Ajang Sosialisasi

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS] merespon pelaksanaan Debat Capres Cawapres perdana (17/01/2019) yang mengangkat tema hukum, HAM, korupsi, dan terorisme. Berdasarkan pemantauan KontraS, ada beberapa catatan kritis atas format debat dan bahasan dari kedua pasangan calon presiden. Adapun catatan tersebut sebagai berikut:

Pertama, sejak awal, KontraS berpandangan bahwa format debat capres cawapres yang diusung oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak akan mampu memenuhi ekspektasi publik. Metode pemberian kisi – kisi pertanyaan debat kepada masing – masing membuat debat tersebut menjadi hafalan, sehingga pernyataan yang keluar dari para kandidat cenderung kaku, retorik dan normatif.

Adanya 6 (enam) segmen yang membagi pelaksanaan debat tersebut juga tidak membawa perubahan dalam segi pembahasan, bahkan malah terkesan monoton dengan pertanyaan dan jawaban yang normatif karena tidak adanya ruang untuk mengeksplorasi pandangan maupun strategi konkrit dari masing – masing kandidat. Akibat dari format tersebut, pelaksanaan debat pun berdampak pada jawaban masing – masing kandidat yang normatif dan tidak terbahasnya persoalan hak asasi manusia secara menyeluruh, khususnya persoalan Hak Asasi Manusia yang aktual, kontekstual, sejak lama dan terus menerus menjadi persoalan dan tantangan.

Situasi yang berlangsung saat debat perdana tersebut secara tidak langsung mendelegitimasi pelaksanaan debat yang seharusnya dapat memberikan ruang bagi spontanitas dan orisinalitas gagasan, termasuk gagalnya debat menguji implementasi yang jelas, tepat dan terukur dari setiap visi misi dan jawaban Paslon. Debat hanya berisi penyampaian informasi belaka, dan tanya jawab yang dilakukan tidak menjawab substansi persoalan. Upaya saling “serang” antar paslon bukan bertujuan membahas substansi gagasan dan persoalan, tetapi lebih mengarah pada “gimmick” untuk mencuri perhatian, namun miskin dari narasi yang kontekstual dan subtantif, sebagaimana biasa dilakukan kedua kandidat selama berkampanye.

Kedua, kendati kedua belah pasangan calon melihat catatan dalam menyampaikan gagasan atau jawabannya, sangat disayangkan pernyataan para kandidat tidak disertai dengan data – data pendukung. Hal lain yang menjadi perhatian KontraS saat kedua pasangan calon saling melempar pertanyaan adalah keduanya ‘terlihat’ saling main aman dengan tidak menyampaikan hal – hal sensitif yang terkait langsung dengan masing – masing pasangan calon, semisal paslon 01 tidak berbicara mengenai kasus penghilangan paksa atau paslon 02 tidak menyinggung kegagalan era pemerintahan paslon 01 seperti kasus hilangnya dokumen TPF kasus meninggalnya Munir hingga kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan.

KontraS menduga bahwa tidak adanya data yang disampaikan dan “main aman”-nya kedua pasangan calon disebabkan kakunya format debat capres yang berawal dari pembatasan pembahasan kasus oleh KPU sehingga paparan, pernyataan, dan pendapat yang disampaikan para kandidat tidak tergali, tidak teruji, dan tidak ada tolok ukur yang mampu memberikan gambaran tingkat kemungkinan (probabilitas) dari pelaksanaan visi dan misi para kandidat. KontraS memandang bahwa absennya kasus – kasus hak asasi manusia dalam debat menambah delegitimasi kerja – kerja KPU dalam menyelenggarakan debat.

Ketiga, dampak paling signifikan atas format debat capres adalah hilangnya diskursus hak asasi manusia atas isu – isu penting seperti penyerangan rumah ibadah, kriminalisasi pejuang lingkungan/hak asasi manusia, persoalan HAM di Papua, pelanggaran HAM berat masa lalu, kelompok rentan dan minoritas, hukuman mati dan unfair trial, dan sekian banyak kasus dan isu hak asasi manusia lainnya. Hal ini diperburuk karena kedua paslon pun tidak memiliki inisiatif menyampaikan persoalan tersebut, dan bahkan cenderung menghindari. Padahal, isu – isu tersebut amat berkaitan dengan keseluruhan tema yang diangkat pada debat perdana tersebut.  

Hal diatas juga menunjukan paslon cenderung tebang pilih dalam menyampaikan tema HAM. Ada upaya menghindari pembahasan untuk persoalan isu hak sipil politik, diantaranya dengan tidak membahas persoalan di atas. Keduanya “main aman” dengan menghindari pembahasan kasus atau isu yang dianggap dapat mengganggu popularitas atau tujuan politik pragmatis lainnya. Keduanya ingin memberi kesan agenda HAM adalah dengan memberikan porsi prioritas pada hak – hak ekonomi, sosial dan budaya.

Dalam hal ini kami  menekankan kembali bahwa isu hak asasi manusia tidak selesai dalam satu debat semata. Tetapi, hak asasi manusia melekat ke dalam tiap isu yang menyangkut manusia dan hakikatnya. HAM memegang prinsip indivisible, bahwa hak-hak sipil dan politik, maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, serta hak pembangunan, tidak dapat dipisah-pisahkan, baik dalam penerapan, pemenuhan, pemantauan maupun penegakannya. Interdependent, bahwa disamping tidak dapat dipisahkan, hak-hak asasi itu saling tergantung satu sama lainnya, sehingga pemenuhan hak asasi yang satu akan mempengaruhi pemenuhan hak asasi lainnya.

Berangkat dari hal tersebut di atas, kami menyimpulkan bahwa format debat yang dijalankan tidaklah efektif untuk menguji dan menggali lebih dalam terkait gagasan, visi – misi, dan program para kandidat dalam menjawab persoalan yang terjadi di Indonesia. Paslon gagal menyajikan, gagasan dan rencana implementasi agenda hukum, HAM, korupsi dan kontra terorisme yang jelas, kontekstual, relevan dan terukur.  

 

Jakarta, 18 Januari 2019
Badan Pekerja KontraS

 

Yati Andriyani
Koordinator