Sejak 2011, 30 Agustus ditetapkan sebagai Hari Korban Penghilangan Orang secara Paksa Internasional oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Peringatan ini diciptakan sebagai pengingat masyarakat dunia untuk memerangi kejahatan penghilangan orang secara paksa di berbagai negara. Selain itu, peringatan ini bertujuan menarik perhatian masyarakat dunia untuk terus mempertanyakan nasib orang-orang yang dihilangkan secara paksa. Di Indonesia, praktik penghilangan orang secara paksa terjadi di beberapa daerah selama kurun waktu pemerintahan militeristik Orde Baru dan bahkan terjadi ketika masa reformasi. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat bahwa penghilangan paksa sudah terjadi setidaknya dalam Peristiwa 1965-1966 dan ini pun masih terus berulang menjadi momok di tengah masyarakat hingga sekarang. Koalisi Indonesia Anti Penghilangan Paksa menyoroti dan menyayangkan fakta bahwa Indonesia masih belum juga memiliki peraturan hukum yang secara spesifik mencegah dan melindungi semua orang dari penghilangan paksa.

 

Merujuk pada sejumlah penyelidikan pro-justicia yang sudah dilakukan oleh Komnas HAM, penghilangan paksa terjadi pada 9 kasus pelanggaran berat HAM yaitu peristiwa 1965-1966, peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, peristiwa Tanjung Priok 1984, peristiwa Talangsari 1989, peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis 1989-1998, peristiwa Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998, peristiwa Timor Timur 1999, peristiwa Wasior 2001-2002, dan peristiwa Timang Gajah 2001. Tak hanya itu, penghilangan paksa juga terjadi di luar peristiwa pelanggaran berat HAM, di antaranya peristiwa Sentani 1970, peristiwa 27 Juli 1996, tragedi Biak Berdarah 1998, penghilangan paksa pasca periode DOM Aceh, pemindahan anak Timor Timur (stolen children), penghilangan paksa terhadap Theys H. Eluay dan Aristoteles Masoka, militerisasi di Papua.

 

Setelah memasuki masa reformasi, risiko terjadinya penghilangan paksa menyasar pada warga negara yang sedang menjalankan hak-hak kebebasan sipil seperti hak berkumpul, berserikat, berekspresi dan mengemukakan pendapat di muka umum. Bentuk penghilangan paksa yang dimaksud bukanlah penghilangan paksa yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang, sebagaimana dirumuskan oleh Mahkamah Pidana Internasional dalam Sidang Praperadilan III pada Situasi Burundi (Pre-Trial Chamber III on the Situation of Burundi) yang merujuk pada pendefinisian penghilangan paksa berdasarkan Statuta Roma, melainkan terdapat temuan pola baru yang dikenal dengan istilah short-term enforced disappearances atau penghilangan paksa jangka pendek. Pola ini ditemukan pada kasus Roberto Agustin Yrusta di Argentina yang menghilang selama lebih dari tujuh hari karena ditahan oleh otoritas Argentina dan sempat ditempatkan di sel isolasi khusus, tempat ia mengalami penyiksaan dan hukuman yang tidak manusiawi, sementara keluarganya juga tidak dapat memperoleh informasi apa pun dari otoritas penjara.

 

Komite Penghilangan Paksa (the Committee on Enforced Disappearances or CED) sebagai badan perjanjian yang didirikan berdasarkan Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Orang secara Paksa (International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearances, ICPPED) 2006 mengakui bahwa kondisi di mana seseorang ditahan secara rahasia dan di luar perlindungan hukum dan dapat kembali setelahnya baik dalam keadaan hidup dan mati merupakan kasus penghilangan paksa meski jangka waktunya singkat. Jika merujuk pada pendefinisian tersebut maka massa aksi yang ditangkap dan ditahan sewenang-wenang oleh aparat negara, tidak diketahui keberadaannya dan di luar perlindungan hukum merupakan preseden terjadinya praktik penghilangan orang secara paksa dalam jangka waktu pendek atau short-term enforced disappearances misalnya yang menimpa massa aksi demonstrasi Reformasi Dikorupsi 2019, Tolak Omnibus Law 2020, Penolakan Otsus Jilid 2 Papua dan Peringatan Darurat 2024. Lebih jauh, penghilangan orang secara paksa yang terus terjadi hingga kini karena tidak seriusnya negara untuk segera mengesahkan ratifikasi ICPPED sehingga masih terdapat kekosongan peraturan hukum di Indonesia mengenai pencegahan praktik penghilangan orang secara paksa.

