September menjadi bulan yang penuh nestapa lantaran terdapat begitu banyak rentetan peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh negara terhadap warga negaranya di sepanjang bulan bulan ini. Hingga pada akhirnya kami menyebutnya dengan “September Hitam”. Beberapa peristiwa kekerasan yang mencoreng bulan September diantaranya seperti Peristiwa 1965 yang menelan korban hingga mencapai jutaan jiwa dengan berbagai kekejian yang merenggut harkat, martabat, serta nyawa manusia; Peristiwa Tanjung Priok pada 12 September 1984 yang menjadi wajah betapa brutalnya tindakan negara atas nama Pancasila; Peristiwa Semanggi II pada 24 September 1999 menandai kegagalan negara dalam merespons ekspresi rakyat. Ketiga peristiwa pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) masa Orde Baru ini justru memperpanjang siklus kekerasan yang tidak kunjung selesai secara adil. Akibatnya, kekerasan serupa terus terjadi, seperti Pembunuhan Munir Said Thalib pada 7 September 2004, Pembunuhan Salim Kancil pada 26 September 2015, kekerasan terhadap massa aksi Reformasi Dikorupsi pada 24-30 September 2019, pembunuhan Pendeta Yeremia pada 19 September 2020, dan kekerasan atas nama pembangunan terhadap warga di Pulau Rempang yang menolak pengosongan lahan untuk Proyek Strategis Nasional Rempang Eco City pada 7 September 2023.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti ketidakseriusan negara sebagai pemangku kewajiban (duty bearer) untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM warganya sehingga praktik-praktik kekerasan terus berulang sampai sekarang. Dengan demikian alarm #PeringatanDarurat tetap harus diserukan sampai Negara berani untuk mendobrak tembok impunitas dengan menghukum para pelaku yang berkontribusi pada angka kekerasan tersebut, melakukan pengungkapan kebenaran, memulihkan hak korban, dan menjamin ketidak berulangan peristiwa tersebut terjadi di masa yang akan datang. Keempat tanggung jawab tersebut tidak pernah dilakukan oleh pemerintah dengan sungguh-sungguh.
Sebagai contoh, dari banyaknya kasus tersebut yang terjadi sepanjang bulan september, hanya ada satu kasus yang telah melalui proses peradilan di Pengadilan HAM ad hoc, yaitu Peristiwa Tanjung Priok 1984 yang berlangsung di Jakarta mulai tahun 2003. Pada tingkat pertama, pengadilan menjatuhkan vonis bersalah kepada 12 terdakwa dan memerintahkan negara untuk memberikan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi kepada korban serta keluarga korban. Namun, keputusan tersebut dibatalkan dalam tingkat kasasi, yang mengakibatkan ke-12 terdakwa dinyatakan bebas. Akibatnya, hak pemulihan bagi para korban tidak terpenuhi, karena Undang-undang (UU) No. 26 Tahun 2000 mengharuskan mekanisme pemulihan seperti restitusi atau kompensasi bergantung pada keputusan pengadilan. Setelah membebaskan semua terdakwa, negara membiarkan nasib korban Tanjung Priok tergantung tanpa mendapatkan keadilan, pengungkapan kebenaran, atau pemulihan baik materiil maupun immateril.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga telah melakukan penyelidikan pro justitia terhadap peristiwa pelanggaran HAM lainnya yang terjadi di bulan September, seperti Peristiwa Semanggi II 1999 (termasuk dalam berkas Trisakti, Semanggi I 1998 dan II 1999) serta Peristiwa 1965-1966. Hasil penyelidikan ini seharusnya ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung dengan melaksanakan penyidikan dan penuntutan sesuai dengan Pasal 21 dan 23 UU No. 26 Tahun 2000. Namun, sejak tahun 2002, Jaksa Agung menolak untuk melanjutkan hasil penyelidikan Komnas HAM ke tahap penyidikan dan penuntutan di Pengadilan HAM dengan alasan-alasan yang tidak konsisten, seperti ketidaklengkapan syarat formil dan materil, serta alasan politis seperti belum adanya rekomendasi DPR dan keputusan Presiden mengenai pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000. Demikian pula dengan peristiwa kekerasan lainnya seperti Pembunuhan Munir Said Thalib, Pembunuhan Salim Kancil, kekerasan terhadap massa aksi Reformasi Dikorupsi, pembunuhan Pendeta Yeremia, dan kekerasan terhadap warga di Pulau Rempang yang juga belum menemukan titik terang hingga pada akhirnya para penjahat HAM masih terus berkeliaran sementara luka para korban dan keluarganya terus dibiarkan menganga.
Di sisi lain, Presiden Joko Widodo semakin nyaman berada di tampuk kekuasaan dan condong mengedepankan pembangunan demi kepentingan elit di atas janji penuntasan kasus pelanggaran berat HAM yang dielu-elukan pada masa kampanye. Pembangunan yang dibarengi dengan berbagai bentuk praktik kekerasan justru menunjukkan minimnya pemahaman prinsip bisnis dan HAM dalam sektor pembangunan. Di akhir masa jabatannya pun, dirinya gencar mengambil jalan pintas penyelesaian kasus dengan mengeluarkan kebijakan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat (Tim PPHAM) yang perencanaan dan pelaksanaannya tidak melibatkan korban, tidak menyentuh substansi permasalahan, dan menjadi ajang cuci dosa negara semata. Pidato pengakuan Presiden Joko Widodo juga tidak menyebutkan peristiwa Tanjung Priok 1984 sebagai salah satu peristiwa pelanggaran berat HAM dan kasus-kasus lainnya yang telah ditetapkan oleh Komnas HAM sebagai pelanggaran berat HAM.
Atas hal tersebut, sudah seharusnya sirine #PeringatanDarurat terus digaungkan untuk memberikan alarm bahaya karena penjahat HAM masih terus berkeliaran. Hal ini tentu memerlukan tindakan serius dari Presiden yang menginstruksikan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) untuk melakukan koordinasi dengan Kejaksaan Agung terkait penyelesaian kasus Pelanggaran HAM Berat sesuai mekanisme hukum, Jaksa Agung untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu lewat jalur yudisial dengan menindaklanjuti laporan penyelidikan Komnas HAM ke tingkat penyidikan dan penuntutan, serta Presiden segera menetapkan arahan untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat melalui jalur yudisial dengan menerbitkan sebuah Keputusan Presiden (Keppres) terkait dengan mekanisme penyelesaian kasus yang melibatkan Kejaksaan Agung dan Komnas HAM maupun untuk melakukan perbaikan institusi keamanan secara serius untuk mencegah terjadinya keberulangan peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM di masa mendatang.
Jakarta, 1 September 2024
Badan Pekerja KontraS,
Dimas Bagus Arya
Koordinator
Tags
KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan