Habis Gelap Terbitlah Terang, Sudah Terbit Malah Dilarang

sumber: merdeka.com

Press Release
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan

 

Habis Gelap Terbitlah Terang, Sudah Terbit Malah Dilarang

Razia buku di era demokrasi jelas menjadi pertanyaan besar bagi bangsa yang melewati 32 tahun era Orde Baru dengan segala bentuk pembakaran buku, pembredelan terhadap media cetak dan represivitas terhadap masyarakat sipil. Pada akhir 2018 dan awal tahun 2019, masyarakat era pascareformasi harus merasakan kembali yang terjadi di era orde baru, dalam bentuk lain, yakni razia buku oleh aparat kepolisian dan TNI yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Pada 26 Desember 2018, aparat dari kepolisian, TNI, dan Pemda Kabupaten Kediri melakukan razia di sebuah toko buku di Pare. Sejumlah buku yang dianggap mempropagandakan PKI dan komunisme disita. Memasuki tahun baru, siasat merazia buku terjadi kembali di Kota Padang dan Tarakan[1].

Terlebih lagi, buku – buku yang dirazia tersebut sebetulnya sudah lama berada di rak buku toko – toko buku lokal bahkan toko buku terkemuka di Indonesia. Orang-orang Di Persimpangan Kiri Jalan karya Soe Hok Gie (Bentang, 2005), Benturan NU PKI 1948-1965 karya Abdul Mun’im D.Z. (Langgar Swadaya, 2013), Sukarno, Orang Kiri, Revolusi, dan G30S 1965 karya Ong Hok Ham (Komunitas Bambu, 2009), dan Aidit susunan Tim Majalah Tempo (Kepustakaan Populer Gramedia, 2010) adalah sekian dari banyak buku yang dirazia.

Jika melihat pada tahun terbit dari buku – buku di atas,  setidaknya buku – buku tersebut paling tidak sudah berumur 5 (lima) tahun sejak dipublikasikan. Sangat tidak masuk akal ketika buku – buku yang sudah dipasarkan selama bertahun – tahun tersebut kemudian dianggap sebagai sebuah ancaman. Apalagi penarikan buku – buku itu tidak melalui proses pengkajian, sehingga aparat negara berpotensi merazia buku – buku yang mana belum mereka baca secara utuh. Belum usai di tingkat lokal, Jaksa Agung RI, H. M. Prasetyo juga membuat usulan untuk melakukan razia buku yang diduga berpaham komunisme dan ideologi terlarang lainnya secara besar-besaran.

Dalam konstruksi negara hukum, kebijakan negara hanya dapat dikatakan sah apabila dilakukan dalam kerangka due process of law, setiap kebijakan harus didasari oleh aturan hukum yang sah. Penyitaan terhadap buku-buku yang dianggap berisi hal-hal yang berkaitan dengan ideologi komunisme, semestinya tidak disikapi dengan terburu – buru—apalagi belum mengetahui isi dari buku yang disita.

Terkait dengan razia buku yang dilakukan oleh aparat Negara tersebut, KontraS memiliki beberapa catatan, di antaranya:

Pertama, Pemerintah seharusnya mengacu pada pasal 30 ayat (3) UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang memberikan wewenang pada institusi Kejaksaan untuk menyelenggarakan kegiatan pengawasan peredaran barang cetakan;

Kedua, Dalam menafsirkan diksi “pengawasan” yang diatur dalam pasal ini, maka pemerintah wajib memperhatikan putusan MK nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 tentang uji materiil dan formil terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang – Barang Cetakan yang Mengganggu Ketertiban Umum juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang;

Dalam putusan tersebut, hakim konstitusi menyatakan bahwa kata “Pengawasan” tidak dimaknai sebagai “Pengamanan” sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 yang telah dicabut, apalagi sebagai “Pelarangan” sebagaimana yang tertera dalam Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 4/PNPS/1963 yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Pengawasan dapat merupakan penyelidikan, penyidikan, penyitaan, penggeledahan, penuntutan, dan penyidangan oleh instansi yang berwenang masing-masing sesuai dengan due process of law, yang berujung pada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang kemudian dieksekusi oleh kejaksaan[2].

Ketiga, berdasarkan temuan kami, sejak adanya putusan MK nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010, sekurang – kurangnya telah terjadi 12 (dua belas) peristiwa penyitaan buku yang dianggap bermuatan ajaran komunisme/marxisme/leninisme tanpa proses hukum yang jelas. Secara berdekatan, pada bulan Mei tahun 2016[3], razia buku terjadi di Jawa Tengah dan Maluku mendapat respon dari Pemerintah Pusat. Saat itu, Presiden Joko Widodo langsung menghubungi Kapolri dan Panglima TNI untuk mengingatkan anak buahnya agar tidak bertindak semena-mena, khususnya melakukan pembubaran acara dan sweeping barang yang dikaitkan dengan komunisme[4]. Hal senada juga dinyatakan oleh Badrodin Haiti selaku Kapolri pada waktu itu dengan memerintahkan anggota kepolisian untuk tidak melakukan razia[5]. Bahkan, Luhut Binsar Pandjaitan selaku Menkopolhukam saat itu juga menyatakan bahwa larangan terhadap diskusi marxisme, leninisme, dan komunisme akan menghambat kecerdasan berpikir masyarakat Berbagai pernyataan yang disampaikan oleh pejabat negara pada tahun 2016 ini justru kini berbanding terbalik dengan respon beberapa pejabat publik dalam menyikapi hal serupa satu bulan kebelakang. Sampai saat ini, belum ada pernyataan resmi baik dari presiden maupun menteri – menteri terkait dalam menyikapi penyitaan buku yang terjadi.

Keempat, dalih tangkap tangan yang merujuk pada pasal 111 KUHAP tidak tepat digunakan dalam melakukan razia buku sebab status dari buku – buku yang dijual tersebut adalah terduga mengandung ideologi terlarang. Kemudian, dalam proses razia buku, sejak tahun 2010, kami tidak menemukan satu pun tersangka yang ditangkap sementara buku – bukunya di sita. Banyaknya ambiguitas dalam penjabaran unsur-unsur dalam tindak pidana ini tentunya membuat aparat harus bertindak ekstra hati-hati dalam melakukan “tangkap tangan” terhadap tindak pidana penyebaran ideologi terlarang. Selain berpotensi melawan hukum, tindakan “tangkap tangan” berupa penyitaan buku-buku ini juga akan menciptakan keresahan dalam masyarakat karena menghilangkan rasa kepastian hukum itu sendiri.

Penyitaan buku yang dilakukan tanpa melalui proses hukum atas kandungan dari buku – buku—yang hendak disita—berpotensi besar melanggar kepastian hukum karena aparat menggunakan basis kecurigaan ketimbang fakta – fakta. Alhasil, akan timbul kebingungan, bahkan ketakutan di masyarakat mengenai buku – buku yang dijual/dimilikinya. Rasa cemas yang diakibatkan oleh tidak adanya kepastian hukum terkait penerapan delik-delik larangan terhadap ideologi terlarang ini jelas merupakan pelanggaran tersendiri terhadap hak asasi manusia karena negara telah menebar ketakutan karena seseorang memiliki buku, termasuk melanggar hak warga negara untuk mendapatkan informasi dan menyalurkan informasi untuk mengembangkan diri dan lingkungan sosialnya, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28F UUD  1945 dan Pasal 14 UU RI No. 39, Tahun 1999 tentang HAM.

Sejatinya, tindakan razia ataupun sweeping yang dibarengi dengan tindakan menyita buku-buku yang dianggap mengandung ide-ide komunisme tanpa didasari oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap merupakan tindakan melawan hukum yang tidak seharusnya dilakukan oleh instansi manapun termasuk kejaksaan, kepolisian, dan TNI. Tindakan ini, selain melawan hukum, juga merupakan tindakan represif yang secara esensial bertentangan dengan semangat reformasi dan demokrasi yang seharusnya dijaga oleh negara.

Akhir kata, KontraS hendak menyampaikan bahwa buku – buku semestinya dapat dianggap sebagai upaya melawan impunitas, dogmatisme, manipulasi, dan disinformasi. Buku merupakan medium bagi perjuangan keadilan dan demokrasi. Sebaliknya, razia buku justru menunjukkan ketakutan Negara akan pengungkapan kebenaran atas fakta – fakta yang terjadi di masa silam.

 

 

Jakarta, 1 Februari 2019
Badan Pekerja KontraS

 

Yati Andriyani
Koordinator

 

[1] https://tirto.id/apa-isi-buku-buku-yang-disita-tni-sepanjang-desember-januari-devc diakses pada 25 Januari 2018

[2] Putusan MK Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010

[3] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160520131511-20-132218/luhut-larangan-kajian-komunisme-batasi-kecerdasan-masyarakat

[4] https://www.merdeka.com/peristiwa/telepon-kapolri-panglima-tni-jokowi-minta-tak-ada-sweeping-pki.html

[5] https://news.detik.com/berita/3210155/kapolri-keluarkan-aturan-penindakan-komunisme-tak-boleh-sita-buku-dan-razia