Selasa, 22 Juli 2025 – Sejak 1981, UU Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) sudah berlaku dan menjadi landasan kerja sistem peradilan pidana di Indonesia. Pengaturan dalam KUHAP 1981 yang dibentuk pada masa otoriter kekuasaan Orde Baru lebih menitikberatkan pada kewenangan negara untuk mengekang kebebasan warganya dalam sistem peradilan pidana, berorientasi pada hak-hak tersangka/terdakwa (offender rights), tidak mengakui dan menjamin hak-hak saksi/korban (victim rights). Keterbatasan pengaturan dalam KUHAP 1981 yang diperburuk dengan kualitas aparat penegak hukum, dan budaya kerja yang abusive, telah menjadikan sistem peradilan pidana menjadi ruang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang dibenarkan secara hukum.
Sebagai landasan bekerjanya sistem peradilan pidana di Indonesia, KUHAP harus direformasi agar mampu mengakomodir politik hukum pasca-reformasi yang semakin mengakui dan menjamin hak-hak asasi manusia. Proses pembentukan dan pembahasan pembaharuan KUHAP tersebut harus partisipatif dan melibatkan semua pihak, terutama para korban. Bila tidak dibahas secara mendalam, cermat dan hati-hati, maka pembaruan hukum acara pidana dapat menjadi boomerang dan menjadi instrumen kekuasaan untuk mengekang warga negara dan melanggar hak asasi manusia.
Kami yang mendorong dan mendiskusikan bagaimana KUHAP memampukan sistem peradilan pidana yang modern, berintegritas dan humanis, menyaksikan pembentukan dan pembahasan RKUHAP yang tergesa-gesa dan tidak memiliki kehendak politik (political will) untuk melakukan perubahan paradigma yang fundamental dalam RKUHAP. Reformasi KUHAP hanya dipandang sebagai alat penunjang keberlakuan KUHP 2023, bukan untuk mereformasi sistem peradilan pidana agar lebih berperspektif hak asasi manusia. Akibatnya, Draft RKUHAP saat ini masih mengandung beberapa masalah, di antaranya;
- RKUHAP masih mempertahankan ketidakberimbangan peran antara advokat dan aparat penegak hukum lainnya. Hal ini melanggar prinsip equality of arms, di mana kehadiran advokat adalah penyeimbang dari penggunaan kekuasaan negara terhadap warga negaranya.
- RKUHAP masih belum maksimal mengatur mengenai hak atas bantuan hukum. Kewajiban pemberian bantuan hukum belum menyeluruh, baru terhadap tindak pidana dengan ancaman penjara di atas lima tahun. Hal ini bertentangan dengan prinsip interest of justice di mana setiap kepentingan keadilan, terlepas dari ancaman hukuman berhak atas bantuan hukum. Kemudian, “penunjukkan” advokat oleh penyidik juga menjadi masalah. Selain itu, terdapat kekeliruan konsep bantuan hukum dan kewajiban pro hono advokat.
- RKUHAP memberikan kewenangan tanpa batas pada penyelidikan. Dalam Pasal 5 RKUHAP, penyelidik bisa melakukan tindakan lain menurut hukum tanpa penjelasan.
- RKUHAP mengatur penyadapan sebagai salah satu bentuk upaya paksa, tapi pengaturan terkait mekanisme penyadapan merujuk kepada undang-undang tentang penyadapan yang belum ada.
- RKUHAP memberikan kewenangan besar kepada penyidik Polri karena ditetapkan menjadi penyidik utama yang membawahi penyidikan pegawai negeri sipil (PPNS) dan Penyidik Tertentu.
- RKUHAP memberikan kewenangan bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi penyidik dan melakukan upaya paksa. Pelanggaran HAM bisa terjadi dalam urusan penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, penetapan tersangka. Kewenangan penyidikan tindak pidana seharusnya hanya menjadi kewenangan penyidik sipil.
- RKUHAP belum menjamin secara tegas hak-hak tersangka, terdakwa, dan saksi sehingga efektif untuk mencegah penyiksaan dan pelanggaran hak asasi manusia. Pasal 134 dan 135 RKUHAP belum menjamin secara tegas hak seseorang untuk bebas dari penyiksaan dan belum mengakomodir standar HAM internasional, yaitu ICCPR, CAT, dan OPCAT.
- RKUHAP masih belum memberikan jaminan yang memadai bagi pemenuhan hak-hak kelompok rentan. Saat ini, belum tersedia mekanisme konkret dan operasional yang dapat memastikan tersangka atau terdakwa, saksi, korban, perempuan, penyandang disabilitas, serta lanjut usia memperoleh perlindungan hukum yang setara di setiap tahapan proses peradilan pidana. Oleh karena itu, penting bagi KUHAP untuk memuat ketentuan pendelegasian yang secara tegas mengatur tata cara pelaksanaan hak-hak tersebut di tingkat teknis, sekaligus menetapkan sanksi yang jelas dan sistem perlindungan (safeguarding) yang kuat apabila hak-hak itu diabaikan.
