Kekerasan oleh Aparat Menciderai Hari Buruh 2019

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS] bersama dengan Yayasan Lembaga Bangtuan Hukum Indonesia (YLBHI) melakukan pemantauan pada saat dan pasca May Day untuk menggali informasi serta fakta – fakta yang terjadi pada saat aksi hari Rabu, 1 Mei 2019. Dengan berkoordinasi bersama dengan koalisi Reformasi Sektor Keamanan di wilayah Bandung, yakni LBH Bandung, PBHI Jawa Barat, serta Gerakan Rakyat Anti Kapitalis (GERAK). KontraS dan YLBHI menyusun serangkaian fakta atas peristiwa kekerasan oleh kepolisian terhadap massa aksi May Day 2019.

Berdasarkan hasil investigasi yang kami lakukan, tim gabungan aparat kepolisian melakukan penangkapan terhadap massa aksi hingga 619 orang, yang terdiri dari 326 orang dewasa, 293 anak di bawah umur, dan 14 perempuan serta kekerasan terhadap 2 orang jurnalis. Ratusan orang ditangkap di tempat yang berbeda, namun pada saat penangkapan, prosesnya penuh dengan intimidasi verbal maupun nonverbal. Pada saat penangkapan massa aksi dipukul secara membabi buta dan adapula yang ditelanjangi di tempat dan disemprotkan menggunakan cat semprot. Massa aksi dipaksa untuk dibawa menuju Polrestabes menggunakan truk yang hanya muat diisi 30 orang namun massa aksi pada saat itu mencapai lebih dari sekitar 50 orang sehingga massa aksi yang ikut kedalam truk tersebut mengalami sesak nafas karena terlalu sempit dan massa yang berada di bagian ujung truk ditendang ke arah dalam truk agar bisa memasukan massa aksi lagi.

Setiba di Polrestabes Bandung massa aksi kembali ditelanjangi dan diharuskan jalan jongkok dan berguling untuk sampai tiba di halaman Polrestabes Bandung. Setelah tiba, massa aksi dijemur dan digunduli serta di data oleh pihak kepolisian. Semua peserta aksi yang ditangkap dilakukan pendataan hingga malam hari kemudian dipindahkan ke Mako Brimob, Jatinangor, Sumedang. Di Mako Brimob menjelang dibebaskan, para massa aksi dilarang untuk tidur, apabila ada massa aksi yang ketahuan tidur maka petugas menyiramnya dengan air hingga ditendang. Akhirnya, keseluruhan massa di bebaskan sekitar pukul 04.00 – 06.00 WIB.

Berangkat dari informasi di atas, ada sejumlah temuan yang kami temukan di lapangan terkait penanganan aksi May Day di Bandung, di antaranya:

Pertama, penangkapan yang dilakukan oleh anggota kepolisian tidak menggunakan standar yang jelas. Berdasarkan dari keterangan korban yang ditangkap, ia tidak mengetahui alasan dirinya ditangkap, diminta naik ke truk dalmas, dan diinterogasi polisi.

Kedua, saat proses penangkapan, polisi menyisir berbagai titik dan menjemput paksa orang – orang yang berpakaian hitam. Alhasil, beberapa orang yang tidak ikut kegiatan aksi pun ada yang turut ditangkap oleh pihak kepolisian.

Ketiga, anggota kepolisian juga melakukan kekerasan dan intimidasi terhadap dua wartawan. Kedua kamera wartawan tersebut diambil paksa oleh polisi kemudian menghapus beberapa foto – foto yang telah diambil.

Keempat, pihak kepolisian melakukan intimidasi verbal, penggundulan, dan penyemprotan pilox ke bagian tubuh massa aksi yang ditangkap. Hal tersebut jelas bertentangan dengan peraturan dari tingkat UU hingga Perkap.

Kelima, pasca May Day, Kapolri membuat pernyataan akan mengincar, memetakan, kelompok anarko sindikalis yang terlibat dalam May Day. Hal itu memunculkan kekhawatiran atau ketakutan bagi masyarakat dan mengancam hak atas rasa aman warga negara.

 

Berdasarkan fakta di atas, KontraS, YLBHI, LBH Bandung, PBHI Jawa Barat dan GERAK mendesak sejumlah pihak untuk melakukan beberapa hal berikut, di antaranya:

Pertama, mendesak Komnas HAM segera membuat posko pengaduan di Bandung untuk mendata sejumlah fakta yang terjadi pada peserta aksi ketika ditangkap oleh anggota kepolisian yang kemudian dapat ditindaklanjuti ke langkah yang lebih konkret.

Kedua, mendesak Kapolri kepada institusinya untuk melakukan pemeriksaan terhadap Kapolrestabes Kota Bandung mengingat peristiwa penangkapan sewenang – wenang, tindak kekerasan, serta intimidasi yang juga merupakan tanggung jawab Kapolrestabes sebagai atasan tertinggi (wilayah) yang memberikan perintah untuk melakukan penangkapan terhadap korban.

Ketiga, mendesak Kapolri memberikan penjelasan serta perkembangan pada setiap tingkat pemeriksaan atas proses hukum terhadap anggota Polri yang melanggar hukum kepada pihak korban maupun keluarga korban serta segera membuat kebijakan preventif yang efektif untuk menghentikan praktik penyiksaan oleh anggota Polri di lapangan.

Keempat, mendesak institusi Polri untuk memberikan jaminan pemulihan dan pengobatan terhadap korban penyiksaan maupun tindakan sewenang-wenang lainnya yang dilakukan aparat kepolisian melalui mekanisme hak pemulihan korban sebagaimana diatur dalam Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban.

Kelima, mendesak lembaga pengawas eksternal seperti, Kompolnas, Ombudsman agar menggunakan kewenangan sesuai mandat masing-masing lembaga untuk melakukan pemantauan terhadap kegiatan operasi cipta kondisi tersebut agar berjalan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.