Pada 25 tahun yang lalu, tepatnya pada 23 Juli 1999, terjadi peristiwa pembantaian seorang ulama bernama Teungku (Tgk.) Bantaqiyah dan para santrinya oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Beutong Ateuh, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh. Dalam peristiwa ini, TNI menggunakan kekerasan terhadap warga sipil secara serampangan, suatu pola yang masih terjadi hingga hari ini. Pembantaian ini memakan korban warga sipil sebanyak 57 orang meninggal dunia dengan 23 jasad ditemukan di jurang lintasan Beutong Ateuh-Aceh Tengah, puluhan orang luka-luka, dan belasan orang lainnya dinyatakan hilang.

 

Peristiwa pembantaian terjadi lantaran adanya tuduhan dan kecurigaan tidak berdasar dari TNI bahwa Tgk. Bantaqiyah menyimpan senjata untuk mendukung Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di pesantrennya. Beberapa kesatuan dari pasukan elit TNI seperti Kopassus, Yonif Linud 328/Dirgahayu Kostrad, Yonif Linud 100/Prajurit Setra, Yonif 113/Jaya Sakti, dan Korem 011/Lilawangsa diterjunkan menuju kawasan Beutong Ateuh pada 20 Juli 1999. Hal ini dilakukan menyusul Surat Telegram Rahasia (STR) Danrem 012/Teuku Umar Kolonel Syafnil Armen bernomor STR/232/VII/1999 tentang perintah penangkapan Tgk. Bantaqiyah. Barulah pada 23 Juli 1999, pasukan TNI memasuki wilayah pesantren milik Tgk. Bantaqiyah. Mereka meminta Tgk. Bantaqiyah untuk menyerahkan senjata yang ia miliki. Namun, di tengah dialog, tiba-tiba terdapat aba-aba untuk menembak Tgk. Bantaqiyah yang kemudian disusul dengan tembakan beruntun ke arah para santri.

Seperti diungkap dalam “The Practice of Torture in Aceh and Papua, 1998-2007’ (2008), kasus ini diselesaikan lewat jalan yang sebenarnya sangat politis, yaitu melalui pengadilan koneksitas pada tahun 2000. Peradilan ini dibentuk untuk mengadili tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama oleh sipil dan militer, padahal kasus ini seharusnya diselesaikan dengan cara yang adil.

Persidangan ini menghadirkan 25 terdakwa dengan 3 perwira di dalamnya: Kapten Anton Yuliantoro, Letnan Dua Maychel Asmi dan Letnan Dua Trijoko Adiwiyono. Selebihnya berpangkat bintara dan tamtama serta seorang warga sipil. Meski demikian, terdapat satu orang terdakwa yang tidak dihadirkan ke pengadilan dan tidak diketahui keberadaannya, yaitu Letnan Kolonel Sudjono yang saat itu merupakan Kepala Seksi Intel Korem 011/Lilawangsa. 

Proses hukum yang dilakukan melalui Peradilan Koneksitas, alih-alih melalui Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), dinilai tidak mampu memberikan keadilan yang substantif dan menyeluruh kepada korban, terutama karena menjadikan kasus ini dianggap sebagai kejahatan pidana biasa bukan sebuah pelanggaran HAM. Trauma dan perasaan kecewa juga masih melekat pada keluarga korban, sebab pemerintah tidak pernah melakukan upaya pemulihan kepada keluarga korban.

Mekanisme pengadilan ini juga tidak sama sekali memenuhi standar-standar penyelesaian kasus yang berkeadilan untuk korban dan juga penghukuman terhadap pelaku. Termasuk masih belum terpenuhinya rehabilitasi, restitusi dan kompensasi serta ketiadaan penghormatan terhadap pengalaman traumatis korban dan juga pengungkapan kebenaran terhadap peristiwa tersebut. Terbukti dari kembalinya sejumlah pelaku ke Aceh, diantaranya yakni Kolonel Inf Trijoko Adiwiyono, S.H., M.Si yang sempat menjadi Komandan Rindam IM sejak Desember 2022 hingga Maret 2024.

 

Kini,  tatkala asa trauma dan kecewa yang belum sepenuhnya pulih, negara kembali mengusik kehidupan warga di Beutong Ateuh. Pemerintah Daerah Aceh seharusnya dengan tegas menolak adanya pertambangan emas di Wilayah Beutong Ateuh, mengingat Pemerintah Aceh memiliki kewenangan untuk memberikan izin terkait dengan investasi sebagaimana tercantum dalam Pasal 165 ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Wilayah yang kaya akan sejarah, budaya, dan keanekaragaman hayati, kembali menghadapi ancaman perusakan akibat rencana penambangan oleh perusahaan tambang baru, setelah sebelumnya izin tambang PT. Emas Mineral Murni (PT. EMM) yang dikeluarkan oleh BKPM RI melalui Keputusan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor: 66/I/IUP/PMA/2017 dicabut berdasarkan putusan pengadilan di tingkat kasasi dan peninjauan kembali.

 

Wilayah Hutan Beutong kemudian diduga diincar oleh perusahaan lain, yakni PT. Bumi Mentari Energi (PT. BME) untuk kegiatan penambangan emas. Aktivitas penambangan emas di wilayah Hutan Beutong Ateuh, apabila merujuk pada Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 91 K/TUN/2020, seharusnya tidak diberikan izin ke depannya. Pasalnya, kawasan yang kaya ini merupakan bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser yang merupakan situs warisan dunia, areal bersejarah di Aceh, dan merupakan kawasan yang rawan bencana alam.

 

Selain itu, dalih pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan warga di Beutong Ateuh melalui pertambangan pun tidak relevan. Pemerintah seakan-akan memberikan lampu hijau pertambangan di Beutong Ateuh dengan adanya surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia Nomor: 86.K/MB.01/MEM.B/2022 tentang Wilayah Pertambangan Provinsi Aceh yang mencakup wilayah Beutong Ateuh dalam peta Wilayah Usaha Pertambangan. Upaya peningkatan kesejahteraan warga seharusnya dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah dengan cara-cara yang tidak merusak lingkungan, yaitu dengan meningkatkan produktivitas pertanian dan perkebunan warga di Beutong Ateuh. “Kami masih memegang moto ‘bila kita tidak sanggup mempertahankan apa yang diperjuangkan oleh para syuhada maka berusahalah untuk tidak merusak apa yang telah mereka perjuangkan,’’ ujar Mahdy Al Asyy, putra Tgk. Bantaqiah, mengenai penolakan warga Beutong Ateuh terhadap pertambangan di wilayah tersebut.

 

Potensi kerusakan lingkungan, situs budaya, dan situs sejarah seakan-akan diabaikan oleh negara untuk semata-mata mendapatkan keuntungan alih-alih melakukan pengungkapan kebenaran mengenai peristiwa pembantaian Tgk. Bantaqiyah, memberikan pemulihan bagi korban peristiwa pembantaian, dan secara nyata menunjukkan keberpihakan pada rakyat. Kasus di Beutong Ateuh ini kembali menambah daftar panjang penyalahgunaan kekuasaan dan ketidakberpihakan pemerintah kepada rakyat. Dua dekade pasca Reformasi, kita masih bisa menemukan praktik-praktik kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan kepada warga sipil. Pada saat yang bersamaan, pemerintah tetap menggelar karpet merah bagi praktik-praktik ekonomi dan bisnis yang opresif dan tidak memperhatikan hak-hak dari warga yang terdampak dari praktik bisnis tersebut.

 

Kedua hal tersebut merupakan dua fitur menonjol yang terjadi selama 32 tahun pemerintahan Presiden Soeharto. Nyatanya, tidak ada perubahan sedikit pun di negara ini setelah runtuhnya rezim otoriter tersebut. Rezim pemerintah hari ini tetap merupakan rezim yang represif terhadap rakyatnya sendiri untuk kepentingan segelintir kelompok tertentu di negeri ini.

 

Oleh karena itu, kami mendesak:

  1. Presiden Joko Widodo untuk menghentikan praktik impunitas yang melindungi para pelaku kejahatan hak asasi manusia;
  2. Presiden Joko Widodo untuk memberikan pemulihan kepada korban dan keluarga korban dari peristiwa pembantaian Teungku Bantaqiyah;
  3. Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi Aceh untuk menghentikan praktik bisnis yang merusak lingkungan dan tidak memperhatikan kehidupan warga di Beutong Ateuh;
  4. Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah Aceh untuk tidak mengeluarkan rekomendasi izin pertambangan di Beutong Ateuh;
  5. Kementerian ESDM untuk mengeluarkan wilayah Beutong Ateuh dari peta wilayah usaha pertambangan; dan
  6. Presiden Joko Widodo untuk mengevaluasi secara menyeluruh pengerahan aparat keamanan agar mengedepankan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

 

23 Juli 2024

 

Koalisi Masyarakat Sipil

  1. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
  2. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh
  3. Koalisi NGO HAM Aceh
  4. KontraS Aceh

 

Narahubung:
1. Jane Rosalina (KontraS)
2. Nasir Buloh (Walhi Aceh)
3. Khairil Arista (Koalisi NGO HAM Aceh)
4. Azharul Husna (KontraS Aceh)

Tags
Writer Profile

Admin

Without Bio

Popular Post

Popular Tags