 

Indonesia sejatinya sudah menandatangani ICPPED pada 27 September 2010. Meratifikasi Konvensi tersebut dapat mengisi kekosongan hukum yang ada di Indonesia mengenai penghilangan paksa, seperti dengan mengintegrasikan penghilangan paksa sebagai tindak pidana dalam hukum pidana di Indonesia. Sebab, semua orang memiliki hak untuk bebas dari penghilangan paksa, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Ayat (2) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ratifikasi ICPPED menjadi penting untuk dilakukan mengingat begitu maraknya terjadi kasus penghilangan paksa yang dilakukan oleh aparat negara, seperti kepolisian dan militer, namun tidak pernah ada hukuman yang dijatuhkan kepada mereka.

 

Pada kenyataannya, ratifikasi ICPPED terbukti tidak memiliki kendala administratif. Presiden Joko Widodo telah mengirimkan surat bernomor R21/pres/04/2022 kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada April 2022 terkait ratifikasi tersebut. Surat yang dikirim juga menyertakan tanda tangan dari empat kementerian terkait, yaitu Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Pertahanan. Kini prosesnya mangkrak di DPR RI lantaran tak kunjung disahkan sebagai Undang-Undang nasional dan ICPPED pada akhirnya menjadi satu-satunya konvensi HAM Internasional yang belum diratifikasi oleh Indonesia.

 

Tidak kunjung disahkannya RUU Ratifikasi ICPPED menunjukkan ketidakseriusan DPR dalam mengutamakan kepentingan rakyat. Pasalnya, pembahasan RUU ratifikasi perjanjian internasional secara otomatis masuk dalam RUU Kumulatif Terbuka sehingga bisa dibahas kapan saja. Selama ini, DPR justru mengejar pengesahan dan pembahasan legislasi yang sebenarnya malah menyengsarakan rakyat dan berpihak pada oligarki, seperti UU Cipta Kerja dan revisi UU KPK. Yang baru saja terjadi, DPR pun membahas revisi UU Pilkada hanya dalam waktu dua hari namun memilih untuk mengabaikan pembahasan dan pengesahan RUU Ratifikasi ICPPED.

 

Bertepatan dengan Peringatan Hari Korban Penghilangan Orang secara Paksa Internasional, maka Koalisi Indonesia Anti Penghilangan Paksa mendesak:

  1. Presiden, Kepolisian Republik Indonesia, dan Tentara Nasional Indonesia beserta seluruh jajarannya untuk menghentikan penghilangan paksa dan tidak memberikan impunitas bagi para pelakunya;
  2. Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk segera meratifikasi Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa;
  3. Presiden membentuk Komisi Orang Hilang dan melakukan pencarian terhadap keberadaan orang hilang;
  4. Kejaksaan Agung untuk melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus pelanggaran berat HAM terutama yang terjadi penghilangan paksa di dalamnya;
  5. Presiden membentuk Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus Penghilangan Paksa 1997-1998 sesuai rekomendasi Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam surat nomor PW.01/6204/DPR RI/IX/2009; dan
  6. Presiden untuk memenuhi hak pemulihan kepada keluarga korban orang hilang secara substantif dan berkeadilan.

 

30 Agustus 2024

Koalisi Indonesia Anti Penghilangan Paksa

Tags
Writer Profile

KontraS

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan