Jakarta 19 September 2024, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang tergabung dalam Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) menyelenggarakan kegiatan launching Pusat Data Kekerasan Nasional (PDKN) dan diskusi publik  dengan tema “Represifitas Aparat Polri Terus Terulang, Apakah Bisa Dikategorikan Pelanggaran HAM Berat?”. Kegiatan ini merupakan bagian dari proses advokasi lanjutan yang dilakukan oleh TAUD atas tindakan represifitas aparat keamanan TNI dan Polri dalam merespons demonstrasi di berbagai kota seluruh Indonesia pada 22-26 Agustus 2024 lalu terkait aksi peringatan darurat untuk mengawal putusan MK yang hendak dijegal melalui proses legislasi ugal-ugalan oleh DPR RI dengan merevisi UU Pilkada. Alih-alih penanganan dilakukan dengan cara humanis, TNI dan Polri justru melakukan pembubaran paksa massa dengan melempar gas air mata, semprotan air bertekanan tinggi, melakukan penyiksaan, pemukulan menggunakan tongkat hingga melakukan penangkapan secara sewenang-wenang.

 

Dalam diskusi publik tersebut turut hadir 7 (tujuh) narasumber yaitu Afif Abdul Qoyim (Pengacara Publik YLBHI), Andrie Yunus (Kepala Divisi Hukum KontraS), Iwan (Perwakilan dari Palu, Sulawesi Tengah), Imal (SAFEnet), Teo (Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Anis Hidayah (Komisioner Komnas HAM), dan Charles Simabura (Ahli Hukum Tata Negara Universitas Andalas). Secara Garis Besar, Diskusi ini membahas bagaimana tindakan represif aparat Polri yang terus berulang sehingga hal tersebut bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat.

 

Pada kesempatan tersebut, Afif Abdul Qoyim, menyatakan bahwa TAUD menerima laporan korban aksi kawal putusan MK melalui 4 sumber yaitu, media berita online, pengumpulan dokumentasi berupa video dan foto, kanal Pelaporan Data Kekerasan Nasional (PDKN), serta layanan hotline TAUD. “Kami belajar dari aksi-aksi sebelumnya, keempat metode tersebut dinilai sangat membantu menghubungkan informasi mengenai orang atau kerabat yang ditangkap dan tidak diketahui keberadaannya untuk diberikan pendampingan lebih lanjut,” ujar Afif.

 

Lebih lanjut, Andrie Yunus, Kepala Divisi Hukum KontraS, menjelaskan terdapat laporan kekerasan di berbagai wilayah Indonesia yang telah dikumpulkan melalui metode OSINT. Hasilnya, terdapat 135 dokumentasi yang dihimpun melalui media pemberitaan. Kemudian terdapat 33 dokumentasi berupa foto dan video yang diperoleh melalui 11 pelapor melalui kanal PDKN. “Dari seluruh dokumentasi yang masuk, terdapat 254 korban akibat brutalitas aparat, mulai dari lebam, luka terbuka seperti kepala robek serta terdapat  salah satu pengunjuk rasa yang salah satu bola matanya harus diangkat,” ujar Andrie.

 

Dari data tersebut, 380 orang menjadi korban yang tersebar di 13 kota/kabupaten seperti Banda Aceh, Pekanbaru, Jakarta Pusat, Bandung, Semarang, Purwokerto, Kediri, Mataram, Banjarmasin, Samarinda, Tarakan, Makassar dan Palu. Dalam pengamanan massa aksi peringatan darurat terdapat pola tindakan represif berulang yang dilakukan oleh kepolisian dan militer seperti tindakan penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi penggunaan gas air mata secara berlebihan, hingga  tindakan penghilangan paksa berjangka singkat  juga terjadi di wilayah Jakarta. Selain tindakan represif yang bersifat fisik, ditemukan juga peristiwa serangan serangan digital yang dialami massa aksi seperti serangan doxxing.

 

Seterusnya, Teo Reffelsen yang mewakili Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), menyampaikan bahwa kasus intimidasi dan perampasan kemerdekaan, termasuk penangkapan terhadap mahasiswa, buruh, dan petani di berbagai wilayah Indonesia terus terjadi. Berdasarkan catatan dari 2021 hingga 2023, terdapat hampir 1.000 kasus kekerasan yang terjadi di seluruh Indonesia. Fakta tersebut menunjukkan bahwa kekerasan oleh aparat kepolisian meningkat, terutama saat penanganan demonstrasi atau konflik/sengketa, disertai dengan langkah-langkah ‘pengamanan’ yang bersifat berlebihan dan tidak perlu, dibandingkan menggunakan pendekatan dialog yang lebih partisipatif. Sebelum hingga saat demonstrasi, kerap terjadi penyitaan alat komunikasi dan pemeriksaan alat komunikasi sewenang-wenang. “Pelaku kekerasan mencoba menutupi jejak kekerasan dengan melakukan pembatasan akses terhadap rekan-rekan jurnalis,” ujar Teo.

 

Selanjutnya, Imal, perwakilan dari SAFEnet, menyampaikan bahwa SAFEnet membuka posko pelaporan publik yang tidak hanya untuk aksi kawal putusan MK kemarin. Bagi para pelaku masih dilakukan pendalaman lebih lanjut, sehingga pihak SAFEnet belum bisa menyimpulkan siapa saja pelakunya. SAFEnet mendapat laporan dari salah satu korban yang mengaku hingga hari ini masih merasa paranoid karena sempat hampir ditabrak oleh kendaraan yang tidak dikenal. Selain itu, terdapat kasus lain seperti, doxxing, peretasan, kebocoran data, spamming, pelecehan data, hingga pengancaman yang berkaitan dengan aksi peringatan darurat putusan MK. Secara keseluruhan, semua bentuk perampasan kemerdekaan, tekanan fisik dan emosional, atau tindakan manusiawi ini secara sengaja menyebabkan dampak pada psikologis dan fisik pada korban. Pemantauan masih dilakukan secara langsung, baik melalui aduan maupun pemantauan saat dan setelah aksi,” tutur Imal.

 

Selain itu, Charles Simabura, Ahli Hukum Tata Negara Universitas Andalas, menanggapi peristiwa aksi peringatan darurat kawal putusan MK bahwa tindak kekerasan yang dilakukan aparat Polri seolah menjadi sesuatu hal yang lumrah. Hal ini dianggap sebagai sikap represif negara dalam kebebasan berpendapat, yang semestinya hal tersebut dijamin dalam undang-undang. Aparat seharusnya menjaga dan mengawal hasil unjuk rasa tersebut agar tidak disusupi orang-orang diluar aksi. Pemerintah seharusnya belajar dari aksi-aksi sebelumnya yang menimbulkan korban jiwa, bahwa masyarakat melakukan aksi merupakan sebuah reaksi dari perilaku para elit yang membajak proses legislasi di ujung pemerintahan.  “Pada era demokrasi yang sudah mulai luntur, semestinya aparat keamanan menunjukkan wajah baru yang lebih demokratis seperti yang disampaikan oleh pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih,” ujar Charles. Charles juga menekankan catatan penting bagi lembaga-lembaga terkait agar mampu menahan diri jika terdapat pembentukan legislasi bersifat ugal-ugalan yang dapat menimbulkan kerugian bagi semua pihak termasuk masyarakat dalam pengaturan aspek-aspek penting fundamental negara.

 

Selanjutnya, Anis Hidayah, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), mengapresiasi organisasi sipil yang terlibat dalam pengawalan termasuk melakukan advokasi atas dugaan pelanggaran HAM dalam penyampaian aspirasi publik tentang pengawalan keputusan MK pada 22-26 Agustus lalu. Ia menyoroti tindakan aparat yang masih menggunakan kekerasan dalam pendekatan keamanan dalam mengawal aksi massa, yang seharusnya mengutamakan penghormatan dan perlindungan, terutama dalam pemenuhan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi. Lebih jauh, Komnas HAM telah melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap pengamanan aksi serta memantau situasi di tiga wilayah, yakni Jakarta, Makassar, dan Semarang. Apabila terjadi penangkapan terhadap massa aksi, Komnas HAM menekankan pentingnya pendekatan restorative justice untuk memberikan akses kebebasan bagi peserta aksi.

 

Komnas HAM juga meminta aparat untuk memberikan perlindungan khusus bagi kelompok rentan, termasuk perempuan dan anak-anak, yang sering kali menjadi korban kekerasan seksual dan intimidasi. Anis juga menyebutkan terdapat indikasi bahwa beberapa perguruan tinggi melakukan pembatasan terhadap kebebasan berpendapat yang seharusnya dilindungi, terlebih dalam lingkup sivitas akademika. Dalam evaluasi semester yang dirilis Komnas HAM, tercatat 250 laporan terkait dugaan pelanggaran HAM, di mana pihak kepolisian menjadi salah satu aktor yang sering kali terlibat. “Di masa yang akan datang, pendekatan kekerasan tidak lagi akan digunakan dalam pengamanan aksi, melainkan menggunakan pendekatan berbasis HAM,” ujar Anis. Terakhir, dalam kaitannya dengan pelanggaran HAM berat, Komnas HAM akan terus berkomitmen untuk melakukan tinjauan lebih mendalam terkait temuan dari pihak TAUD  dan akan terus mendorong perlindungan HAM di berbagai sektor.

 

Dari kegiatan diskusi publik ini, seluruh narasumber sepakat bahwa tindakan represif yang dilakukan oleh aparat, seperti penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, penggunaan kekerasan berulang merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Para narasumber menekankan perlunya penanganan serius terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut.  Tindak kekerasan seharusnya tidak menjadi metode yang digunakan dalam pengamanan aksi, melainkan perlunya dilakukan melalui cara-cara humanis. Secara keseluruhan, diperlukan segera  untuk melakukan reformasi serta evaluasi total atas pendekatan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan terhadap aksi massa, dengan memfokuskan pada penghormatan terhadap hak asasi manusia serta perlindungan bagi setiap orang.

Tags
Writer Profile

Admin

Without Bio

Popular Post

Thumbnail Post

Popular Tags