Memperingati Hari Internasional untuk Hak Atas Kebenaran dan Martabat Korban Pelanggaran Berat HAM

Pada setiap tanggal 24 Maret secara serentak di dunia diperingati International Day for the Right to the Truth concerning Gross Human Rights Violations and for the Dignity of Victims (Hari Internasional untuk Hak Atas Kebenaran dan Martabat Korban Pelanggaran Berat HAM), atau yang dikenal dengan ‘Hari Kebenaran Internasional’. Peringatan ini menjadi upaya komunitas internasional untuk tidak hanya sekedar mengenang dan menghormati korban-korban pelanggaran HAM yang berat dan sistematik, tetapi juga sebagai daya gerak untuk mempromosikan pentingnya hak atas kebenaran dan keadilan.

Di Indonesia, para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM masih terus berjuang untuk mendapatkan kebenaran atas tindakan pelanggaran HAM yang dialami. Berbagai upaya hukum dan pendekatan telah dilakukan agar para korban dan keluarganya berhenti mengalami stigmatisasi dan diskriminasi. Kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi tidak pernah menghukum pelaku, namun justru menjadikan para korban dan keluarganya sebagai pihak yang bersalah. Upaya pembuktian melalui pengadilan HAM pun tidak lekas terjadi. Masyarakat sipil bersama keluarga korban pelanggaran HAM masih dan akan terus mengupayakan hak atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan bagi para korban dan keluarganya.

Dalam momentum ini, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) ingin menggarisbawahi mengenai situasi dan kondisi penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia yang masih terhenti dan belum beranjak dari proses penyelidikan dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Pada tanggal 27 November 2018, berkas penyelidikan untuk 9 kasus pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh Komnas HAM dikembalikan oleh Kejaksaan Agung sebagai otoritas penyidik dalam kasus pelanggaran HAM Berat. Berkas tersebut adalah 1) Peristiwa 1965/1966; 2) Peristiwa Talangsari Lampung 1989; 3) Peristiwa Penembakan Misterius 1982 – 1985; 4) Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II; 5) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998; 6) Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998; 7) Peristiwa Wasior dan Wamena; 8) Peristiwa Simpang KKA 1999; 9) Peristiwa Rumah Geudong dan Pos Sattis lainnya dan 10) Peristiwa Jamu Keupok.

Pengembalian berkas penyelidakan Komnas HAM tersebut di atas, menambah panjang perjuangan korban dan keluarga korban Pelanggaran HAM Berat untuk mendapatkan hak atas kebenaran. Sehingga langkah yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung merupakan sebuah bentuk regresifitas terhadap penuntasan kasus yang seharusnya dapat memberikan hak-hak atas kebenaran kepada para korban dan juga keluarga korban pelanggaran HAM yang berat.

Belum habis kekecewaan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat terhadap proses pengembalian berkas penyelidikan tersebut, pemerintah membuat sebuah langkah yang makin merongrong nurani korban dan keluarga korban lewat sebuah Deklarasi Damai. Pada tanggal 20 Februari 2019, Deklarasi Damai untuk Dugaan Kasus Pelanggaran HAM Berat Talangsari Lampung 1989 tiba-tiba dilakukan oleh Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM Berat yang diinisiasi oleh Kementerian Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam). Deklarasi damai tersebut, tidak hanya mengabaikan prinsip-prinsip kebenaran yang yang menjadi hak bagi para korban pelanggaran HAM berat, tapi juga meniadakan kesempatan pemulihan dan keadilan bagi para korban karena menggunakan mekanisme yang nirakuntabel dan juga sarat akan kepentingan untuk cuci tangan.

Inventaris permasalah di atas masih menunjukkan belum terpenuhinya hak-hak korban atas kebenaran yang seharusnya menjadi kewajiban oleh Negara untuk dipenuhi. Negara sebagai pemangku kewajiban (duty bearer) dalam hal terjadinya pelanggaran HAM yang berat bertugas untuk menyediakan pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat dengan jalan melakukan penyelesaian kasus menggunakan mekanisme yang transparan, akuntabel, dan legal.

Atas dasar hal tersebut di atas, pada momentum Hari Internasional untuk Hak Atas Kebenaran dan Martabat Korban Pelanggaran Berat HAM, KontraS mengingatkan kepada Pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat dengan menggunakan landasan hukum yang tepat guna seperti yang disediakan oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, yakni dengan jalan penyelesaian menggunakan mekanisme yudisial.

Jakarta, 24 Maret 2019

 

Badan Pekerja KontraS