Rilis Pers
Penembakan 5 Petani Pino Raya: Polri Harus Evaluasi Kepemilikan Senjata oleh Perusahaan dan Usut Tuntas Dugaan Tindak Pidana!

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras tindakan penembakan yang dilakukan oleh Satuan Pengamanan PT Agro Bengkulu Selatan (PT ABS) secara membabi buta dengan menggunakan Senjata Api (Senpi) pada Senin, 24 November 2025 yang menimpa lima petani Pino Raya. Peristiwa tersebut dilatarbelakangi oleh konflik agraria yang melibatkan warga petani di Kecamatan Pino Raya, Bengkulu Selatan dengan PT ABS sejak 2012. Hingga saat ini, kondisi terakhir korban hingga saat ini masih mendapatkan perawatan di rumah sakit setelah mendapatkan tembakan membabi buta yang mengakibatkan luka pada bagian dada, paha, rusuk, dan betis. Kami juga mendesak pihak dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri) untuk mengusut dugaan peristiwa pidana baik dalam peristiwa penembakan dan juga perihal kepemilikan Senpi oleh pihak perusahaan.

Peristiwa penembakan yang terjadi kepada lima petani Pino Raya menjadi suatu momentum peringatan darurat terhadap penggunaan Senpi oleh masyarakat sipil. Harus menjadi perhatian bahwa setiap orang yang memiliki Senpi harus mempunyai Izin Khusus Senjata Api yang mana izin tersebut hanya dapat diberikan oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) setelah memenuhi syarat dan prosedur yang telah ditetapkan undang-undang sebelumnya. Pengaturan terkait kepemilikan Senpi oleh sipil dan prosedur perizinan Surat Izin Pemakaian Senjata Api di Indonesia secara umum diatur melalui UU Darurat No. 8 Tahun 1948 tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api yang pada Pasal 5 ayat (1) memberikan kewajiban pada setiap pemegang Senpi untuk mendaftarkannya kepada Polri. Kewenangan Polri tersebut juga disebutkan secara eksplisit melalui Pasal 15 ayat (2) huruf e UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (UU Polri) yang menyatakan bahwa Polri berwenang untuk memberikan izin “dan melakukan pengawasan” senjata api. 

Terlebih lagi, kewajiban pengawasan tersebut dijelaskan kembali melalui BAB V Pasal 180 hingga Pasal 185 Perpol No. 1 Tahun 2022 tentang Perizinan, Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Standar Polri, Senjata Api Non Organik Polri/TNI, dan Peralatan Keamanan yang Digolongkan Senjata Api bahwa, pengawasan dan pengendalian Senpi untuk kepentingan Satpam secara mutatis mutandis melekat pada struktur Kepolisian Sektor hingga Markas Besar Polri mulai dari sebelum surat izin terbit hingga setelah surat izin terbit. Terkhusus pasca pemberian surat izin, Polres setempat berkewajiban untuk mengadakan penyelidikan dan penyidikan bilamana terjadi penyimpangan atau penyalahgunaan izin”.

Izin kepemilikan Senpi juga tidak dapat diberikan kepada sembarangan orang, pemberian Izin kepemilikan Senpi hanya dapat diberikan kepada Kepolisian Khusus (Polsus) atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) melalui rekomendasi dari instansi pusat setingkat Direktorat Jenderal atau Direktur Utama, Satuan Pengamanan (Satpam) melalui rekomendasi dari Direktur Utama, Satpol PP melalui rekomendasi dari Gubernur atau Walikota/Bupati, dan Dirjen Protokol dan Konsuler Kementerian Luar Negeri bagi Satpam yang bertugas di Kedutaan yang syarat utamanya ialah telah memiliki: 

  1. Kartu Tanda Anggota Polsus atau Satpam dan Surat Keputusan pengangkatan  sebagai PPNS atau Satpol PP;
  2. Surat keterangan dokter yang menyatakan sehat jasmani dan rohani;
  3. Berusia minimal 20 tahun dan maksimal 58 tahun;
  4. Memiliki pemahaman peraturan perundang-undangan dan keterampilan terkait penggunaan Senpi;
  5. Telah ditunjuk secara khusus oleh pimpinan instansi, kementerian, lembaga, dan pimpinan badan usaha yang bersangkutan.

Namun, peristiwa penembakan dengan menggunakan Senpi yang dilakukan warga sipil masih menjadi masalah yang banyak ditemukan. Permasalahan kepemilikan Senpi baik yang dimiliki secara legal melalui surat izin atau ilegal melalui peredaran pasar gelap Senpi seharusnya, mendapat perhatian lebih oleh Polri sebagai pemangku kewajiban serta tanggungjawab. Peristiwa yang menimpa petani Pino Raya dapat dilihat sebagai akibat dari kegagalan Polri dalam melakukan tugas dan fungsinya sebagai aparat penegak hukum. Kasus serupa juga pernah terjadi di beberapa wilayah rentan konflik agraria (wilayah sentral industri ekstraktif atau eksploratif), seperti:

  1. Penembakan terhadap Masyarakat Adat Toruakat di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara pada September 2021 yang dilatarbelakangi konflik agraria (perampasan wilayah adat) antara perusahaan tambang emas PT Bulawan Daya Lestari dengan Masyarakat Adat Toruakat. Akibatnya 1 korban tewas dan 4 korban lainnya mengalami luka tembak.
  2. Penembakan terhadap 2 petani di Indrapuri, Aceh Besar pada Juni 2022 yang dilatarbelakangi oleh konflik antara pengusaha kilang kayu sebagai “otak” penembakan yang dibantu oleh enam orang eksekutor lapangan dengan dua petani yang menjadi korban.

Melalui sampel kasus tersebut, terdapat satu benang merah yang dapat dihubungkan satu dengan yang lain yakni, peredaran dan kepemilikan Senpi di lingkungan industri ekstraktif atau eksploratif seperti pertambangan atau perkebunan. Hal tersebut mengindikasikan terhubungnya benang merah kekerasan negara khususnya melalui bisnis keamanan yang disokong oleh oknum Polri atau Militer. Berdasarkan kasus-kasus tersebut juga terlihat jelas bahwa walaupun Senpi yang digunakan dalam peristiwa penembakan tersebut memang dikuasai secara legal dan memiliki izin namun, tidak ada pengawasan yang efektif dari Polri.

Setidaknya terdapat tiga masalah sentral berkaitan dengan Senpi di Indonesia, yaitu: Pertama, peredaran Senpi ilegal khususnya pada wilayah industri ekstraktif tambang atau eksploratif hutan/perkebunan; Kedua, tidak berjalannya fungsi pengawasan terhadap pemegang Senpi dan nihilnya peran Polri dalam fungsi perlindungan kepada masyarakat; Ketiga, indikasi praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dalam pemberian Izin Kepemilikan Senpi. Seharusnya dengan melihat banyak kasus penembakan terhadap warga sipil khususnya yang sedang melakukan demonstrasi dalam konteks mempertahankan ruang hidupnya (konflik agraria) yang melibatkan masyarakat sekitar (petani atau masyarakat adat) dengan perusahaan. Polri sebagai aparat penegak hukum yang memiliki kewenangan untuk memberikan Izin kepemilikan Senpi yang juga memiliki kewajiban untuk melakukan pengawasan terkait peredaran Senpi legal maupun ilegal, harus serius menuntaskan peristiwa penembakan sesama warga sipil dan permasalahan terkait kepemilikan Senpi secara tuntas.

Maka dengan uraian di atas, kami menuntut agar:

  1. Kepolisian Republik Indonesia segera melakukan penyitaan barang bukti Senpi yang digunakan dan seluruh Senpi yang dimiliki PT. Agro Bengkulu Selatan dalam upaya menjalankan dan menegakkan proses hukum yang berkeadilan terhadap dugaan tindak pidana pada peristiwa penembakan lima petani Pino Raya, Bengkulu Selatan. 

  2. Kepolisian Republik Indonesia segera melakukan evaluasi dan pengawasan yang ketat terhadap Izin Kepemilikan Senjata Api yang telah diberikan kepada pemegang izin.

  3. Kepolisian Republik Indonesia segera melakukan operasi untuk memberantas peredaran Senjata Api ilegal atau Senjata Api berizin yang tidak sesuai SOP

  4. Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang memiliki fungsi pengawasan terhadap institusi Kepolisian Republik Indonesia untuk segera melakukan evaluasi terhadap kinerja Polri khususnya terkait dengan isu kepemilikan Senpi oleh warga sipil

  5. Komisi Percepatan Reformasi Polri segera melakukan evaluasi terhadap internal Polri sebagai wujud keseriusan dan bentuk nyata menuntaskan kewajiban dan tanggung jawab reformasi Polri demi transformasi Polri yang humanis dan profesional.

  6. Komnas HAM Republik Indonesia segera mengirimkan tim untuk melakukan investigasi atas dugaan pelanggaran HAM yang menimpa lima petani dan warga Pino Raya lainnya yang menjadi korban konflik agraria.

  7. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia segera memberikan perlindungan bagi para warga Pino Raya yang merupakan korban dan saksi dari peristiwa penembakan tersebut.

Atas peristiwa yang menimpa lima petani korban penembakan, KontraS turut berbelasungkawa, bersimpati, dan bersolidaritas atas perjuangan yang terus dirawat atas nama hak asasi manusia. Hidup korban, jangan diam, lawan.

Jakarta, 27 November 2025
Badan Pekerja KontraS



Dimas Bagus Arya
Koordinator 

Writer Profile

KontraS

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan