PT TUN Jakarta Pertahankan Pangkat Jenderal Kehormatan Prabowo Subianto: Bukti Tegaknya Impunitas dan Runtuhnya Keadilan di Indonesia!
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas dengan tegas mengecam Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta dalam Perkara Banding Nomor: 500/B/2024/PT.TUN.JKT, yang memperkuat putusan pada tingkat pertama melalui Putusan Majelis Hakim PT TUN Jakarta yang menyatakan sependapat dengan pertimbangan hukum dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 186/G/2024/PTUN.JKT tanggal 31 Oktober 2024. Putusan ini hanya semakin menegaskan buruknya kinerja lembaga penegak hukum yang telah merusak prinsip-prinsip keadilan hukum dan hak asasi manusia, serta memperpanjang budaya impunitas yang sudah mengakar. Kami menilai bahwa argumen yang diajukan tidak hanya menunjukkan ketidakberanian PT TUN Jakarta untuk mengambil sikap tegas dalam menangani kontroversi pemberian pangkat Jenderal kehormatan kepada Prabowo Subianto, yang kini menjabat Presiden, tetapi juga mencerminkan semakin buruknya budaya di lembaga Penegak Hukum yang malah mengesahkan praktik-praktik penyalahgunaan kekuasaan negara (Normalizing Abusiveness), yang dengan sengaja mengabaikan tanggung jawab moral dan hukum atas pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.
Di tengah minimnya komitmen politik terhadap penegakan HAM dan demokrasi dalam 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran, seharusnya PT TUN Jakarta sebagai kekuasaan yudikatif dapat menjadi garda terdepan dalam mendobrak tembok impunitas dan berpihak pada keadilan bagi korban serta keluarga korban pelanggaran berat HAM. Majelis Hakim PT TUN Jakarta bahkan tidak mempertimbangkan sama sekali kajian analisis melalui Amicus Curiae atau "Sahabat Pengadilan" oleh para akademisi dan organisasi mahasiswa yang ditujukan langsung kepada Ketua Majelis Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta (PT TUN Jakarta) c.q Majelis Hakim pemeriksa perkara No 500/B/2024/PT.TUN.JKT tertanggal 17 Januari 2025. Selain itu, Majelis Hakim PT TUN Jakarta tidak menunjukkan keberanian dalam menciptakan keadilan penegakan HAM di Indonesia dan justru terlibat dalam melanggengkan budaya impunitas. Narasi positivistik yang hanya mengamini pertimbangan majelis hakim PTUN Jakarta sebelumnya menunjukkan penerapan hukum yang kaku, yang tidak mempertimbangkan aspek sosio-legal, padahal hal ini merupakan metode penting untuk menghadirkan asas keadilan yang hakiki, serta keputusan yang adil, independen, dan berpihak pada rule of law untuk perbaikan peradaban bangsa Indonesia ke depan.
Kami sangat kecewa dan menyesalkan keputusan majelis hakim yang justru mengamini argumen hakim PTUN Jakarta sebelumnya, yang menyatakan tidak adanya bukti hukum berupa putusan pidana yang sudah berkekuatan hukum tetap serta klaim bahwa para penggugat tidak memiliki hubungan hukum dengan objek sengketa. Hal ini tentu sangat keliru karena sebagaimana yang sudah kami tegaskan dan buktikan bahwa berdasarkan dokumen bukti surat yang telah diajukan, Para Penggugat telah jelas memiliki kedudukan hukum yang sah. Majelis Hakim PT TUN Jakarta bahkan juga menutup mata dengan tidak mempertimbangkan hal-hal yang substansial, yakni bukti dari berbagai dokumen resmi negara yang memang menunjukkan keterlibatan Prabowo Subianto dalam kasus pelanggaran berat HAM yang masih dalam proses hukum hingga saat ini. Putusan Majelis Hakim PT TUN Jakarta ini jelas-jelas telah mencederai cita-cita dalam mencapai hukum yang berkeadilan dengan mendelegitimasi kerja-kerja lembaga berwenang yakni Komnas HAM yang tidak hanya menunjukan buruknya kualitas pengetahuan majelis hakim, namun juga semakin memperburuk masa depan penegakan hukum dan HAM di Indonesia.
Padahal sudah sepatutnya menjadi pengetahuan hakim, sesuai Pasal 20 ayat (1) UU Pengadilan HAM menyatakan bahwa “Dalam hal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berpendapat bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup telah terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat, maka kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan kepada penyidik”. Hal ini berarti bahwa tidak adanya putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap tidak menjadi ukuran untuk menyatakan seseorang tidak bersalah dalam suatu kasus pelanggaran berat HAM. Harusnya hakim PT TUN Jakarta dapat melihat lebih mendalam tentang konteks kemauan politik negara yang tidak pernah beritikad baik melakukan percepatan terhadap proses hukum kepada kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Kami juga kembali menegaskan bahwa tidak ada mekanisme kenaikan pangkat istimewa berupa Jenderal TNI Kehormatan (Hor) Bintang Empat bagi Warga Negara Indonesia yang bukan anggota TNI atau pegawai negeri sipil TNI. Putusan Majelis Hakim PT TUN Jakarta dengan jelas telah mencederai akses keadilan bagi warga negara untuk memperjuangkan penegakan hukum, khususnya keluarga korban penculikan dan penghilangan orang secara paksa 1997-1998. Dari proses persidangan, terungkap sejumlah fakta bahwa Keppres No. 13/TNI/2024 bertentangan dengan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK), prinsip-prinsip HAM, dan Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), yang secara jelas memperlihatkan bahwa tidak ada mekanisme kenaikan pangkat istimewa bagi Warga Negara Indonesia yang bukan anggota TNI atau pegawai negeri sipil TNI.
Kini, lembaga yudikatif, melalui PTUN Jakarta dan PT TUN Jakarta, justru menjadi perpanjangan tangan dari penyalahgunaan kekuasaan pemerintah yang menyebabkan terjadinya peristiwa pelanggaran berat HAM dan mempertahankan impunitas dari peristiwa tersebut. Hal ini tidak berbeda jauh dengan kondisi pada periode otoriter Orde Baru yang dipenuhi dengan krisis dan manipulasi hukum. Secara keseluruhan, keputusan ini tidak hanya memperburuk citra lembaga yudikatif, tetapi juga mengindikasikan bahwa budaya impunitas masih kuat mengakar, dan bahwa Indonesia masih jauh dari cita-cita hukum yang berkeadilan. Untuk itu, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas menyerukan untuk segera menghentikan kebijakan-kebijakan yang melanggengkan impunitas, serta mendesak agar hukum dan keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu, demi masa depan yang lebih adil dan bermartabat bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jakarta, 28 Februari 2025
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas
Narahubung:
-
Jane Rosalina (KontraS)
-
Fadhil Alfathan (LBH Jakarta)
-
Airlangga Julio (AMAR Law Firm and Public Interest Law Office)

KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan