Rilis
80 Tahun Kemerdekaan: Penguasa Berdaulat, Rakyat Sengsara, Impunitas Merajalela!
Sesuai dengan kebiasaan ketatanegaraan Indonesia, menjelang peringatan kemerdekaan Republik Indonesia, Presiden menyampaikan pidato kenegaraan di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pada pidato tersebut Prabowo Subianto berulang kali mengglorifikasi program-program pemerintah khususnya efisiensi anggaran, makan bergizi gratis serta kebijakan pemerintah di bidang pangan dan pertahanan.
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti sejumlah hal yang disampaikan oleh Prabowo Subianto dalam pidato tersebut serta situasi HAM di Indonesia menjelang peringatan kemerdekaan Republik Indonesia ke 80 tahun.
Pertama, Prabowo Subianto berulang kali menyinggung program pemerintah yang bertujuan untuk memerdekakan masyarakat dari kemiskinan serta mewujudkan kedaulatan ekonomi untuk mewujudkan Pasal 33 UUD 1945. Pasal 33 UUD 1945 sendiri menyatakan bahwa Bumi, air dan segala isinya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyatnya.
Meski begitu, nyatanya proyek pembangunan pemerintah khususnya Proyek Strategis Nasional (PSN) justru menjadi sumber sengsara serta pelanggaran hak warga khususnya masyarakat adat.(1) Ratusan ribu warga telah merasakan dampak buruk dari PSN. Di Merauke, PSN menimbulkan potensi kerusakan hutan serta perampasan ruang hidup masyarakat adat, warga yang menolak PSN juga mendapatkan intimidasi serta ancaman dari aparat. Pola serupa juga terjadi di wilayah lain yang kini menjadi “pusat” pembangunan PSN.
Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus, proyek pembangunan yang diinisiasi oleh pemerintah, alih-alih menyejahterakan masyarakat justru berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia khususnya perampasan lahan dan pelanggaran hak lainnya dari masyarakat adat. Kondisi ini diperparah dengan pelibatan militer melalui skema batalyon tempur pembangunan.
Kedua, Prabowo Subianto juga menyinggung pembentukan 20 Brigade Teritorial Pembangunan dan 100 Batalyon Tempur Pembangunan. Pembentukan Brigade dan Batalyon pembangunan justru membawa TNI mengerjakan tugas dan fungsi di luar fungsi pertahanan negara serta akan melemahkan kapasitas institusi sipil dalam tata kelola pemerintahan negara, sekaligus menggerus profesionalisme militer dalam menjalankan tugas utamanya sebagai alat pertahanan negara.(2) Di luar itu, dalam pidatonya Prabowo Subianto juga menyinggung terbentuknya 6 Komando Daerah Militer, 14 Komando Daerah Angkatan Laut serta 3 Komando Daerah Angkatan Udara.
Penambahan struktur komando teritorial mencerminkan orientasi pertahanan yang masih berfokus pada dinamika domestik, tanpa memperlihatkan kesadaran strategis yang memadai terhadap kebutuhan untuk merespons dinamika dan perkembangan global. Lebih lanjut, kebijakan ini tidak selaras dengan semangat reformasi TNI maupun prinsip-prinsip yang diamanatkan dalam Undang-Undang TNI. Sejalan dengan penghapusan doktrin dwi fungsi ABRI, seharusnya struktur komando teritorial justru mengalami restrukturisasi atau penyederhanaan. Pembentukan brigade teritorial pembangunan tersebut menambah daftar kemunduran reformasi TNI, khususnya pasca revisi UU TNI disahkan.
Ketiga, dalam pidato Presiden sama sekali tidak disinggung situasi terkini mengenai penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Pemerintah masih berfokus pada pembangunan ekonomi yang berpusat pada eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, namun belum menjadikan perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM sebagai agenda utama. Seperti pidato Presiden sebelumnya, penyelesaian peristiwa pelanggaran berat HAM termasuk pelanggaran berat HAM masa lalu juga kembali tidak disinggung dalam pidato di hadapan MPR-RI.
Nampak bahwa pemerintah tidak menjadikan perlindungan HAM sebagai agenda utama dan membiarkan impunitas terus terjadi. Orang-orang yang diduga dan terlibat dalam peristiwa pelanggaran berat HAM masa lalu bahkan diberikan pangkat kehormatan serta dilantik dalam posisi strategis sebagai menteri serta pimpinan lembaga negara. Hal tersebut diperburuk pula dengan wacana penulisan ulang sejarah yang tidak mengedepankan aspek pengungkapan kebenaran atas peristiwa pelanggaran berat HAM yang diinisiasi oleh Menteri Kebudayaan serta wacana untuk menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Alih-alih menegakkan keadilan bagi para korban, pemerintah justru melanggengkan impunitas secara gamblang, agenda penuntasan peristiwa pelanggaran berat HAM serta agenda terkait perlindungan dan pemenuhan HAM lainnya pun semakin jauh dari harapan korban.
Keempat, menjelang HUT RI ke 80, peristiwa kekerasan, represifitas aparat dan pelanggaran terhadap hak warga negara masih terus terjadi. Pemantauan KontraS pada Januari-Juni 2025 menunjukkan terjadinya 76 peristiwa pelanggaran kebebasan sipil dengan 503 korban.(3) Hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah masih belum menanggapi kritik warga negara dengan serius serta terkadang masih memandang kritik warga negara sebagai bagian dari ancaman, kritik yang disampaikan oleh warga negara seharusnya direspon dengan serius sebagai masukan terhadap pemerintah, bukan dibungkam apalagi dengan represi dan kekerasan.
Beberapa bulan terakhir, peristiwa pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkepercayaan juga berulang kali terjadi. Negara masih belum mampu melindungi kelompok minoritas dan menjalankan amanat konstitusi yang menjamin hak beragama sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam situasi apapun.
Situasi tersebut diperparah dengan temuan KontraS yang mencatat 66 peristiwa penyiksaan dengan 139 korban.(4) Penyiksaan yang terus berulang bahwa penegakan hukum masih kerap dilakukan dengan mengedepankan kekerasan serta mengenyampingkan perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara.
Terhadap situasi tersebut, KontraS menilai ini berbanding terbalik kenyataannya dengan tema HUT RI ke-80 yakni “Bersatu berdaulat, Rakyat sejahtera, Indonesia Maju sebagaimana yang diusung oleh pemerintah. Kenyataan yang terjadi justru, penguasa semakin berdaulat karena didukung kekuatan militer, rakyatnya semakin sengsara karena kebijakan penguasa yang menjerat, dan impunitas pelanggaran berat HAM merajalela karena dilanggengkan penguasa. Pekikan ‘Merdeka!’ tidak cukup sebagai semboyan semangat nasionalisme semata, lebih dari itu ‘Merdeka!’ harus dimaknai sebagai semangat pembebasan melawan militerisme, impunitas, kekerasan aparat dan pembungkaman kebebasan sipil! Tegas Dimas Bagus Arya, koordinator KontraS.
Jakarta, 16 Agustus 2025
Badan Pekerja KontraS
Dimas Bagus Arya, S.H
Koordinator
Tags

KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan