Pada 16 Januari 2025, peringatan 18 Tahun Aksi Kamisan dilaksanakan pada aksi ke-847. Selama hampir dua dekade ini, para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat terus berjuang untuk merawat ingatan, melawan lupa, serta mendesak pertanggungjawaban Negara atas kasus-kasus kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Indonesia. Meskipun rezim silih berganti, tidak ada yang berhasil atau berkomitmen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat secara hukum. Sebaliknya, penyelesaian dilakukan melalui mekanisme non-yudisial yang mengorbankan martabat dan keadilan bagi korban, serta tidak memenuhi hak-hak korban secara menyeluruh.
Peringatan ini diisi dengan refleksi oleh berbagai individu yang berasal dari latar belakang berbeda diantaranya yaitu Yati Andriyani, Dian Purnomo, Diva Suukyi Larasati, Abdur Arsyad, Evi Mariani, Iqbal Ramadhan, Delpedro Marhaen, dan Herlambang Wiratraman.
Pendamping korban, Yati Andriyani, membuka rangkaian peringatan dengan mengulas bagaimana Aksi Kamisan bisa terus bertahan dalam jangka waktu yang tidak sebentar. “Aksi Kamisan telah menjadi gerakan kolektif kita semua,” ujarnya. Dengan kata lain, Aksi Kamisan bertahan karena keterlibatan masyarakat sipil yang begitu luas. Ia juga mengingatkan bahwa Aksi Kamisan lahir dengan kegigihan dari para korban dan keluarga korban, dengan segala keterbatasannya, untuk terus bisa bersuara. “Kegigihan para bapak ibu korban telah menjadi aliran tetes semangat bagi kita,” ujarnya. Ia melanjutkan, Aksi Kamisan kini tidak hanya untuk korban kejahatan kemanusiaan, namun juga untuk anak muda dan seluruh masyarakat yang merindukan keadilan.
Diva Suukyi Larasati, putri dari Munir Said Thalib—pembela HAM yang dibunuh karena memperjuangkan kebenaran—menekankan bahwa janji pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM hanya sebatas janji kosong. Menurutnya, pemerintah berusaha agar kita melupakan peristiwa-peristiwa kejahatan tersebut. Diva juga menyoroti kenyataan bahwa saat ini banyak orang yang lebih mengutamakan materi dan malah berpihak pada nilai-nilai yang bertentangan dengan keadilan dan HAM. “Jangan sampai kita melupakan para korban. Kita sendiri bisa menjadi korban!” tegas Diva.
Evi Mariani, jurnalis dari media alternatif Project Multatuli, memberikan perspektif yang menarik dalam refleksinya sekaligus menyampaikan ucapan selamat kepada teman-teman yang terus bertahan dalam Aksi Kamisan serta kepada para pembela HAM di seluruh Indonesia. “Selamat, karena selama 18 tahun, teman-teman terus berjuang untuk menolak lupa,” ujarnya. Evi juga menceritakan ratusan kisah luka yang ia temui bersama Project Multatuli dalam memberitakan perjuangan mereka yang terpinggirkan. Ia lebih lanjut menyoroti pola penguasa saat ini yang berusaha memanipulasi kebenaran untuk membuat masyarakat lupa secara kolektif dan agar generasi muda tidak mengetahui kisah-kisah kelam tersebut. “Kalau yang membunuh bisa menjadi pejabat, yang menculik bisa menjadi presiden, apa sulitnya merampas lahan?” ungkap Evi.
Iqbal Ramadhan, salah seorang korban kekerasan aparat dalam aksi demonstrasi Peringatan Darurat pada Agustus 2024 silam, menyoroti kondisi lapangan bahwa Aksi Kamisan dikelilingi oleh aparat kepolisian, yang bisa menangkap dengan sewenang-wenang, menuduh melakukan kejahatan, merekayasa, dan menuduh orang yang dibunuhnya sebagai pelaku kejahatan. “Kita tidak sedang dikelilingi oleh nalar yang sehat, oleh kemanusiaan,” ujar Iqbal. Ia pun menceritakan pengalamannya ketika ditangkap secara sewenang-wenang oleh aparat ketika aksi Peringatan Darurat. “Mereka mengatakan saya diamankan. Tapi tidak ada pengamanan yang menggunakan cara ditendang, dipukul, dihina, dan dilecehkan.”
Delpedro Marhaen, perwakilan dari generasi muda, menyampaikan refleksinya bahwa Aksi Kamisan menjadi sebuah ruang politik kewargaan. Ruang tersebut mempertemukan berbagai individu yang tidak saling mengenal sebelumnya namun memiliki nilai yang sama, yaitu penolakan terhadap pelanggaran HAM. Dalam konteks gerakan orang muda, ia menilai orang muda yang terlibat dalam gerakan sosial merupakan mereka yang rela menyisihkan kenyamanan-kenyamanan yang dimiliki. “Yang menjadi kuncinya adalah anak muda harus berani menarik diri dari dekapan-dekapan kekuasaan,” tutur Delpedro. Ia mengibaratkan orang muda yang suatu hari ikut dalam demonstrasi, namun di lain waktu malah berkumpul dengan pejabat itu merupakan sebuah ‘omong kosong.’
Rangkaian refleksi ditutup dengan refleksi oleh Herlambang Wiratraman, seorang akademisi HAM. Ia membuka dengan mengulas kembali wacana dari Menteri HAM mengenai pembangunan universitas HAM bertaraf internasional. “Yang dibutuhkan bukan sarjana level internasional, tapi mereka yang punya keberpihakan soal HAM,” ujarnya menanggapi wacana tersebut. Ia juga menjelaskan perbedaan tantangan gerakan orang muda hari ini. “Kalau dulu bisa diculik, tapi kalau hari ini dikooptasi, diiming-imingi jabatan, kekuasaan,” tuturnya. Herlambang kemudian menyebutkan 14 ciri-ciri fasisme yang dituliskan oleh Umberto Eco, orang muda yang saat itu gelisah dengan fasisme. Terakhir, ia menekankan bahwa fasisme adalah persoalan struktural yang terkesan mewah dari luar namun penuh dengan permasalahan di dalamnya.
Peringatan 18 Tahun Aksi Kamisan diisi dengan berbagai refleksi dari individu-individu dengan latar belakang yang berbeda. Namun, satu hal yang menyatukan mereka adalah keberpihakan terhadap kemanusiaan dan keadilan. Semua refleksi yang disampaikan dalam momentum ini mengarah pada urgensi untuk memberantas impunitas, yang terus menjadi benteng perlindungan bagi para pelaku pelanggaran HAM. Hidup Korban! Jangan Diam! Lawan!
Rekaman siaran peringatan 18 Tahun Aksi Kamisan dapat diakses di sini
Selebaran Aksi Kamisan ke-847 dapat diakses di sini
Tags
KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan