21 Tahun KontraS: Perjuangan HAM Melampaui Politik Elektoral

Dua pekan sebelum hari jadi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang ke-21 pada hari ini, 20 Maret 2019, sejumlah peristiwa kelam kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (HAM) terjadi. Pada 6 Maret 2019, aktivis senior, salah satu pendiri KontraS sekaligus akademisi Robertus Robet ditangkap dan langsung ditetapkan sebagai Tersangka setelah memberikan orasinya mengenai supremasi sipil dan ancaman dwifungsi TNI pada Aksi Kamisan. Pada 15 Maret 2019, kemanusiaan kita kembali terkoyak ketika terjadi peristiwa penembakan yang cukup mengerikan di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru. Masih di bulan yang sama, Tanah Papua juga kembali berduka setelah banjir bandang terjadi di Sentani. Sementara itu, warga Nduga masih terus mengungsi akibat operasi keamanan yang dilakukan oleh aparat keamanan di Nduga. Dukungan dan solidaritas terhadap para korban akibat berbagai peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi ini menjadi sesuatu yang penting untuk terus dihadirkan.

Peristiwa – peristiwa di atas tentunya hanya sebagian dari sekian banyak peristiwa pelanggaran HAM dan kemanusiaan yang terjadi, termasuk diantaranya kasus – kasus pelanggaran HAM berat yang masih belum diselesaikan hingga saat ini. Dengan momentum peringatan hari jadi KontraS ke-21, peristiwa tersebut kembali memberi pesan yang kuat bahwa pekerjaaan rumah bagi kita, masyarakat sipil, kelompok korban, dan pegiat HAM masih akan terus menemukan relevansi dan urgensitasnya. Langkah dan upaya bersama untuk terus merawat HAM dan kemanusiaan akan terus menjadi sumbu dan api bagi kita, sebagai bagian dari masyarakat sipil.

Selain itu, perayaan hari jadi KontraS yang ke-21 pada tahun ini berbarengan dengan pelaksanaan politik elektoral Pemilu 2019, yang mana sejak satu tahun terakhir, kerja – kerja advokatif KontraS dalam isu HAM banyak beririsan dengan situasi kampanye  Pemilu yang sangat “sengit”. Polarisasi terus diciptakan di tengah masyarakat untuk tujuan – tujuan politik pragmatis semata. Dalam konteks ini, KontraS tidak hanya menempatkan pelaksanaan Pemilu secara prosedural sebagai medium demokrasi semata. Namun di tahun politik ini, KontraS terus berupaya untuk tetap bersikap kritis, independen dalam mendorong pemenuhan, perlindungan, dan pemajuan HAM.

Dalam pandangan kami, realitas politik elektroal Pemilu 2019 masih minus dari  gagasan, narasi dan agenda HAM yang konkrit dan implementatif. Bagi para politisi dan kontestan Pemilu, HAM hanya sekedar gimmick, seperti kaset yang diputar berulang saat Pemilu untuk tujuan – tujuan elektabilitas semata. Kami melihat tidak adanya motivasi yang clear, komitmen yang jelas dan konkrit terhadap persoalan – persoalan HAM yang menjadi prioritas para kandidat Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam kontestasi Pemilu 2019.

Kondisi tersebut di atas pada akhirnya kembali menegaskan adanya gap antara persoalan HAM serta kepentingan politik pragmatis, dan hal tersebut tentunya patut disesalkan. Merujuk pada Catatan Situasi HAM KontraS (2018) dan Laporan 4 (empat) tahun Pemerintahan Jokowi-Kalla, kami mengungkapkan bahwa Pemerintah Indonesia gagal memenuhi komitmen untuk isu – isu utama HAM yang menjadi sorotan publik baik nasional dan Internasional –yakni penuntasan kasus HAM berat masa lalu dan kebebasan hak-hak fundamental seperti penghapusan hukuman mati, penghapusan dan pencegahan praktik penyiksaan, extrajudicial killing, kekerasan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan, kebebasan berekpresi, berkumpul dan berserikat, serta perlindungan kelompok minoritas. Meski sejumlah komitmen Pemerintah di sektor hak ekonomi, sosial, dan budaya, dipenuhi melalui lahirnya sejumlah regulasi dan kebijakan, namun pada saat bersamaan terdapat ambivalensi kebijakan pemerintah, seiring dengan masih tingginya konflik lahan dan penggusuran paksa untuk proyek perkebunan dan infrastruktur, serta masih terus terjadinya kriminalisasi dan kekerasan yang menimpa para petani, aktivis lingkungan dan pembela HAM.

Sementara itu, politik populis terus dimainkan oleh pemerintah yang pada akhirnya berdampak pada keengganan Pemerintah untuk memberikan jaminan perlindungan HAM dalam isu – isu yang mendapatkan penolakan publik atau rentan digunakan lawan politik untuk menjatuhkan citra pemerintah. Hal ini terlihat dalam keengganan Pemerintah untuk menuntaskan masalah kebijakan dan kasus kebebasan beragama, sikap permisif untuk tindakan abusive dalam perang melawan narkoba dan terorisme, serta justru memberi angin untuk tindakan kekerasan dan stigma yang selama ini melekat kepada masyarakat Papua yang menyuarakan dan menuntut keadilan.

Dengan berkaca pada seluruh kondisi diatas, tantangan terhadap gerakan dan kampanye hak asasi manusia akan semakin besar. Oleh karenanya, pada momentum hari jadi ke-21 KontraS, kami kembali mengajak masyarakat untuk terus bersama dan saling bahu membahu, menggunakan politik kewargaan kita dalam memajukan HAM dan menjaga demokrasi. Segala upaya persistensi, perjuangan, dan pembelaan HAM ini hendaknya melampaui momen politik elektoral, termasuk setelah Pemilu 2019 selesai dilaksanakan.

 

Jakarta, 20 Maret 2019
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan

 

 

Yati Andriyani
Koordinator