Refleksi 21 Tahun Tragedi Mei 1998

Pernyataan Bersama

“Refleksi 21 Tahun Tragedi Mei 1998”

Rentang waktu 21 tahun merupakan sebuah anomalitas untuk menyelesaikan sebuah kasus pelanggaran hukum. Hal tersebut terjadi pada upaya penuntasan Tragedi Mei 1998. Jangka waktu yang demikian cukup menjadi bukti bahwa negara benar-benar secara sengaja mengabaikan darah yang telah menjadi korban dalam perjuangan mencapai reformasi pada 1998 silam.

Kejadian yang terjadi pada 13-15 Mei tahun 1998 tersebut menelan korban sejumlah 1.190 jiwa, 85 perempuan-khususnya etnis Tionghoa menjadi korban perkosaan secara berkelompok [gang rape], dan ratusan property [gedung-gedung] dirusak dan dibakar. Tindakan brutalitas yang tergorganisir itu terjadi setidaknya di 88 lokasi diseluruh wilayah Jakarta, Bekasi, Tanggerang, serta beberapa tempat di Bandung, Solo, Klaten, Boyolali, Surabaya, Medan, Deli, Simalungun, Palembang, Padang.

Di awal reformasi pada pemerintahan B.J. Habibie telah dilakukan usaha penyelesaikan Tragedi Mei 1998 seperti pembentukan Komisi Nasional untuk Perempuan, pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta [TGPF] yang bertugas melakukan penyelidikan pengungkapan kebenaran dan kehendak agar dapat menjadi katarsis bagi korban dalam memperoleh rasa keadilan. Hasil penyeldikan TGPF adalah; pertama, adanya laporan akhir yang menyebutkan adanya dugaan peran perwira tinggi militer sebagai dalang kerusuhan dan seharusnya bertanggungjawab atas peristiwa ini; Kedua, Komnas HAM telah membentuk Komisi Penyeldikan Peristiwa Pelanggaran HAM Berat untuk kasus Kerusuhan Mei 1998 dan berhasil menemukan bukti bahwa diduga telah terjadi suatu peristiwa pelanggaran HAM yang berat dan kemudian telah menyerahkan hasil penyelidikannya kepada Jaksa Agung pada tahun 2003.

Namun usaha dan progres yang telah dilakukan tersebut kini menjadi lelucon politik bagi para penguasa. Bukti-bukti tersebut harus kandas ditangan Kejaksaan Agung dengan berulangkali mengembalikan dokumen hasil penyelidikan kepada Komnas HAM yang terakhir terjadi pada tahun 2018. Proses tersebut terus berulang akibat dari menguatnya impunitas pelaku kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Relatif selama dua dekade peristiwa itu berlangsung tidak ada kemajuan dan kepastian kapan impunitas akan berakhir. Selama rentang waktu itu pula para korban dan keluarganya harus menanggung penyiksaan batin dan fisik akibat belum adanya pertanggungjawaban negara untuk mengakui secara resmi, memulihkan martabat  dan hak-hak korban serta menegakkan supremasi hukum.

Peringatan 13 Mei dilakukan oleh korban maupun keluarga korban sebagai upaya merawat ingatan, penyadaran publik dan Negara, serta menjadi bukti perlawanan kepada negara yang kerap memberikan kesempatan kepada para pelaku pelanggar HAM duduk di kursi kekuasan. Peringatan ini juga dilakukan sebagai momen refleksi dari perjuangan korban dan keluarga korban yang setiap tahunnya selalu terus mendesak negara untuk segara melakukan tugasnya memberikan keadilan dan juga pemulihan kepada korban dan keluarga korban, meskipun kerap berakhir pilu karena tidak adanya komitmen nyata dari para elit yang berada dalam pemerintahan baik eksekutif maupun legislatif.

Dalam momen peringatan ini pula, kami koalisi masyarakat sipil bersama korban dan keluarga korban Tregedi Mei 1998 mengingatkan negara supaya:

  1. Memutus belenggu impunitas dalam upaya penuntasan kasus tragedi Mei 1998. Hal ini bisa dilakukan oleh Presiden terpilih nantinya dengan tidak menempatkan terduga pelaku serta keluarga terduga pelaku pelanggaran HAM dalam kekuasaan pemerintahan guna mempermudah penegakan hukum dan juga menjamin good governance yang harusnya bersih dari individu-individu yang mempunyai rekam jejak negatif dalam isu HAM;
  2. Menjadikan tragedi Mei 1998 sebagai sebuah penanda dan titik tolak demokratisasi di Indonesia. Perjuangan menggerus otoritarianisme yang mengorbankan ribuan nyawa ini harus menjadi upaya reflektif bersama bagi para elit politik dan juga masyarakat Indonesia untuk menyudahi budaya kekerasan di Indonesia. Untuk melenyapkan budaya kekerasan, Pemerintah harus menghindari laku diskriminatif maupun menjamin hak warga negara seperti hak berorganisasi, berekspresi dan jaminan perlindungan hukum serta kepastian hukum yang setara bagi semua lapisan masyarakat;
  3. Menjadikan memorialisasi seperti yang telah dilakukan pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam mengenak peristiwa kekerasan Mei 1998 di TPU Pondok Ranggon, Jakarta, agar dilakukan juga terhadap situs atau tempat-tempat pelanggaran HAM di seluruh Indonesia. Hal ini bisa menjadi sebuah rambu-rambu di masa depan agar tidak pernah terjadi lagi peristiwa keji yang mengorbankan nyawa manusia Indonesia. Langkah ini adalah juga langkah minimalis yang bisa dilakukan pemerintah untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia seluruh warga negara.

 

Jakarta, 13 Mei 2019

 

 Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (kontraS) – Amnesty Internasional Indonesia (AII) – Paguyuban Mei 98