Jakarta, 09 Oktober 2024 – Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras peristiwa kekerasan yang terjadi pada warga Poco Leok, Manggarai, Nusa Tenggara Timur dan warga Nagari Kapa, Pasaman Barat, Sumatera Barat. Kedua peristiwa tersebut terjadi akibat konflik agraria yang dibiarkan berkepanjangan, tanpa menemukan solusi dan keadilan bagi warga yang terdampak. Lebih lanjut, kedua peristiwa tersebut kembali memanas akibat adanya upaya pengambilalihan lahan dengan menggunakan aparat keamanan gabungan, yakni Kepolisian Republik Indonesia  (Polri), Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dalam jumlah yang berlebihan. 

Dari informasi yang kami terima, peristiwa kekerasan yang terjadi di Poco Leok, bermula pada saat warga terus melakukan penolakan terhadap kehadiran proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu Unit 5-6 yang dikerjakan oleh PT PLN. Kekerasan yang terjadi kemudian memuncak pada Rabu, 02 Oktober 2024 saat PT PLN bersama dengan Pemerintah Kabupaten Manggarai mengerahkan aparat keamanan gabungan, yang terdiri dari Kepolisian, TNI, dan Satpol PP untuk melakukan pengukuran lahan warga serta mengidentifikasi lokasi Access Road Wellpad D, Wellpad I dan Access Road Wellpad I, yang merupakan aktivitas pengembangan proyek Geothermal PLTP Ulumbu. Pengerahan aparat keamanan gabungan tersebut kemudian disertai dengan intimidasi hingga terjadi kerusuhan yang mengakibatkan puluhan warga mengalami luka-luka dan beberapa diantaranya tidak sadarkan diri. Setidaknya tercatat telah terjadi penangkapan sewenang-wenang dan upaya kriminalisasi terhadap 3 (tiga) orang warga dan 1 orang jurnalis yang sedang bertugas melakukan peliputan.

Source: Medialabuanbajo.com

 

Source: IG Pocoleok_melawan 

Sedangkan satu peristiwa kekerasan serupa, terjadi di Nagari Kapa, Pasaman Barat, Sumatera Barat merupakan buntut dari konflik agraria yang berkepanjangan antara warga dengan perusahaan sawit PT. Permata Hijau Pasaman (PHP) sejak tahun 1997. Konflik kembali pecah pada 4 Oktober 2024 saat PT. PHP I, anak usaha Wilmar Group bersama dengan aparat keamanan gabungan yang terdiri dari Polres Pasaman Barat dan Polda Sumatera Barat masuk ke lahan pertanian warga untuk melakukan penanaman sawit. Pengerahan aparat keamanan gabungan tersebut juga berujung kerusuhan dan penangkapan sewenang-wenang terhadap sembilan orang petani.

 

Source: Mongabay 

Bersamaan dengan dua peristiwa yang terjadi pada awal bulan Oktober 2024 ini, kami menilai bahwa kekerasan yang terjadi merupakan akibat dari konflik agraria yang dibiarkan terus berkepanjangan tanpa menemukan titik tengah yang berkeadilan. Bahwa selaras dengan hal tersebut, bila mengacu pada aturan mengenai agraria, negara telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria yang mana bertujuan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat Indonesia sebagaimana tercantum dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 33 ayat (3) yang berbunyi, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Oleh karena itu, hak atas tanah ialah hak yang mendasar dimiliki oleh setiap orang, yang mana negara memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan, penghormatan dan penghargaan atas hak tersebut. Namun, bila dilihat dalam konflik agraria yang terus bergulir, maka kami menilai negara telah absen dan gagal dalam pemenuhan hak warga di Poco Leok maupun di Nagari Kapa.

Berdasarkan dua peristiwa di atas, kami berpendapat:

Pertama, Kepolisian telah lalai dan abai dalam menjadi aparat penegak hukum. Dalam beberapa tahun terakhir, kekerasan yang dilakukan oleh aparat Kepolisian sangat masif terjadi di sektor Sumber Daya Alam (SDA). Adapun kasus-kasus yang terjadi dalam sektor SDA seringkali mencerminkan konflik antara kepentingan ekonomi, politik, dan hak asasi manusia. KontraS mencatat setidaknya pelanggaran HAM dalam sektor SDA mengalami peningkatan yang signifikan dan diperparah dengan keterlibatan aparat kepolisian yang justru hadir sebagai pelaku pelanggar HAM. Dalam Laporan Hari Bhayangkara 2024[1], tercatat sebanyak 52 peristiwa kekerasan dalam sektor SDA di mana Kepolisian terlibat aktif sebagai aktor utama tindakan kekerasan maupun pelanggaran HAM;

Kedua, Kepolisian telah gagal dalam memberikan rasa aman dan mengusahakan perdamaian. Alih-alih memberikan rasa aman dan memfasilitasi warga yang melakukan penolakan sebagai bagian dari negara yang demokrasi, polisi justru menjadi pion yang menebarkan ketakutan dan teror kepada warga. Padahal, Polri sebagai representasi dari negara memiliki kewajiban sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 2, pasal 8, pasal 71 dan paragraf 3 Penjelasan Umum UU No. 39/ 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang kemudian tertuang pula di dalam peraturan internal kepolisian yakni, Pasal 4 huruf d Peraturan Kapolri (Perkap) No. 8/ 2009 tentang Tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri yang menyebutkan bahwa “perlindungan (to protect), pemajuan (to promote), penghormatan (to respect), dan pemenuhan (to fulfil) HAM adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”;

Ketiga, peristiwa di atas menunjukkan telah terjadi penangkapan yang disertai tindak kekerasan dan pengerahan aparat secara berlebihan (excessive use of force) kepada warga yang melakukan penolakan. Polisi sendiri memiliki pengaturan yang tertuang dalam Perkap 8/ 2009 yang secara tegas mengatur agar anggota Polri dalam melaksanakan tugasnya wajib menghormati HAM dan melarang anggota Polri untuk melakukan penangkapan sewenang-wenang, penganiayaan, dan penyiksaan. Selain itu, dalam pelaksanaan tugasnya, pihak Kepolisian haruslah berpedoman pada Pasal 3 huruf, b dan c Perkap No. 1/ 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian yang menyatakan: “Prinsip-prinsip penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian meliputi: b. Necesitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan dapat dilakukan bila memang diperlukan dan tidak dapat dihindarkan berdasarkan situasi yang dihadapi; c. Proporsionalitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respon anggota Polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian/korban/penderitaan yang berlebihan”. Absennya kepolisian dalam menerapkan prinsip-prinsip tersebut telah mengakibatkan warga yang melakukan penolakan kembali menjadi korban berlapis. Kami mengecam segala bentuk tindak kekerasan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh aparat keamanan gabungan yang menyebabkan konflik ini tidak berkesudahan. Intimidasi, ancaman, kekerasan, penangkapan sewenang-wenang hingga kriminalisasi yang dilakukan oleh pihak aparat keamanan, utamanya pihak Kepolisian haruslah segera ditindak secara tegas karena telah melangkahi maupun mengabaikan berbagai peraturan internal Kepolisian itu sendiri. Hal tersebut juga telah diatur dalam Pasal 8 Pedoman Perilaku aparat penegak hukum, serta prinsip 33 standar minimum penggunaan kekerasan dan senjata api;

Keempat, Kepolisian telah melakukan kekerasan dan pembungkaman terhadap peran PERS. Kekerasan yang terjadi tidak hanya menimpa warga yang melakukan penolakan, namun juga menimpa salah seorang wartawan, Herry Kabut, yang juga merupakan seorang pemimpin redaksi pada media Floresa, saat sedang melakukan liputan. Herry mengalami praktik kekerasan oleh polisi, seperti dicekik, dipukul, hingga ditendang. Tindak kekerasan yang diterima terus berlanjut ketika polisi melakukan introgasi dan penggeledahan HP. Kami melihat bahwa tindak kekerasan yang dilakukan kepada Herry telah mencederai semangat kemerdekaan pers sebagaimana diatur dalam UU No. 40/1999 Tentang Pers. Selain itu, Polisi juga telah bertindak sewenang-wenang dengan melakukan penggeledahan HP dan mengganggu kerja dan peran-peran Pers sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 yang menyebutkan bahwa Pers berperan dalam a.) Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; b.) Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan; c.) Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; d.) Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; hingga pada e.) Memperjuangkan keadilan dan kebenaran;

Kelima, Aparat Keamanan Gabungan, yakni Kepolisian maupun TNI yang terlibat telah melanggengkan praktik bisnis keamanan yang berdampak buruk bagi masyarakat. Praktik bisnis keamanan dalam dua perkara di atas terlihat dalam peran aparat keamanan yang melakukan pengamanan hanya untuk keamanan dan berlangsungnya sebuah proyek sehingga posisi penegakan hukum menjadi bias. Hal tersebut jelas tidak sejalan dengan pasal 6 PP No 2/2002 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Indonesia maupun pasal 39 UU 39/2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia. Praktik bisnis keamanan ini jelas akan terus menciderai profesionalisme Polri maupun TNI dalam menjalankan tugasnya.

Atas hal tersebut, kami mendesak:

Pertama, Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menarik mundur pasukannya dan segera melakukan upaya hukum yang komprehensif terhadap aktor-aktor yang melakukan tindakan kekerasan kepada warga Poco Leok maupun warga Nagari Kapa;

Kedua, Komnas HAM segera melakukan pengusutan mengenai dugaan keterkaitan sejumlah peristiwa represi kebebasan sipil;

Ketiga, Pemerintah Republik Indonesia harus menjamin, menghormati serta memenuhi hak asasi manusia setiap orang sesuai dengan Konstitusi dan hukum yang berlaku.

 

Jakarta, 14 Oktober 2024
Badan Pekerja KontraS

 

 

Dimas Bagus Arya, S.H
Koordinator KontraS

Narahubung: 0895348175043



[1] Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Laporan Hari Bhayangkara 2024 “Reformasi Polisi Tinggal Ilusi”, dalam https://kontras.org/laporan/laporan-hari-bhayangkara-2024-reformasi-polisi-tinggal-ilusi diakses pada 10 Oktober 2024

Tags
Writer Profile

Admin

Without Bio

Popular Post

Thumbnail Post

Popular Tags