Di tengah bulan Mei yang sarat peristiwa kelam hak asasi manusia (HAM) sekaligus bertepatan dengan momentum Peringatan Pekan Penghilangan Paksa yang warga dunia peringati selama pekan terakhir bulan Mei di setiap tahunnya, KontraS dan para seniman yang terdiri dari Andreas Iswinarto, Andrian Dinata, Dipa Radityatama Azuri, Dolorosa Sinaga, Fitriyani, Gabriel Mangun Satria, Hai Rembulan, Reza Mustar, Muhammad Yusya, Nirwan Sambudi, dan Yayak Yatmaka serta dua unit musik yakni Dongker dan The Brandals menggelar Pameran Seni Rupa: DUKADE yang berlangsung pada 26 Mei – 1 Juni 2024 di Galeri Cipta 1, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat.
Pameran ini merupakan refleksi atas berbagai peristiwa kelam hak asasi manusia (HAM), khususnya mengenai isu penghilangan orang secara paksa yang terjadi di Indonesia. DUKADE, menggabungkan kata "duka" dan "dekade" menjadi tajuk yang diangkat dalam pameran ini sekaligus menggambarkan dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo yang diwarnai dengan impunitas pelanggaran HAM berat, ketimpangan sosial, kerusakan lingkungan, dan pelemahan demokrasi. Situasi kekebalan hukum (impunitas) atas Penghilangan Paksa 1997 - 1998 dan pelanggaran HAM yang berat lainnya melahirkan ruang yang dimanfaatkan untuk ajang kontestasi politik. Kamuflase untuk menjadi pahlawan dan penegak hukum sebagai presiden adalah strategi jitu saat sosok yang menjadi lawan di pemilu memang diduga kuat terlibat menjadi penjahat. Ini adalah salah satu narasi penentu yang mengantarkan Joko Widodo menjadi Presiden di tahun 2014.
Hingga saat ini, sekitar 5 bulan menuju hari terakhir masa pemerintahannya, tidak ada gelagat sama sekali dari dirinya untuk memenuhi janjinya. Bahkan, salah satu adegan terakhir dalam satu dekade masa kepemimpinannya adalah mengusung putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden bagi Prabowo Subianto (pejabat militer yang diduga kuat terlibat di Penghilangan Paksa 1997 - 1998, rivalnya di 2014 dan 2019, tapi dipilih menjadi Menteri Pertahanan sejak 2019). Tidak banyak kisah yang menunjukkan keserakahan akan kekuasaan melebihi apa yang dipertontonkan oleh sosok yang di satu kesempatan wawancara sebagai calon presiden berujar akan mencari Wiji Thukul ini.
Terkini, agar dinilai sudah peduli atas penuntasan pelanggaran HAM yang berat karena menjadikan kerumitan proses hukum (padahal Pengadilan HAM bergantung pada kewenangan Presiden), Presiden Jokowi melahirkan penyelesaian secara non-yudisial. Langkah ini ditandai dengan lahirnya Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (Tim PPHAM) yang bertugas sejak 2022. Program ini hanya dijadikan wadah cuci tangan bukan hanya oleh Jokowi, melainkan juga oleh para penjahat HAM itu sendiri. Dengan rentetan fakta demikian, satu dekade ini merangkum kedukaan yang begitu mendalam bagi sejumlah pihak, utamanya para keluarga korban pelanggaran HAM yang berat di Indonesia. Janji penuntasan 15 kasus yang dituangkan dalam Nawa Cita sudah sepantasnya kita catat menjadi Nawa Dosa atas duka dan derita yang dihadirkan. Tidak dapat dielakan bahwa pemerintahan Joko Widodo beserta jajarannya gagal dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia khususnya hak korban yang telah lama menanti keadilan. Seharusnya, yang dilakukan Presiden adalah mengeluarkan Keputusan Presiden terkait pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili kasus 1997/1998 dan kasus lainnya, menginstruksikan pemerintah untuk melakukan pencarian terhadap 13 orang yang oleh Komnas HAM masih dinyatakan hilang, merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang maupun segera meratifikasi Konvensi Anti-Penghilangan Paksa (The International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance/ICPPED), sebagai bentuk komitmen dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa.
Bukan terus memberikan ruang aman, promosi jabatan, maupun apresiasi/penghargaan bagi para terduga pelaku pelanggaran berat HAM.
Deretan karya yang tersaji selama 7 hari di Galeri Cipta 1 Taman Ismail Marzuki ini hanyalah sedikit potret dari begitu banyak situasi kelam berselimut populisme selama Indonesia dipimpin Jokowi. Pameran ini menjadi sinyal yang seharusnya menjadi senjata perlawanan masyarakat sipil untuk bisa terus kritis dan memilih untuk melawan. Pameran ini diisi seniman lintas generasi bahkan lintas disiplin. Ruang dan kesempatan dalam bentuk pameran ini adalah apresiasi atas sepak terjang masing-masing seniman dan pihak yang terlibat. Pameran "Duka Dalam Dekade" menjadi pengingat bahwa kita harus terus menuntut negara untuk memenuhi tanggung jawabnya dalam menegakkan keadilan dan melindungi rakyatnya.
Jakarta, 26 Mei 2024
Badan Pekerja KontraS
Dimas Bagus Arya
Koordinator
Narahubung: 082175794518
Tags
Admin
Without Bio