Rangkaian tahapan pemilihan presiden 2019 telah dimulai. Di tengah hiruk pikuk pendukung kedua calon, baik di kehidupan sehari-hari maupun di sosial media, terdapat kelompok lain yang cenderung tidak mendukung salah satu pasangan calon atau mitra koalisinya. Kelompok ini muncul karena berbagai alasan. Seperti tidak ada satupun dari capres-cawapres dan koalisinya yang bersih dari isu korupsi, perampas ruang hidup rakyat, tersangkut kasus hak asasi manusia, maupun aktor intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Namun belakangan, kemunculan kelompok yang tidak mendukung salah satu pasangan calon presiden itu, dianggap sebagai sesuatu yang buruk atau tidak patut. Padahal dalam kehidupan demokrasi, tidak memilih adalah juga hak, seperti halnya memilih; dan setiap orang memiliki kebebasan dalam menjalankan hak pilihnya tersebut. Kehadiran kelompok yang tak memihak kedua pasangan politisi itu seharusnya dibaca sebagai ekspresi protes atau penghukuman terhadap mekanisme penentuan capres-cawapres oleh partai politik yang masih didominasi pertimbangan politik praktis dan mengesampingkan nilai-nilai seperti integritas individu, ataupun rekam jejak yang bersih, anti-korupsi, dan berpihak pada hak asasi manusia.
Lagipula, terbatasnya pilihan calon-calon pemimpin bukanlah terjadi secara alamiah, melainkan didesain dan dibentuk sedemikian rupa. Hal ini dapat dilihat dari kondisi-kondisi dalam sistem politik kita sebagai berikut:
Sebab, Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tidak melarang seseorang menjadi golput. Pidana dalam pemilu pada dasarnya mengatur mengenai kemungkinan Golput, namun berdasarkan pasal 515 UU Pemilu, terdapat unsur-unsur pidana yang sudah diatur dengan jelas kepada siapa pidana itu dapat berlaku. Pasal 515 UU pemilu berbunyi : Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Atas dasar rumusan pasal ini, maka terdapat catatan penting yang harus diperhatikan : Pertama, memperhatikan unsur “dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih,” dengan unsur ini maka yang dapat dipidana hanya orang yang mengegrakkan orang lain untuk golput pada hari pemilihan dengan cara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya. Dengan demikian tanpa adanya janji atau memberikans ejumlah uang atau materi, tindakan sekedar menggerakkan orang untuk golput tidak dapat dipidana. Kedua, orang yang memilih golput atau mendeklarasikan dirinya Golput tidak dapat dipidana. Masih sejalan dengan unsur sebelumnya. Seorang yang memilih golput tidak dapat dipidana. Bahwa seseorang mendeklarasikan dirinya golput adalah hak yang dijamin oleh Undang-Undang dan Konstitusi selama tidak menggerakkan orang lain menggunakan janji dan pemberian uang atau materi lainnya untuk golput.
Dengan demikian, mengambil sikap golput di dalam pemilihan presiden 2019 adalah hak politik warga negara sepenuhnya dan bukan pelanggaran hukum. Demikian juga dengan menyebarluaskan gagasan atau ekspresi tentang pilihan politik ini. Apabila nantinya terjadi penyelidikan untuk kasus seperti ini, maka penting untuk memastikan unsur-unsur pidana dalam pasal 515 UU Pemilu harus diimplementasikan dengan ketat. Penggunaan pasal ini bagi mereka yang Golput atau melakukannya ekspresi politiknya dengan berkampanye Golput adalah pelanggarans serius bagi hak konstitusi negara. Jakarta, 23 Januari 2019
ICJR, Kontras,LBH Jakarta, LBH Masyarakat, Lokataru, PBHI, YLBHI
Narahubung : Arip Yogiawan (YLBHI): 081214194445 Afif Abdul Q. (LBH Masyarakat) : 081320049060