- RKUHAP absen dalam mengatur mekanisme check and balances Ketika upaya paksa dilakukan, tidak tersedia mekanisme pengujian tindakan dari APH. Padahal seharusnya antar lembaga bisa saling mengawasi dengan cara pemberian izin oleh lembaga lain secara pre factum (sebelum upaya paksa dilakukan). Hal ini biasa dilakukan melalui mekanisme hakim komisaris yang bertugas memeriksa alasan-alasan upaya paksa dan memberikan izin.
- RKUHAP belum mengatur secara jelas dan maksimal adanya kewenangan pengadilan dalam mengawasi (judicial scrutiny). Dalam kewenangan upaya paksa perkembangan draft RUU KUHAP memperkenalkan adanya “izin ketua pengadilan” untuk mengakomodir rekomendasi masyarakat sipil. Namun izin pengadilan tersebut justru bisa dikecualikan berdasarkan alasan “Keadaan Mendesak” yang ekstensif dan subjektif, termasuk “situasi berdasarkan penilaian Penyidik”. Hal ini berbahaya karena pembatasan ini dilakukan berdasarkan penilaian subjektif dari penyidik.
- RKUHAP mengatur Penyelesaian perkara di luar persidangan dapat dilakukan sejak tahap penyelidikan tanpa jaminan dan akses perlindungan terhadap korban (Pasal 74 ayat 3), padahal RJ secara logis tidak mungkin dilakukan sebelum peristiwa pidananya ada, hal ini membuka ruang penyalahgunaan, bahkan penyelidik bisa bertindak seperti hakim memutuskan perkara, tanpa ada ruang menguji tindakan tersebut kemana.
- RKUHAP Pasal 73A mengadopsi mekanisme baru yaitu mekanisme pengakuan bersalah terdakwa yang dalam proses perundingan dan persidangannya tidak ada melibatkan korban, dan tidak memberikan persyaratan dan ukuran terhadap tuduhan yang berlapis, serta ukuran penjatuhan keringanan hukuman pidana tidak dibuat secara jelas. (DIM No. 405-406).
- RKUHAP masih mengatur mengenai pengadilan koneksitas yang sering kali menjadi sarana impunitas bagi anggota TNI yang menjadi korban tindak pidana umum.
- RUU KUHAP tidak menjamin hak-hak masyarakat hukum adat yang berhadapan dengan hukum, tidak mengatur keterhubungan antara peradilan adat dengan peradilan negara dalam mengadili tindak pidana hukum yang hidup dalam masyarakat. Padahal RKUHAP ditujukan untuk melaksanakan KUHP 2023, dimana di dalamnya mengakui hukum yang hidup di dalam masyarakat.
- RUU KUHAP tidak menjamin hak keluarga korban atas perlakuan adil dan bermartabat, restitusi, kompensasi dan bantuan sebagaimana dimandatkan oleh Deklarasi Hak Korban Tindak Pidana. Jaminan hak keluarga korban hanya terdapat dalam UU TPKS, sehingga penting untuk memperluas untuk tindak pidana lainnya.
Kami menilai Draft RKUHAP yang ada sekarang bukanlah jaminan penuh terhadap pembatasan kewenangan penegak hukum dan jawaban terhadap permasalahan sistem peradilan pidana, melainkan produk hukum yang seolah memberi solusi, namun dibuat dengan setengah hati. RKUHAP gagal mengakomodasi prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia dalam negara hukum yang demokratis.
Oleh karena itu, kami menyatakan sikap sebagai berikut:
- Bila RKUHAP masih memuat masalah-masalah di atas dan proses pembahasannya tidak partisipatif, maka kami menyatakan menolak pengesahan RKUHAP;
- Rombak susunan tim perumus RKUHAP yang sudah terbukti tidak bisa mengakomodir kepentingan rakyat dan prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam KUHAP;
- Bahas ulang RKUHAP secara partisipatif, mendalam, dan berdasarkan kajian akademik yang kuat;
- Akomodir substansi dan masukkan yang telah diberikan oleh masyarakat sipil.
Jakarta, 22 Juli 2025 Hormat Kami,
Mahasiswa, Akademisi, Advokat, Organisasi Masyarakat Sipil, dan Individu yang tergabung dalam Aliansi Reformasi KUHAP
Narahubung 083808719321

KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan