Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam tindakan extrajudicial killing yang diduga dilakukan oleh Polisi dari Satreskrim Polres Ogan Komering Ulu (OKU) di OKU, terhadap Padly yang merupakan disabilitas psikososial pada Selasa, 28 Oktober 2025 di Sumatera Selatan. Peristiwa ini diduga terjadi akibat adanya penggunaan senjata secara sewenang-wenang oleh kepolisian tanpa mengindahkan asas necessity dan proportionality hingga korban meninggal dunia. KontraS juga turut mengucapkan rasa belasungkawa kepada korban dan keluarganya.

Berdasarkan informasi awal yang kami peroleh, kejadian ini bermula saat seseorang yang diduga merupakan disabilitas psikososial1 yakni Padly (29 tahun) merusak dua pos polisi, yakni Pos Lantas Simpang Tiga Ramayana dan Pos Lantas Simpang Unbara yang terjadi pada Senin, 28 Oktober 2025 sekitar pukul 02.15 WIB.2 Berdasarkan data CCTV Kepolisian, korban datang menggunakan motor dengan nomor polisi BG 6500 FC, berhenti di depan pos, lalu melempar batu sebanyak dua kali ke arah pos. Rekaman tersebut kemudian dianalisis oleh tim gabungan Satreskrim, Sat Intelkam, dan Polsek Baturaja Timur, dibantu kamera E-TLE dan ETRI sehingga berdasarkan hasil analisis tersebut menunjukkan identifikasi yang mengarah kepada korban. Kepolisian kemudian membuat tim gabungan berdasarkan profiling bahwa terdapat konten bernada provokatif dan menunjukkan ketidaksukaan terhadap Polri serta aparat keamanan di kawasan Kemelak Bindu Langit.3

Sekitar pukul 08.00 WIB,4 tiga personel Satreskrim Polres OKU yakni Aiptu DK, Bripda AS serta Bripka JF ditugaskan menangkap Padly. Saat mendatangi kediaman Padly di rumahnya yang berlokasi di Kelurahan Kemelak Bindung Langit, OKU.5 Korban yang menyadari kedatangan petugas kemudian merasa terancam dan keluar rumah sambil membawa benda bulat berwarna hitam di tangan kiri serta badik di pinggang. Korban kemudian melempar batu ke arah petugas dan mengancam akan meledakkan polisi bila mendekat. Petugas kemudian  memberikan enam kali tembakan peringatan ke udara, namun Padly tetap melawan.6 Aparat kemudian menembak pelaku sebanyak dua kali hingga mengenai bagian perut kiri dan bahu kiri. Padli tersungkur dan langsung dievakuasi ke RSUD dr. Ibnu Sutowo Baturaja, namun nyawanya tidak tertolong.7 Atas kejadian tersebut, tiga polisi yang terlibat peristiwa ini kini sudah diamankan dan ditempatkan di tempat khusus untuk menjalani pemeriksaan oleh Propam dan Dit Intelkam Polda Sumsel.8

Atas kronologi yang telah disusun tersebut, kami menilai bahwa dalam konteks Hak Asasi Manusia, pembunuhan secara sewenang-wenang oleh aparat kepolisian tentunya juga telah melanggar hak atas pelarangan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya maupun hilangnya nyawa sebagaimana yang termuat dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Lebih lanjut, tindak kesewenang-wenangan ini turut merenggut hak dasar setiap manusia, yakni hak untuk hidup. Maka dari itu, tiga personel Satreskrim Polres OKU yakni Aiptu DK, Bripda AS serta Bripka JF telah melanggar ketentuan di dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Maka dari itu, pembunuhan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat kepolisian tersebut telah memenuhi unsur  Pasal 338 dan Pasal 351 ayat (3) KUHP tentang pembunuhan dan penganiayaan yang menyebabkan kematian. Hal ini dikarenakan tindakan aparat dalam menggunakan senjata api tidak lagi bersifat proporsional dan tidak dapat dibenarkan sebagai bentuk pembelaan diri yang sah. Aparat kepolisian secara sadar dan sengaja melepaskan tembakan yang diarahkan ke tubuh korban dalam situasi di mana ancaman nyata terhadap jiwa petugas tidak dapat dibuktikan secara objektif.

Sehubung dengan hal tersebut, berdasarkan asas necessity dan proportionality sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan bahwa setiap penggunaan senjata api oleh anggota Polri harus didasarkan pada kondisi darurat yang benar-benar mengancam keselamatan jiwa dan dilakukan sebagai upaya terakhir setelah seluruh alternatif non-mematikan tidak lagi efektif. Fenomena tersebut mencerminkan kegagalan institusional Polri dalam menginternalisasi prinsip-prinsip penggunaan kekuatan sebagaimana diatur dalam Perkap No.1 Tahun 2009. Selain itu, dalam Pasal 5 Perkap No.1 Tahun 2009 disebutkan bahwa terdapat langkah-langkah dalam penggunaan kekuatan, yakni menyadari dampak penggunaan kekuatan, lisan, kendali tangan kosong lunak, kendali tangan kosong keras, kendali senjata tumpul maupun kimia yang dimiliki polri, dan terakhir kendali menggunakan senjata api. Ketidakmampuan dalam mengidentifikasi akar permasalahan di lapangan kerap berujung pada tindakan yang reaktif, sewenang-wenang, dan jauh dari nilai-nilai profesionalitas. Selanjutnya, prinsip penggunaan senjata api juga diatur secara internasional melalui Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials dimana dalam poin 9 sampai dengan 11 disebutkan bahwa penggunaan senjata api yang mematikan secara sengaja hanya boleh dilakukan jika benar-benar tidak dapat dihindari demi melindungi nyawa, setelah sebelumnya melakukan sebelumnya memperkenalkan diri dan memberikan peringatan. Jelas bahwa penting untuk dilakukan langkah-langkah prefentif terlebih dahulu sebelum akhirnya menembak korban. Berdasarkan data yang dimiliki kontras, sepanjang tahun ini khususnya dalam rentang waktu Januari 2025 sampai dengan 2025 ditemukan sebanyak 41 kasus extrajudicial killing yang dilakukan oleh berbagai lembaga. Institusi polri dalam hall ini menjadi pelaku dengan jumlah korban terbanyak yakni 23 orang sehingga seharusnya memiliki kesadaran lebih tinggi sebelum terjadinya peristiwa pembunuhan sewenang-wenang.

Fakta bahwa telah jatuh korban yang merupakan orang dengan disabilitas psikososial memperkuat argumentasi bahwa tindakan mematikan tersebut tidak hanya berlebihan, tetapi juga menunjukkan pengabaian serius terhadap kewajiban negara untuk melindungi kelompok rentan. Disabilitas psikososial sendiri sebagaimana disebutkan dalam United Nations Economic and Social Commission for Western Asia (UN ESCWA), mencangkup orang yang meskipun tidak punya diagnosis formal menghadapi hambatan sosial atau struktural yang menghambat partisipasi mereka dalam hak asasi manusia baik karena gangguan yang nyata maupun karena persepsi orang lain.9 Apabila kita merujuk pada Pasal 1 Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) yang diratifikasi melalui UU Nomor 19 Tahun 2011, menyebutkan bahwa ”Persons with disabilities include those who have long-term physical, mental, intellectual or sensory impairments which in interaction with various barriers may hinder their full and effective participation in society on an equal basis with others.”  Sejalan dengan hal tersebut, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Hak atas kesehatan dijamin oleh undang-undang. Dalam Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan khususnya dalam Pasal 76 ayat (2) secara spesifik mencantumkan larangan kekerasan maupun tindakan pelanggaran hak asasi manusia lainnya terhadap disabilitas psikososial dan diperkuat dengan ayat berikutnya yakni Pasal 76 ayat (3) dimana seluruh hak disabilitas psikososial sama dengan hak warga negara. 

Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, kami mendesak agar:

Pertama, Presiden Republik Indonesia untuk segera merealisasikan dan melakukan reformasi institusi Kepolisian Republik Indonesia mengingat terus terulangnya peristiwa yang tak kunjung diperbaiki;

Kedua, Kepolisian Republik Indonesia khususnya kepada Kepolisian Daerah Sumatera Selatan untuk segera melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap para pelaku secara transparan dan akuntabel. Para pelaku harus dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya tidak hanya dalam ranah etik melainkan juga pidananya;

Ketiga, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) bertindak proaktif untuk melakukan pengawasan termasuk memanggil dan memeriksa para pelaku dari satuan Polres Ogan Komering Ulu sesuai dengan kewenangan yang dimiliki

Keempat, Komnas HAM melakukan investigasi lebih lanjut atas dugaan pelanggaran HAM yang terjadi;

Kelima, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk dapat berperan aktif dalam memberikan pelayanan perlindungan terhadap para korban atas peristiwa ini;



Jakarta, 7 November 2025

Badan Pekerja KontraS




Dimas Bagus Arya

Koordinator

 

Narahubung: 08176453325

 

 

1https://www.kompas.com/sumatera-selatan/read/2025/10/30/064500288/-kronologi-penembakan-odgj-di-oku-polisi-lepas-6-tembakan?page=2.

2https://regional.kompas.com/read/2025/10/29/104759978/terpukul-anaknya-ditembak-mati-polisi-oku-ayah-dia-gila-salah-tangkap-saja.

3https://sumsel.inews.id/berita/kronologi-polisi-tembak-mati-perusak-pos-lantas-di-oku-sumsel-melawan-saat-ditangkap

4https://regional.kompas.com/read/2025/10/29/104759978/terpukul-anaknya-ditembak-mati-polisi-oku-ayah-dia-gila-salah-tangkap-saja.

5https://www.tribunnews.com/regional/7748337/kronologi-3-personel-polres-oku-sumsel-tembak-mati-pria-diduga-odgj-keluarga-tak-terima.

6https://sumsel.inews.id/berita/kronologi-polisi-tembak-mati-perusak-pos-lantas-di-oku-sumsel-melawan-saat-ditangkap

7https://www.tribunnews.com/regional/7748337/kronologi-3-personel-polres-oku-sumsel-tembak-mati-pria-diduga-odgj-keluarga-tak-terima.

8https://sumsel.tribunnews.com/sumsel/993842/nasib-3-polisi-tembak-mati-pria-di-oku-disebut-kapolres-melawan-saat-ditangkap-keluarga-sebut-odgj.

9https://www.unescwa.org/sd-glossary/psychosocial-disability?

 

Writer Profile

KontraS

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan