Pers
Release
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan memberikan
pandangan kritis terhadap wacana Panglima TNI, Marsekal Hadi Tjahjanto untuk merevisi
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, khususnya yang terkait dengan
Pasal 47 terkait dengan
Pembinaan khususnya Pasal 47 ayat 2 “Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang
membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara,
Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan
Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotik
nasional, dan Mahkamah Agung”. Dimana disebutkan bawah revisi pasal ini bertujuan untuk
mengakomodir perwira menengah dan perwira tinggi agar dapat berdinas di
departemen atau lembaga negara diluar yang telah diatur menurut Pasal 47 ayat 2.
Wacana revisi tersebut selain menunjukan adanya kelemahan
dalam manajeman internal di tubuh TNI, juga dikhawatirkan akan berdampak pada
kemunduran agenda reformasi sektor keamanan sebagaimana diatur dalam diatur
dalam Pasal 7 UU TNI No tentang tugas pokok TNI. Semangat dan amanat reformasi dalam penghapusan dwifungsi militer
akan tercederai dengan rencana tersebut. Demokrasi dan pemerintah sipil yang
kuat juga dikhawatirkan akan terancam apabila usulan ini tetap dilakukan. Kami
memandang usulan penyelesaian atas masalah internal TNI terkesan hanya mencari
jalan pintas saja, penyelesaian masalah yang diusulkan justru dapat menimbulkan
masalah lain.
Berikut padangan kritis kami terhadap hal tersebut di
atas, khususnya potensi persoalan yang muncul atas rencana revisi Pasal 47
dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yakni :
- Bertentangan dengan Aturan dan Semangat Profesionalisme TNI. Sebagai sebuah institusi negara, TNI dituntut untuk wajib memiliki profesionalisme, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 UU TNI, yaitu sebagai tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi. Adanya revisi terhadap 47 UU a quo yang akan mengatur kewenangan perwira menegah dan perwira tinggi agar dapat berdinas di departemen atau lembaga di luar yang telah ditetapkan oleh UU, tidak mencerminkan semangat profesionalisme sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU a quo. Karena kemampuan .
- Manajemen Internal di Tubuh TNI yang Bermasalah. Alih-alih
memberdayakan ratusan perwira menegah dan perwira tinggi yang tidak
memiliki posisi atau jabatan di institusi TNI, agar dapat ditempatkan di
departemen maupun lembaga negara sipil, hal tersebut memperlihatkan bahwa mekanisme
atau menajemen internal di tubuh institusi TNI memang bermasalah dan tidak
berjalan sebagaimana mestinya. Panglima TNI seharusnya melakukan
pembenahan terhadap promosi dan kenaikan pangkat prajurit, yang kami nilai
jauh masih dari proses transparansi dan akuntabilitas, bukan dengan malah mengambil jalan pintas yang
merugikan sipil.
- Tambal Sulam Masalah. Kami juga mengingatkan akan efek domino dari penempatan para perwira menegah dan perwira tinggi pada departemen atau lembaga negara yang bertentangan dengan hukum ini. Kebijakan ini bukan saja dapat menghambat jenjang karier sipil yang telah mengabdi pada negara selama bertahun – tahun, tetapi juga terhadap kualitas dan efektivitas yang dimiliki oleh para perwira menegah atau tinggi dari institusi TNI tersebut, jika langsung menduduki posisi strategis di pemerintahan tanpa mengetahui secara detil tupoksi
- Lemahnya Pemerintahan Sipil. Wacana yang disampaikan
oleh Panglima TNI ini juga merupakan bentuk dari upaya pelemahan
pemerintahan sipil dalam mengelola kehidupan berpolitik dan tata kelola
pemerintahan. Dengan lemahnya fungsi pemerintahan sipil, pada akhirnya menggoda
institusi TNI untuk masuk dan secara aktif menduduki ranah sipil. Tindakan
atau kebijakan seperti ini akan mengganggu semangat untuk mendorong
lahirnya instituasi dan anggota TNI yang profesional, modern dan tunduk
pada prinsip demokrasi. Di sisi lain, hal tersebut juga berpotensi
mencampur aduk tugas dan fungsi TNI dan Pemerintahan yang berdampak buruk
terhadap kehidupan bernegara dan berdemokrasi di Indonesia.
Berdasarkan hal – hal diatas, maka wacana Panglima TNI
untuk merevisi UU TNI dengan melibatkan para perwira menegah dan perwira tinggi
TNI untuk ditempatkan pada departemen atau lembaga diluar yang telah diatur
dalam Pasal 47 ayat 2 UU TNI, haruslah
ditolak. Kami juga mendesak Panglima TNI untuk lebih fokus pada evaluasi
proses pengangkatan dan promosi jabatan
yang transparan dan akuntabel di tubuh TNI, bukan dengan mengambil jalan pintas
yang tidak profesional dan dapat merugikan sipil di Indonesia.
Jakarta, 7 Februari 2019
Badan Pekerja KontraS
Yati
Andriyani
Koordinator
KontraS