Hentikan Diskriminasi Terhadap Masyarakat Papua dan Lindungi Kebebasan Berekspresi dan Mengemukakan Pendapat di Muka Umum

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam terus terjadinya peristiwa pembubaran aksi demonstrasi disertai penangkapan dan tindakan kekerasan terhadap mahasiswa Papua oleh aparat kepolisian di beberapa daerah di Indonesia, dalam satu tahun terakhir.

 

Yang terbaru,  pada tanggal 15 April 2019, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di Bali melakukan aksi damai dan pernyataan sikap “memilih untuk tidak memilih pada Pemilihan Umum 2019” diikuti dengan long march dari lapangan parkir Timur Renon ke Bundaran Renon (simpang Renon dan Hayam Wuruk). Namun saat akan tiba di Bundaran Renon, aparat kepolisian menghadang massa aksi dan diikuti dengan tindakan perampasan alat kampanye, pemukulan hingga pernyataan berbau diskriminasi rasial seperti menyuruh massa aksi pulang ke tanah Papua dan sebagainya. Massa aksi kemudian digiring dan diinterogasi di Polresta Denpasar, dengan tuduhan melawan ketertiban umum berdasarkan Pasal 216 dan 218 KUHP. Massa aksi yang didampingi oleh LBH Bali akhirnya dilepaskan pada pukul 15:39 WITA.

 

Tindakan pemberangusan terhadap kebebasan berekspresi, berpendapat, berserikat dan berkumpul terhadap mahasiswa Papua tidak kali ini saja dilakukan oleh aparat kepolisian RI. Adapun pembatasan serupa juga pernah dialami oleh Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) pada tanggal 7 April 2019 di Kota Malang. Aksi tersebut menuntut ditutupnya PT Freeport Indonesia, menyatakan sikap Golput pada Pemilihan Umum 2019, serta mengkampanyekan Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi bangsa Papua Barat. Namun aksi kemudian dibubarkan oleh aparat Polresta Malang dan maupun orang – orang tak dikenal yang turut membubarkan aksi tersebut dengan cara memukul, menendang, mendorong, bahkan melempar dan menyiramkan air kopi bercampur cabai ke massa aksi. Atas peristiwa tersebut, 10 orang mengalami luka-luka, sementara para pelaku kekerasan tidak pernah diusut dan diproses secara hukum.

 

Berdasarkan catatan KontraS, sepanjang tahun 2018 telah terjadi sebanyak 22 kasus pembubaran aksi disertai tindakan diskriminatif rasial yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap mahasiswa Papua di seluruh penjuru Tanah Air. Hal ini merupakan pola diskriminasi dan stigmatisasi yang dilakukan oleh anggota kepolisian RI terhadap masyarakat papua yang sedang memperjuangkan hak hidupnya terutama dalam hal hak kebebasan berekspresi, berpendapat, berserikat dan berkumpul.

 

Kebebasan berekspresi, berpendapat, berserikat dan berkumpul yang dilakukan oleh Masyarakat Papua merupakan aksi yang dilindungi oleh Undang – Undang Dasar 1945 Pasal 28 E ayat 3 yang mengatakan bahwa setiap orang memiliki hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat dan Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia  yang menjamin hak setiap orang untuk dapat mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya baik secara lisan dan/atau tulisan.

 

Berdasarkan hal diatas, kami mendesak Kapolri untuk :

Pertama, menghentikan sikap represif dan diskriminatif rasial terhadap mahasiswa maupun masyarakat Papua lainnya yang hendak menyampaikan pendapat dan ekspresi di muka umum, sebagaimana yang sudah diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku;

 

Kedua, mengusut tuntas dan memproses secara hukum anggota kepolisian di lapangan yang terbukti melakukan tindakan kekerasan dan diskriminatif terhadap massa aksi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) yang melakukan aksi pada tanggal 7 dan 15 April 2019;

 

Ketiiga, memastikan jaminan perlindungan bagi setiap warga negara Indonesia dalam pemenuhan hak kebebasan berekspresi, berpendapat, berserikat dan berkumpul oleh siapapun dan dimanapun tanpa memandang Suku, Agama, Ras, dan Adat (SARA) sebagaimana amanat yang sudah diatur di dalam konstitusi Indonesia.

 

Jakarta 16 April 2019

Badan Pekerja KontraS

 

Yati Andriyani

Koordinator