Tepat 24 Tahun yang lalu Tragedi Bumi Flora terjadi. Tragedi ini merupakan peristiwa pembunuhan massal pekerja di PT. Bumi Flora – sebuah perkebunan sawit yang terletak di Julok, Kabupaten Aceh Timur pada 9 Agustus 2001. Peristiwa tersebut disinyalir terjadi akibat ketegangan konflik yang berkepanjangan antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Peristiwa pembunuhan massal di PT. Bumi Flora bermula pada saat pasukan TNI mengumpulkan serta membariskan para pekerja laki-laki. Para pekerja tersebut kemudian diminta untuk melepaskan baju yang sedang dipakai dan dipaksa menjawab mengenai keberadaan gerilyawan GAM. Para pekerja yang semuanya merupakan warga sipil menjawab bahwa mereka tidak mengetahui soal gerilyawan GAM. Mendengar jawaban tersebut, pasukan TNI langsung memberondong tembakan dengan peluru tajam ke arah barisan para pekerja. Peristiwa ini menyebabkan 31 orang meninggal dunia, 7 orang luka-luka dan 1 orang hilang. Para korban yang masih selamat kemudian dibawa oleh petugas Palang Merah Indonesia (PMI) Langsa ke puskesmas Idi Rayeuk dan Rumah Sakit Umum (RSU) Langsa. Sehari pasca penembakan tersebut, aparat TNI dan intelijen diduga melakukan sweeping disertai teror dan intimidasi kepada korban selamat dan warga sekitar yang menyaksikan kejadian tersebut. Korban dan saksi dipaksa untuk bungkam, sambil menyebarkan narasi bahwa yang melakukan pembunuhan di PT. Bumi Flora dilakukan oleh kelompok GAM.
Pada tahun 2013 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menetapkan kasus pembunuhan massal Bumi Flora termasuk ke dalam sejumlah kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh.1 Sayangnya, hingga saat ini kasus pembunuhan massal Bumi Flora belum ditetapkan sebagai pelanggaran berat terhadap HAM dan menjadi satu-satunya peristiwa pelanggaran HAM di Aceh pada periode konflik yang belum ditetapkan sebagai pelanggaran berat HAM. Dalam perkembangannya, pada 10 April 2025, Komnas HAM telah menerima kunjungan kerja Komisi XIII DPR RI ke Kantor Komnas HAM Perwakilan Aceh.2 Dalam kunjungan kerja tersebut, Komnas HAM menyebutkan bahwa telah memproses kasus Tragedi Bumi Flora melalui mekanisme Penyelidikan pro-yustisia Pelanggaran HAM yang Berat menggunakan prosedur Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Namun, 24 tahun berlalu, tidak terdapat satupun kemajuan yang berarti dalam proses penyelidikan pro-yustisia yang sedang dilakukan oleh Komnas HAM terhadap Tragedi Bumi Flora. Selain itu, kami menilai penanganan kasus Tragedi Bumi Flora telah dilakukan secara berlarut-larut (Undue Delay) yang jelas tidak sejalan dengan pasal 14 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Pasal ini mengatur mengenai hak atas peradilan yang jujur, adil, terbuka dan tanpa memihak. Lambatnya dan proses penanganan yang berlarut dalam proses penyelidikan ini mengakibatkan baik korban, keluarga korban bahkan saksi mata dalam kejadian pembunuhan massal kembali menjadi korban untuk kedua kalinya dikarenakan hak atas kebenaran, hak atas keadilan, hak atas reparasi dan hak atas jaminan ketidak berulangan dengan menuntaskan kasusnya gagal dipenuhi oleh Negara.
Peristiwa Bumi Flora juga turut menjadi salah satu peristiwa yang dilaporkan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh. Artinya, sudah ada pengungkapan kebenaran yang dilakukan mengenai peristiwa ini. Hasil pengungkapan kebenaran tersebut harusnya bisa menjadi rujukan dalam penyelidikan pro-yustisia demi menuntut akuntabilitas negara, sebagaimana praktik yang terjadi di Argentina dan Chili. Lebih lanjut, Laporan Temuan KKR Aceh juga belum ditindaklanjuti dengan menyeluruh oleh negara untuk memberikan pemulihan bagi para korban dan keluarga korban.
Alih-alih melakukan proses penegakan hukum terhadap kasus Tragedi Bumi Flora, menjelang peringatan 20 tahun penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, Negara masih gagal memenuhi komitmen untuk mengimplementasikan isi MoU tersebut, seperti pembentukan Pengadilan HAM di Aceh dan menegakkan keadilan yang substantif bagi para korban serta sanksi pelanggaran HAM. Sebaliknya, negara kini malah justru membentuk pos militer baru dengan membangun 1 (satu) markas Brigade Infanteri dan 3 (tiga) Batalyon Teritorial Pembangunan di Provinsi Aceh yang menunjukkan tidak adanya penghormatan terhadap MoU Helsinki melalui peningkatan militerisasi Aceh.
Melalui momentum peringatan 24 Tahun Tragedi Bumi Flora ini, kami mengecam:
-
Nihilnya peran pemerintah dalam memberikan perlindungan, rasa keadilan dan kebenaran bagi korban dan keluarga korban serta saksi kasus Tragedi Bumi Flora Aceh. Tidak adanya upaya penyelesaian dalam tempo 24 tahun merupakan sebuah bukti nyata pengabaian negara terhadap peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh.
-
Lambannya Komnas HAM dalam upaya penetapan kasus bumi Flora sebagai kasus pelanggaran berat terhadap HAM sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Konsekuensi ini melahirkan ketidakpastian dan ketidakadilan terus menerus untuk korban dan keluarga korban peristiwa sehingga mengakibatkan hak mereka tidak dapat kunjung terpenuhi.
Jakarta, 09 Agustus 2025
-
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
-
Asia Justice and Rights (AJAR)
-
KontraS Aceh
1 Komnas HAM, Ringkasan Eksekutif Hasil Tim Pemantauan dan Penyelidikan Peristiwa Daerah Operasi Militer di Provinsi Aceh, 2013
2 Fajri, Rahmat, “Komnas HAM Masih Selidiki Peristiwa Dugaan HAM Berat di Bumi flora Aceh Timur”, dalam https://aceh.antaranews.com/berita/382585/komnas-ham-masih-selidiki-peristiwa-dugaan-ham-berat-di-bumi-flora-aceh-timur , Antara Aceh, April, 2025

KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan