Kamis, 20 Juni 2024, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas yang terdiri atas Keluarga Korban Penghilangan Paksa 1997-1998, KontraS, Imparsial, AMAR, LBH Jakarta, YLBHI dan sejumlah organisasi/individu lainnya kembali menjalani sidang pemeriksaan di PTUN Jakarta terkait gugatan atas Penganugerahan Pangkat secara Istimewa berupa Jenderal TNI Kehormatan dari Presiden melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 13/TNI/Tahun 2024 yang telah didaftarkan sejak 28 Mei 2024 dengan perkara Nomor 186/G/2024/PTUN.JKT. 

Sidang agenda hari ini ialah pemeriksaan persiapan lanjutan untuk memeriksa kelengkapan berkas sekaligus memeriksa pihak tergugat yang dalam hal ini ialah Presiden, serta pihak lain yang berkepentingan, dalam hal ini ialah Prabowo Subianto untuk dimintai keterangan atas pangkat kehormatan yang ia sandang. Namun, dalam persidangan, tergugat dianggap tidak hadir karena belum melengkapi administrasi Surat Kuasa Khusus. Selain itu, Prabowo Subianto sebagai pihak lain yang berkepentingan tidak hadir tanpa alasan yang sah meski telah dipanggil secara patut.

Sebagai informasi, dalam agenda persidangan minggu lalu, Majelis Hakim telah memerintahkan Panitera Pengganti untuk memanggil Prabowo Subianto dalam Pemeriksaan Persiapan sebagai pihak yang berkepentingan dalam objek gugatan yang diajukan berdasarkan kewenangan dalam Pasal 83 ayat (1) UU Peratun untuk hadir dalam sidang hari ini.

Dilansir dari informasi yang tersebar di berbagai media, Prabowo Subianto justru dijadwalkan menerima tanda kehormatan Bintang Bhayangkara Utama di Ruang Rapat Utama Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia pada siang hari ini. Sebagai informasi, Bintang Bhayangkara Utama merupakan penghargaan tertinggi yang diberikan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) kepada individu yang berjasa luar biasa dalam memajukan dan mengembangkan institusi Polri. Penghargaan ini setara dengan Bintang Yudha Dharma dan Bintang Kartika Eka Paksi Utama.

Belum tuntas mempertanggungjawabkan akuntabilitas terkait pangkat Jenderal TNI Kehormatan Bintang Empat, Presiden beserta jajaran kembali mempertontonkan akrobat politik pemberian “hadiah-hadiah” tak terduga kepada Prabowo Subianto tanpa alasan dan dasar yang jelas. Seperti yang terjadi pada pemberian pangkat sebelumnya, penyematan tanda kehormatan yang diberikan kepada Prabowo tidak dapat memperlihatkan dasar, indikator, tolak ukur yang jelas terkait alasan pemberian tanda kehormatan tersebut atau dalam hal ini jasa luar biasa seperti apa yang telah dilakukan oleh Prabowo Subianto terhadap institusi Polri. Patut dicurigai pasca dipasangkan dengan Gibran Rakabuming Raka pada Pemilihan Presiden 2024-2029, Presiden justru memberikan tanda kehormatan kepada sosok yang memiliki rekam jejak buruk atas dugaan keterlibatannya dalam kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa 1997-1998. Khawatir, ini hanya menjadi ajang transaksi elektoral yang dilakukan oleh Presiden terhadap Prabowo Subianto dengan memunculkan wajah suram politik impunitas di Indonesia.

Gugatan yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas menjadi alarm pengingat bahwa Negara tidak boleh secara semena-mena dan sepihak memberikan gelar, tanda jasa dan tanda kehormatan tanpa alasan yang jelas serta harus sesuai dengan prosedur yang telah diatur oleh peraturan perundang-undangan. Tercatat, selama periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo tak henti-hentinya memberikan tanda jasa dan tanda kehormatan kepada sosok yang memiliki rekam jejak berdarah dalam isu hak asasi manusia seperti halnya Eurico Guterres, sosok pelaku kejahatan HAM Timor Timur 1999; yang menerima Bintang Jasa Utama oleh Presiden Jokowi pada tahun 2021, Prabowo Subianto yang menerima sejumlah tanda jasa dan tanda kehormatan berupa Bintang Yudha Dharma pada tahun 2022, pangkat Jenderal TNI Kehormatan Bintang Empat tahun 2024 dan terakhir Bintang Bhayangkara Utama yang rencana disematkan pada hari ini.


Tak hanya itu, tercatat Presiden Jokowi juga secara masif memberikan tanda jasa dan tanda kehormatan ke lingkaran kerabat terdekatnya diantaranya Bintang Mahaputera Adipradana kepada Anwar Usman yang merupakan saudara ipar Jokowi dan berstatus Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2020, Bintang Republik Indonesia Adipradana ke sang istri pada tahun 2023, tanda kehormatan Satyalancana Karya Bhakti Praja Nugraha kepada Bobby Nasution selaku menantunya dan Gibran Rakabuming Raka selaku putranya pada tahun 2024.

Minimnya kontrol publik atas pemberian tanda kehormatan terus menerus membuat Presiden beserta jajaran terus menerus memberikan gelar, tanda jasa dan tanda kehormatan secara sewenang-wenang tanpa bisa dipertanggungjawabkan kredibilitasnya. UU No. 20 tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan sejatinya mensyaratkan bahwa pemberian tanda kehormatan ditujukan kepada Presiden diusulkan melalui Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan sebagaimana diatur dalam pasal 30 ayat 1 ketentuan tersebut; serta dalam aturan pelaksanaanya yaitu PP No. 35/2010 mengatur sebelum Dewan mengajukan gelar, tanda jasa dan tanda kehormatan harus melakukan verifikasi atas permohonan usul Gelar, Tanda Jasa, dan/atau Tanda Kehormatan sebagaimana bunyi pasal 56 ayat 1 peraturan tersebut. Namun seringkali, proses verifikasi ini tidak dapat dikontrol oleh publik dan diindahkan sesuai dengan amanat peraturan perundang-undangan. 

Selanjutnya dalam konteks keterbukaan dan implementasi demokrasi partisipatoris, semestinya mengenai gelar, tanda jasa dan tanda kehormatan harusnya dilakukan secara terbuka mulai dari dasar hukumnya, alasan pemberian dan hasil analisanya kepada publik. Apalagi jika dikatakan sejalan dengan UU No. 20 tahun 2009, dalam Pasal 2 huruf h,  menyebutkan bahwa: “Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan diberikan berdasarkan asas keterbukaan”; yang berarti pemberian Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan harus dilakukan secara transparan, terbuka, dan dapat dikontrol secara bebas oleh masyarakat luas. Dengan demikian, Pengadilan Tata Usaha Negara memainkan peran sentral untuk menjaga demokrasi dengan memastikan bahwa pemerintah menjalankan tugasnya sesuai dengan hukum dan tidak sewenang-wenang demi tegaknya hukum, demokrasi, dan keadilan di bumi pertiwi.

Jakarta, 20 Juni 2024
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas

Narahubung:
1. Jane (KontraS)
2. Fadhil Alfathan (LBH Jakarta)
3. Airlangga Julio (AMAR Law Firm and Public Interest Law Office)

Tags
Writer Profile

Super Admin

Without Bio