Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan kecewa dengan putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 81/PUU-XXIII/2025 terhadap Perkara Uji Formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Revisi UU TNI) yang menolak seluruh permohonan yang dimintakan oleh YLBHI, Imparsial, KontraS, dan Inayah Wahid serta menganggap Pegiat HAM Fatiah Maulidianty dan Eva Nurcahyani selaku mahasiswa tidak memiliki kedudukan hukum. Negara melalui Mahkamah Konstitusi tidak secara serius dan jernih mempertimbangkan dalil-dalil permohonan yang diajukan oleh pemohon yang merupakan individu dan organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan. Kami menilai putusan ini bermasalah dan berbahaya, akan menjadi preseden buruk praktik legitimasi Mahkamah Konstitusi terhadap proses legislasi yang manipulatif dan mengabaikan prinsip partisipasi bermakna.
Putusan ini dibacakan pada tanggal 17 September 2025 oleh Hakim Mahkamah Konstitusi secara bergantian yang pada pokok putusannya, membantah seluruh dalil yang diajukan oleh para pemohon, baik mengenai kedudukan hukum (legal standing) maupun yang berkenaan dengan substansi permohonan. Namun demikian, kami mengapresiasi bahwa dari sembilan hakim Mahkamah Konstitusi, empat orang di antaranya menyatakan bahwa seharusnya permohonan pemohon dikabulkan untuk sebagian dengan menyatakan UU TNI adalah konstitusional bersyarat, yakni Dr. Suhartoyo S.H., M.H., Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum., Dr. H. Arsul Sani, S.H., M.Si., Pr.M., dan Prof. Dr. Saldi Isra, S.H.
Adapun poin-poin kritis Putusan Sidang Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 81/PUU-XXIII/2025 yang melegitimasi penyimpangan konstitusi adalah sebagai berikut:
Pertama, Mahkamah memiliki kewenangan untuk memeriksa perkara dan terdapat sebagian pemohon yang memiliki kedudukan hukum namun sebagian tidak memiliki kedudukan hukum sebagai pemohon;
Kedua, Revisi UU TNI dianggap telah melalui proses di DPR melalui Prolegnas Prioritas 2025 dengan alasan adanya dinamika kompleksitas dan tantangan pertahanan dan keamanan negara.
Ketiga, Pembahasan RUU TNI di DPR periode ini memang belum sampai tahap pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan majelis hakim pemeriksa perkara menilai bahwa hal tersebut dapat dimaklumi karena dianggap sejalan dengan tujuan carry over mengingat pembahasan DIM sudah dilakukan oleh DPR periode sebelumnya dan masih sejalan dengan ketentuan Pasal 71A UU 15/2019 terlebih UU TNI telah dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas;
Keempat, hakim pemeriksa perkara membantah dalil permohonan dari koalisi yang menyatakan bahwa Revisi UU TNI tidak sesuai dengan agenda reformasi sektor keamanan khususnya reformasi militer yang telah ditetapkan oleh berbagai politik hukum mengenai TNI pasca reformasi 1998, dimana Revisi UU TNI diharapkan akan melibatkan prajurit sesuai profesi, terlebih mengingat UU TNI No. 34 Tahun 2004 sudah cukup lama dan perlu untuk di update untuk keamanan negara sehingga dalil ini dianggap tidak beralasan.
Kelima, dalam dalil permohonan Koalisi yakni mengenai proses pembahasan tidak transparan, DPR oleh Hakim Mahkamah Konstitusi dianggap sudah membuka ruang partisipasi masyarakat melalui berbagai metode baik diskusi tatap muka maupun menggunakan elektronik sehingga tidak ada upaya menghalang-halangi masyarakat dalam memperoleh informasi. Meskipun dalam tahapan formil pembahasan nyatanya, masyarakat hanya pernah sekali diundang secara formal untuk dimintai pendapat dan masukan melalui mekanisme Rapat Dengan Pendapat Umum (RDPU);
Keenam, disangkalnya keterbatasan akses dokumen penyusunan seperti RUU, NA, dan DIM. Penyangkalan ini dikarenakan sudah dapat diaksesnya dokumen dalam website DPR RI. Walaupun terdapat pandangan berbeda yang dikemukakan oleh Hakim Konstitusi Arsul Sani yang menyatakan bahwa tindakan DPR yang mengunggah (upload) draft RUU pada laman yang berbeda dengan yang biasanya sehingga menyebabkan masyarakat kesulitan untuk mendapatkan draft RUU membuat dalil pemohon tidak terelakkan.Selain itu, mengingat bahwa sudah adanya policy brief yang dibuat oleh Indonesia Strategic & Defence Studies (ISDS) membuat hakim berkesimpulan bahwa DIM dapat diakses. Hakim juga menyampaikan bahwa rapat yang diadakan di Hotel Fairmont tanggal 14-15 Maret 2025 dinyatakan oleh pemimpin rapat bahwa rapat tersebut dibuka dan terbuka untuk umum;
Ketujuh, sejalan dengan poin sebelumnya yakni rapat dibuka dan terbuka untuk umum, permohonan terkait dengan penggunaan kekuatan secara berlebihan (excessive use of force) untuk menutup ruang partisipasi publik yang dalam konteks ini adalah rapat kerja di Hotel Fairmont digugurkan karena dianggap tidak ada penggunaan kekuatan secara berlebihan terutama karena DPR telah menerima dan mengundang Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Sektor Keamanan di tanggal 18 Maret 2025;
Kedelapan, dalam rangka penahanan dokumen Revisi UU TNI, hakim membantah adanya penahanan dengan alasan bahwa Revisi UU TNI sudah diundangkan dalam lembaran negara dan dianggap sudah disebarluaskan serta dapat diakses di laman sekretariat negara. Selain itu, Revisi UU TNI juga tidak dianggap cacat formil, sehingga permohonan kami dianggap tidak beralasan menurut hukum.
Maka dari itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai bahwa:
- Delegitimasi terhadap dua orang pemohon yakni Fatiah Maulidianty dan Eva Nurcahyani tidak dapat dibenarkan. Hal ini dikarenakan Fatiah Maulidianty dan Eva Nurcahyani merupakan penggiat HAM. Terlebih setiap warga negara, apa pun latar belakangnya berhak untuk berpartisipasi dalam setiap kebijakan publik.;
- RUU Revisi UU TNI bukanlah RUU carry over sesuai dengan yang tercantum dalam Keputusan DPR Nomor 64/DPR RI/I/2024-2025 tentang Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2025 dan Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2025-2029. RUU Revisi UU TNI disahkan sebagai RUU prioritas pada Prolegnas 2025 dalam Rapat Paripurna 18 Februari 2025, yang sejak awal tidak mengagendakan hal tersebut. Salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh suatu RUU untuk dapat di-carry over oleh DPR periode berikutnya adalah bahwa RUU tersebut telah memasuki pembahasan DIM pada masa keanggotaan DPR saat itu. Maka dari itu, RUU TNI seharusnya dimulai pembahasannya sejak awal dan melakukan pembahasan DIM dalam rapat. Sayangnya, MK malah menafsirkan kesepakatan untuk menunda membahas DIM merupakan bagian dari “Pembahasan DIM pada masa keanggotaan DPR saat itu”. Dalam hal ini, MK telah melakukan penafsiran hukum yang serampangan terhadap norma yang sudah konkrit dan tidak memerlukan penafsiran lebih lanjut. Maka dari itu, jika UU ini dipaksakan carry over, maka seharusnya merupakan cacat prosedur;
- Hakim pemeriksa perkara menyatakan bahwa DIM telah beredar dan dengan merujuk dokumen pendukung berupa policy brief. Namun hakim maupun pemerintah tidak mampu menunjukkan secara jelas di mana dan kapan dokumen tersebut dapat diakses oleh publik. Kondisi ini menimbulkan persoalan serius dari perspektif asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf g UU No. 12 Tahun 2011 jo. UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Terlebih dalam Pasal 96 ayat (4) UU No. 12 Tahun 2011 jo. UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dijelaskan bahwa setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.;
- Undangan resmi dari DPR untuk mengikuti pembahasan RUU TNI baru dikeluarkan setelah peristiwa rapat di Hotel Fairmont berlangsung. Hal ini tidak hanya menimbulkan pertanyaan terkait transparansi dan akuntabilitas proses legislasi, terlebih tidak ada masyarakat maupun jurnalis yang dapat mendengarkan langsung rapat tersebut di dalam ruangan. Hal ini kemudian tidak sesuai dengan putusan hakim yang menggugurkan permohonan kami dengan menyatakan bahwa sidang dibuka dan terbuka untuk umum, mengingat kondisi yang ada secara tertulis dan di lapangan sangatlah berbeda;
- Pertimbangan Majelis Hakim MK juga menyatakan bahwa Revisi UU TNI dapat diakses dan tidak ada penahanan informasi ke publik. Namun tidak disebutkan secara jelas sejak kapan persisnya dokumen tersebut dapat diakses ke publik sehingga menimbulkan tanda tanya lebih jauh. Lebih lanjut, pertimbangan ini menegasikan hampir seluruh alat bukti yang dihadirkan Koalisi semasa persidangan pemeriksaan perkara. Bahkan hingga saat ini, pada laman website DPR tidak terdapat dokumen draft NA, DIM, atau perkembangan draft RUU sebagaimana keterangan DPR dan Presiden kepada Mahkamah yang mengatakan bahwa terdapat banyak dinamika dalam pembahasan;
- Putusan MK Nomor 81/PUU-XXIII/2025 perlu dipandang sebagai legitimasi dari proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang ugal-ugalan yang bertentangan dengan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Putusan MK Nomor 81/PUU-XXIII/2025 merupakan bentuk pengingkaran terhadap prinsip partisipasi publik yang bermakna;
- Sebagai penjaga demokrasi, penjaga negara hukum, dan penjaga hak asasi manusia, Mahkamah Konstitusi telah secara gamblang menampakkan dirinya sebagai alat pembenar bagi penguasa yang telah melangkahi hukum. Mahkamah seolah-olah menghindari berbagai norma dari pengaturan yang sudah jelas mengenai proses perancangan peraturan perundang-undangan yang dilanggar oleh pembentuk undang-undang. Alih-alih, Mahkamah Konstitusi malah mengalihkan hal tersebut dengan dalih sikap pembentuk undang-undang “dapat dibenarkan” tanpa alasan yang jelas.
Berdasarkan hal tersebut diatas, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak:
1. Pemerintah untuk menghentikan manuver politik yang menghasilkan regulasi atau kebijakan yang mengkhianati kepentingan publik, serta bertentangan dengan konstitusi, nilai-nilai demokrasi, dan prinsip negara hukum;
2. Mahkamah Konstitusi harus menegakkan standar uji formil yang ketat serta konsisten dalam menilai terpenuhinya asas keterbukaan dan partisipasi publik yang bermakna;
3. Mahkamah konstitusi harus berhenti memberikan legitimasi terhadap proses legislasi yang cacat.
Jakarta, 18 September 2025
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan
(Imparsial, KontraS, Elsam, Centra Initiative, PBHI Nasional, WALHI, YLBHI, Public Virtue, Amnesty International Indonesia, Forum de Facto, LBH Pers, ICW, LBH Masyarakat, HRWG, ICJR, LBH Jakarta, LBH Pos Malang, Setara Institute, AJI Jakarta, AlDP, PSHK)
Narahubung:
1. Hussein Ahmad (Imparsial)
2. Dimas Bagus Arya (KontraS)
3. Usman Hamid (Amnesty International Indonesia)
4. Gina Sabrina (PBHI)
5. M. Isnur (YLBHI)
6. Violla Reininda (PSHK)
7. Al Araf ( Centra Initiative)
8. Ikhsan Yosarie (SETARA Institute)
9. Fadhil Alfathan (LBH Jakarta)
10. Teo Reffelsen (WALHI)

KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan