TAP-HAM mengecam keras putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Stabat yang memvonis vrijspraak sehingga  Terbit Rencana Perangin-angin (TRP) eks bupati Langkat melenggang bebas. Sebelumnya, TRP merupakan terdakwa dari kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sebagaimana teregister dalam perkara nomor 555/Pid.Sus/2023/PN Stb. Tentu saja hal ini sangat memilukan bagi penegakan hak asasi manusia dan keadilan, karena perangkat negara melalui pengadilan telah gagal melindungi korban.

 

Kasus ini pada awalnya diketahui saat operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap TRP Bupati Langkat non-aktif pada 18 Januari 2022, dimana telah membuka tabir kejahatan. Dari hasil penggeledahan KPK ditemukan adanya beberapa orang yang berada dalam bangunan berjeruji besi dengan dalih bahwa bangunan yang mirip kerangkeng tersebut merupakan tempat rehabilitasi. Korban yang telah dimasukkan dalam jeruji besi yang terletak di belakang rumah TRP, dan kuat dugaan bahwa TRP merupakan inisiator dari kerangkeng manusia tersebut, untuk kemudian dieksploitasi dengan dipekerjakan di perkebunan sawit miliknya secara paksa dan tidak dibayar.

 

TRP dituntut dengan Pasal 2 ayat (2) jo Pasal 11 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Namun, Pengadilan Negeri Stabat pada Senin, 8 Juli 2024 memutus bebas TRP. Selain itu, TRP juga dibebaskan dari kewajiban untuk membayar biaya restitusi. Putusan ini sangat mengejutkan, mengingat tuntutan Penuntut umum dalam sidang sebelumnya terhadap TRP yakni adalah 14 tahun pidana penjara, denda sebesar Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah), serta biaya restitusi sebesar Rp 2.377.805.493 (dua milyar tiga ratus tujuh puluh tujuh juta delapan ratus lima ribu empat ratus sembilan puluh tiga rupiah) yang diberikan kepada 12 korban atau ahli warisnya.

 

Terdapat beberapa hal yang ingin kami soroti, yakni:

 

Pertama, kami menilai adanya kejanggalan saat persidangan, yakni penundaan pembacaan tuntutan sebanyak lima kali, dari total penundaan sidang sebanyak tiga belas kali. Bahkan terdapat justifikasi untuk melakukan penundaan pembacaan surat tuntutan dengan alasan tuntutan belum siap sehingga tidak dapat dibacakan. Selain itu, TRP juga dua kali mangkir pada saat tuntutan akan dibacakan.  Perilaku JPU yang terus menunda-nunda persidangan jelas mencerminkan sikap tidak profesional. Hal ini juga bertentangan dengan Pasal 50 KUHAP yang mengamanatkan agar seorang tersangka/terdakwa dapat menjalani proses hukum dengan segera tanpa penundaan yang tak beralasan (undue delay). Dengan adanya undue delay, pengadilan seakan-akan tidak menganggap serius kasus TPPO.

 

Kedua, kami juga menyayangkan putusan tersebut mengabaikan kondisi korban karena tidak dikabulkannya restitusi oleh hakim. Korban seharusnya mendapatkan restitusi jika TRP divonis bersalah, sehingga menimbulkan ketidakadilan bagi korban. Kondisi tersebut menambah catatan buruk terkait dengan penegakan hukum TPPO dan juga upaya pemulihan korban oleh negara.

 

Ketiga, proses persidangan berjalan dengan sangat panjang, dalam SIPP Pengadilan Negeri Stabat disebutkan total persidangan 321 hari. Padahal, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada Empat Lingkungan Peradilan, diatur bahwa penyelesaian perkara pada pengadilan tingkat pertama paling lambat dalam waktu lima bulan, sehingga tidak sesuai dengan asas yaitu contante justitie, atau peradilan seharusnya berlangsung cepat, sederhana, dan dengan biaya ringan karena tidak kunjung memberikan kepastian hukum bagi korban.

 

Keempat, apabila melihat putusan lain yang berhubungan yakni Perkara Nomor 467/Pid.B/2022/PN Stb yang melibatkan Dewa Perangin Angin dan Hendra Subakti alias Gubsar, yang dalam putusannya menyatakan keduanya  telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “penganiayaan yang mengakibatkan orang lain mati yang dilakukan secara bersama-sama” dan oleh karena itu dijatuhkan pidana kepada dengan pidana penjara masing-masing selama 1 (satu) tahun dan 7 (tujuh) bulan, serta diterimanya permohonan restitusi untuk seluruhnya. Padahal, tindakan yang dilakukan keduanya berada di krangkeng manusia yang berada di halaman TRP dan kuat diduga diinisiasi oleh TRP, serta apabila melihat dari lokasi kejadiannya, sangat tidak mungkin apabila TRP tidak mengetahui adanya tindakan penganiayaan tersebut. Kami menilai bahwa sangatlah ganjil apabila aktor intelektual dari perkara TPPO ini justru diputus bebas. 

 

Atas dasar uraian di atas, TAP-HAM mendesak agar:

  1. Tim Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan upaya hukum kasasi Mahkamah Agung dengan tetap memasukkan substansi mengenai permohonan restitusi korban sebagai salah satu memori pokok dalam memori kasasi;
  2. Komnas HAM untuk dapat memberikan pendapat di dalam proses peradilan, karena dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran HAM yakni Tindak Pidana Perdagangan Orang yang merupakan bagian dari pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana mandat UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM;
  3. Komisi Kejaksaan memanggil dan meminta keterangan kepada Jaksa yang melakukan undue delay serta melakukan pemeriksaan sehubungan dengan perilaku dan/atau dugaan pelanggaran peraturan kejaksaan;
  4. Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung melakukan pemeriksaan kepada Majelis Hakim pemeriksa perkara, serta menyelidiki adanya dugaan pelanggaran etik.

 

Jakarta, 12 Juli 2024

Tim Advokasi Penegakan Hak Asasi Manusia





Narahubung:

KontraS (08176453325)

PBHI (0895385587159)

KontraS Sumatera Utara (085261905071)

Tags
Writer Profile

Admin

Without Bio