Komisi Untuk orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam peristiwa pembubaran paksa kegiatan peribadatan di sebuah rumah singgah di Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Konflik terkait dengan pelarangan kegiatan peribadatan tersebut terjadi pada Jumat, 27 Juni 2025. Adanya pengrusakan oleh warga terhadap mahasiswa yang melakukan retret menunjukkan abainya negara dalam melindungi dan menjamin warga negaranya untuk menjalankan kegiatan peribadatan.
Berdasarkan informasi yang kami himpun dari media, ibadah telah dilakukan secara rutin di sebuah rumah singgah milik Maria Veronica Ninna di Kampung Tangkil RT 04/01, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Sebelumnya, warga sekitar mulai merasa keberatan saat sebuah salib besar dipasang di taman belakang rumah singgah pada 30 April 2025. Ketua RT setempat menyatakan pernah dilakukan peneguran dan pelarangan atas penggunaan rumah singgah untuk sarana peribadatan sehingga dilakukan mediasi tanggal 7 Juni 2025. Namun, pasca dilakukan mediasi kegiatan peribadatan tetap dilakukan meskipun ditolak oleh warga sekitar. Situasi kemudian memuncak saat sekitar 200 warga Desa Tangkil mendatangi sebuah rumah singgah milik Maria Veronica Ninna sekitar pukul 13.15. Warga menuntut agar kegiatan ibadah yakni Retret yang dihadiri oleh sekitar 35 mahasiswa harus dihentikan dikarenakan tidak memiliki izin. Warga merasa keberatan bangunan tersebut digunakan sebagai tempat ibadah dan setiap kegiatan keagamaan yang dilakukan di lokasi tersebut menutupi jalan warga, dimana sempat ada 23 mobil dan bis.
Situasi sempat memanas dan terjadi pengrusakan terhadap beberapa fasilitas di rumah singgah tersebut. Dalam video yang diunggah melalui akun Youtube Tribunnews dengan durasi 2 menit 18 detik, tampak terjadi pengrusakan yang dilakukan oleh warga, mulai dari pengambilan dan diturunkannya salib sampai dengan perusakan properti yakni kaca dengan menggunakan salib tersebut. Dalam video yang beredar, nampak aparat khususnya kepolisian hanya menonton ketika warga melakukan pengrusakan terhadap bangunan.
Kami menilai Pelarangan Peribadatan di ruang privat yakni rumah singgah yang dimiliki oleh individu di Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat merupakan pelanggaran atas Hak Asasi Manusia sebagaimana telah dilindungi dalam Pasal 28E UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Selain itu, negara juga menjamin hak atas rasa aman atas warga negaranya khususnya dalam melakukan kegiatan peribadatan yakni dalam Pasal 28G ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi." Tidak hanya melanggar aturan positif di Indonesia, dalam konteks internasional, pelarangan melakukan kegiatan peribadatan juga merupakan pelanggaran atas standar Hak Asasi Manusia internasional seperti Pasal 18 Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948, Pasal 18 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik sebagaimana yang telah diratifikasi melalui UU 12/2005, serta Pasal 22 UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM).
Namun, kegagalan dalam perlindungan seringkali terjadi di tingkat lokal. Meskipun Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 atau Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, dalam Bab II dijelaskan mengenai Tugas Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan secara jelas mengamanatkan tanggung jawab pemeliharaan kerukunan umat beragama kepada kepala daerah di setiap tingkatan, baik gubernur, bupati/walikota, camat, maupun lurah/kepala desa, yang tercermin dengan banyaknya kasus pelarangan kegiatan peribadatan membuktikan bahwa amanah ini justru diabaikan. Tanggung jawab yang seharusnya dipegang teguh oleh pemerintah daerah untuk melindungi warganya sering kali diabaikan dan tidak diimplementasikan.
Dalam video yang beredar juga terlihat adanya aparat kepolisian yang hanya melihat masyarakat melakukan perusakan atas rumah singgah. Kepolisian republik Indonesia seharusnya tidak berdiam diri ketika terjadi kerusuhan yang berdimensi agama, namun melindungi hak-hak warga negara yakni hak untuk memeluk agama dan peribadatan. Apabila mengacu kepada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dimana dalam Pasal 13 dan Pasal 14 (1) huruf a dan b menjelaskan mengenai tugas pokok Polri, dimana salah satunya yakni merespon gangguan keamanan dan membantu menyelesaikan perselisihan yang dapat mengganggu ketertiban umum. Meskipun demikian, perlu untuk Polri senantiasa dalam tindakannya didasarkan pada prinsip proporsionalitas dan nesesitas, memastikan bahwa tindakan yang diambil tidak memperburuk situasi atau menimbulkan korban lebih lanjut, dengan mengingat bahwa tujuan akhir dari tindakan yang dilakukan bukan saja memadamkan kerusuhan, namun juga membangun kembali kohesi sosial dan kerukunan umat beragama, sehingga Polri hadir sebagai pelindung hak asasi dan penjaga harmoni di tengah keberagaman beragama dan berkepercayaan.
Berdasarkan data KontraS, sepanjang 2025 terdapat total 23 peristiwa Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) dengan peristiwa tertingga terjadi di Jawa Barat dengan 5 Peristiwa dengan Pelaku tertinggi yakni warga dengan 11 peristiwa, disusul dengan pemerintah yakni 8 peristiwa, dan Polisi sebanyak 5 peristiwa. Seringkali pelaku dalam isu KBB merupakan warga dengan 11 peristiwa, disusul dengan pemerintah yakni 8 peristiwa dan Polisi sebanyak 5 peristiwa. Pelanggaran yang dilakukan didominasi dengan isu izin tempat ibadah yakni 11 peristiwa dan dugaan aliran sesat yakni 7 peristiwa, Tindakan lain yakni kegiatan ibadah sebanyak 2 peristiwa dan lain-lain sebanyak 3 peristiwa. Maka dari itu, apabila merujuk pada data kami, perlu untuk pemerintah menjamin hak beribadah dan berkepercayaan warga negaranya.
Atas uraian-uraian di atas, KontraS mendesak agar:
-
Pemerintah Republik Indonesia memenuhi sumpah/janjinya untuk menegakkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang sepenuhnya menjamin kemerdekaan tiap-tiap umat beragama untuk beribadah menurut agama dan kepercayaan nya masing-masing, termasuk untuk mendirikan rumah ibadah;
-
Pemerintah daerah di berbagai tingkatan yakni Gubernur Jawa Barat, Bupati Sukabumi, Camat Cidahu, maupun Lurah atau Kepala Desa Tangkil untuk menggunakan kewenangannya secara maksimal dalam rangka memelihara kerukunan umat beragama di wilayahnya;
-
Kepolisian Republik Indonesia untuk melakukan evaluasi terhadap tindakan pembiaran yang dilakukan oleh aparat yang berada di lokasi.
-
Komnas HAM melakukan pemantauan dan menindaklanjuti kasus pelarangan kegiatan peribadatan di rumah singgah di Sukabumi yang merupakan bagian dari pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana mandat UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM;
Jakarta, 2 Juli 2025
Badan Pekerja KontraS
Dimas Bagus Arya
Koordinator
Narahubung: +628176453325
Sumber:
https://www.youtube.com/watch?v=wbTwzmFEybk

KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan