Pada 26 tahun yang lalu, tepatnya pada 6 Juli 1998, telah terjadi tragedi kemanusiaan di Tanah Papua, yaitu peristiwa Biak Berdarah. 26 tahun pula telah berlalu tanpa adanya upaya penyelesaian yang memberi keadilan bagi para korban. Tidak pernah ada pengungkapan siapa pelaku dalam peristiwa ini, apalagi penuntutan pidana terhadap para pelaku. Para korban juga tidak pernah menerima pemulihan sebagai akibat dari kerugian dan penderitaan yang mereka alami. Negara seakan berupaya untuk mengubur rekam jejak kelam ini sebagai masa lalu yang tidak perlu diungkit kembali.

 

Peristiwa ini bermula dari aksi damai yang telah berlangsung sejak 2 Juli 1998. Akan tetapi, aparat militer dan kepolisian setempat justru menyikapi aksi ini dengan menggunakan kekerasan. Aparat melakukan penyerangan terhadap para massa aksi hingga mengakibatkan warga sipil menjadi korban.

 

Laporan dari Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia Papua (ELSHAM Papua), Gereja Kristen Injili (GKI) Irian Jaya, Gereja Katolik Keuskupan Jayapura, dan Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) mengungkapkan terdapat 150 orang ditahan secara sewenang-wenang, 37 orang mengalami luka-luka, 8 orang meninggal dunia, dan 3 orang dinyatakan hilang. Terdapat pula 32 mayat misterius mengambang di perairan Biak, yang diduga kuat berkaitan dengan peristiwa ini melalui kesaksian seorang nelayan.

 

Meskipun peristiwa ini secara nyata terjadi yang dapat dibuktikan dengan adanya korban, tidak pernah ada upaya penyelesaian yang berkeadilan terhadap kasus ini. Sebelumnya, pada Juli 1998, Komnas HAM pernah mengeluarkan pernyataan bahwa terjadi pelanggaran HAM oleh aparat keamanan saat pembubaran massa di Biak. Komnas HAM juga pernah membentuk tim kajian kebijakan daerah operasi militer Papua yang kemudian merekomendasikan dilakukannya penyelidikan lebih lanjut terhadap peristiwa Biak Berdarah karena adanya dugaan terjadi pelanggaran HAM yang berat. Hal senada pun disampaikan oleh Panglima Kodam VIII Trikora, yang membenarkan adanya korban dan mayat yang belum ditemukan.

 

Pengabaian pemerintah terhadap peristiwa Biak Berdarah menunjukkan bahwa pemerintah telah melanggengkan impunitas dengan tidak mengungkapi pelaku kejahatan dan menjauhkan mereka dari penegakan akuntabilitas dalam penggunaan alat kekuasaan negara. Terjadinya peristiwa ini dalam beberapa bulan awal pasca Reformasi harusnya menjadi dorongan yang cukup bagi negara untuk turut memperhatikan peristiwa ini dan mengusut peristiwa ini secara tuntas. 26 tahun telah berlalu sejak Reformasi nyatanya tidak mampu meruntuhkan dinding impunitas yang dipelihara negara seperti dalam periode kepemimpinan Presiden Soeharto.

 

Tidak hanya itu, sikap abai ini pun merefleksikan bagaimana Papua dan warga Papua dipandang oleh pemerintah. Ketiadaan upaya penyelesaian yang berkeadilan, mengindikasikan bahwa pemerintah, penggunaan kekerasan dan pelanggaran terhadap HAM di Papua dibenarkan dan bukanlah suatu bentuk kejahatan. Hal ini pun dikuatkan dengan pola penyerangan dalam peristiwa Biak Berdarah yang dilakukan dari empat arah mata angin, memberikan kesan bahwa para massa aksi, dalam hal ini warga Biak, dipersepsikan sebagai musuh berbahaya yang harus ditumpas alih-alih sebagai warga negara yang memiliki seperangkat hak asasi.

 

Peristiwa Biak Berdarah hanyalah bagian kecil dari praktik kekerasan oleh negara dan ketidakadilan yang telah terjadi selama beberapa dekade terakhir di Tanah Papua. Terdapat banyak peristiwa tragedi kemanusiaan lainnya yang juga terjadi di Papua, di antaranya yaitu peristiwa Wasior 2001, peristiwa Wamena 2003, peristiwa Abepura 2000, dan peristiwa Paniai 2014. Pemerintah tidak pernah menunjukkan itikad baiknya dalam menghargai HAM dari warga Papua maupun dalam menyelesaikan berbagai kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Peristiwa Abepura dan peristiwa Paniai yang telah dinyatakan sebagai pelanggaran HAM yang berat dan telah dibawa ke Pengadilan HAM pun, seluruh pelakunya berhasil lolos dari jeratan hukum. Dalam hal adanya proses hukum yang harus dijalankan terkait kekerasan di Papua, negara seakan dengan sengaja merancangnya untuk gagal.

 

Sebagai pemangku kewajiban (duty bearer), pemerintah seharusnya menunaikan tiga kewajibannya, yaitu menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM dari warga Papua. Akan tetapi, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Pemerintah terus menggunakan pendekatan keamanan dengan terus menurunkan aparat kepolisian dan militer dalam jumlah besar di Papua. Praktik militerisme ini juga berjalan berkelindan dengan rasisme, eksploitasi kekayaan alam, dan perusakan lingkungan sehingga menindas dan melanggar hak-hak dari masyarakat adat di Papua.

 

Kekerasan tidak pernah menjadi peristiwa “masa lalu” bagi warga Papua. Sejumlah instrumen hukum di Indonesia yang mengakui dan menjunjung tinggi HAM seakan dieksklusikan penerapannya dari mereka. Krisis kemanusiaan sudah terlalu berlarut terjadi di Papua, tanpa pernah ada langkah perubahan signifikan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Periode pasca Reformasi, yang seharusnya mampu menjadi angin segar bagi kemanusiaan, tidak dapat dirasakan oleh warga Papua. Mereka terus hidup di bawah belenggu militerisme dan impunitas yang dilanggengkan oleh negara.

 

Oleh karena itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak Presiden Joko Widodo:

  1. Menyelesaikan secara tuntas dan berkeadilan peristiwa Biak Berdarah, menghentikan praktik impunitas, khususnya di Tanah Papua serta pemerintah harus menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia kepada setiap orang;
  2. Mengevaluasi pengerahan aparat keamanan dan kemudian menghentikan berbagai bentuk pendekatan keamanan serta melakukan pendekatan dialog untuk mengakhiri situasi konflik di Papua secara damai.

 

Jakarta, 6 Juli 2024

Badan Pekerja KontraS




Dimas Bagus Arya

Koordinator

Narahubung: 082175794518

Tags
Writer Profile

Admin

Without Bio