13 September 2025 - 41 Tahun berlalu sejak peristiwa Tanjung Priok terjadi pada tanggal 12 September 1984. Situasi tanpa keadilan terus dirasakan terutama bagi para korban maupun keluarga korban. Peristiwa ini merupakan salah satu kasus peristiwa pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi pada Masa Orde Baru, yang dilakukan aparat pemerintah terhadap warga Tanjung Priok. Tragedi ini menjadi salah satu luka terdalam dalam sejarah bangsa Indonesia. Peristiwa ini bermula dari protes 4 orang warga terhadap tindakan tak manusiawi Sertu Hermanu, Babinsa Kodim 0502 Jakarta Utara, yang melepas secara paksa poster-poster kritik terhadap larangan pemakaian jilbab dan asas tunggal pancasila di musala As-saadah. Aksi protes warga tersebut dibalas dengan rentetan tindakan kekerasan yang membabi buta oleh aparat seperti menembaki massa secara brutal, menangkap warga sampai ke lorong-lorong gang pemukiman warga, membubarkan paksa massa menggunakan panser militer, hingga melakukan tindakan penyiksaan terhadap warga, termasuk praktik penghilangan paksa yang korbannya masih hilang hingga hari ini.
Dokumen Komnas HAM menyebut, akibat peristiwa ini setidaknya menyebabkan 79 orang menjadi korban, 55 korban luka dan 23 meninggal. Sebanyak 12 prajurit militer menjadi terdakwa dan diputus bersalah oleh Pengadilan HAM Ad hoc pada tahun 2003. Namun pada 2005 - 2006, kesemua terdakwa justru lolos dari jeratan hukum atas kejahatan hak asasi manusia yang telah mereka perbuat setelah putusan tingkat pertama dianulir melalui upaya hukum tingkat banding dan kasasi. Dibatalkannya putusan pengadilan tingkat pertama tentu menggugurkan perintah kepada Negara untuk memberikan kompensasi, restitusi, serta rehabilitasi bagi korban dan keluarganya sebagaimana diatur di dalam Pasal 35 UU Pengadilan HAM. Seperti kasus lainnya, jaksa gagal mengungkapkan peran pihak yang merencanakan, lemah dalam menyusun surat dakwaan, dan gagal memberikan perlindungan kepada saksi dan korban. Alhasil, pengungkapan kebenaran atas peristiwa ini berlalu begitu saja, keadilan dalam mekanisme yudisial hilang begitu saja, dan pemulihan yang menjadi tanggungjawab Negara kepada korban maupun keluarga korban Tanjung Priok diabaikan begitu saja.
Alih-alih menuntaskan kasus ini secara berkeadilan dan substantif, kami tentu kecewa dan amat menyayangkan janji palsu rezim sebelumnya dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang tidak hanya mengabaikan peristiwa Tanjung Priok dalam pidatonya 11 Januari 2023 lalu, namun juga telah menunjukan upaya yang sistematis untuk memutihkan dan melupakan kewajiban Negara bertanggung jawab terhadap pemulihan korban maupun keluarga korban. Berganti rezim, di tangan Prabowo Subianto, semakin berat rasanya jika harus mempercayakan nasib keadilan dan pemulihan terhadap korban dan keluarga korban kepada sosok pelanggar HAM yang masih harus bertanggungjawab terhadap salah satu kasusnya. Tentu saja dibalik pesimistis harapan terhadap Presiden hari ini, timbul pertanyaan publik apakah Negara bisa serius memiliki komitmen untuk menuntaskan segala carut-marutnya negara dalam menangani pelbagai kasus pelanggaran HAM.
Kami menilai, rezim hari ini justru berupaya keras dalam menghidupkan kembali pola maupun nilai-nilai militeristik, hingga kultur militer serta pemusatan corak militer pada tata kelola negara dan pemerintahan yang menunjukan bentuk pengkhianatan pada amanat reformasi yang tertuang pada TAP MPR VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri. Mulai dari retret menteri yang bernuansa militer, pelibatan militer dalam berbagai pembangunan proyek infrastruktur negara, proyek pangan, hingga revisi UU TNI yang semakin membuka lebar karpet merah kepada institusi militer dalam melakukan fungsi lain yang menyalahi prinsip profesionalitas militer.
Dominasi keterlibatan militer pada rezim hari ini tentu akan sangat berbahaya, dimana militer akan berpotensi kembali berhadapan dengan rakyatnya dan melahirkan pelanggaran HAM dan serangkaian kekerasan negara sebagaimana kondisi layaknya Orde Baru. Cukuplah tragedi Tanjung Priok, dan rentetan kasus pelanggaran berat HAM lainnya yang menunjukan bagaimana preseden buruk bagi bangsa ini ketika militer mulai ikut campur dalam urusan sipil.
Sayangnya, setelah empat dekade berlalu, nyatanya represi tidak pernah berhenti, di mana kekerasan aparat terhadap massa aksi yang mengkritisi terhadap kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat kembali terjadi. Dalam seminggu yang baru berlalu saja, kita bisa menyaksikan bagaimana protes rakyat yang lahir dari kekecewaan mendalam akibat kebijakan tidak adil, justru ditanggapi oleh aparat dengan penangkapan sewenang-wenang, penghilangan paksa, bahkan merenggut nyawa dengan melindaskan kendaraan untuk perang. Pola-pola represif ala Orde Baru kembali berulang: suara kritis dianggap ancaman, ruang demokrasi dipersempit, dan rakyat yang menuntut haknya diperlakukan seolah-olah musuh negara.
Dari Peristiwa Tanjung Priok yang terjadi 41 tahun lalu, kita bisa melihat benang merah yang sama hingga saat ini, bahwa negara tetap memilih membungkam, bukan mendengar; menindas, bukan melindungi; melanggar HAM, bukan menegakkan; melanggengkan impunitas, bukan memproses hukum. Sebagai bentuk penekanan terhadap pemerintah, kami mendesak :
-
Pemerintah dan lembaga berwenang untuk untuk segera menginisiasi sebuah mekanisme pemulihan kepada korban dan keluarga korban Tanjung Priok 1984. Meskipun mekanisme pengadilan untuk kasus Tanjung Priok sudah ada, namun pemerintah masih mengabaikan pemulihan hak-hak korban yang dirugikan atas terjadinya peristiwa Tanjung Priok. Pemulihan bagi korban adalah sebuah hal esensial untuk mencegah mereka menjadi korban lebih jauh;
-
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk segera mengupayakan pula pemulihan perdata dalam administrasi kependudukan dengan mencatat korban tanjung priok 1984 sebagai “hilang secara paksa”;
-
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk segera mengupayakan memorialisasi sebagai bagian dari pengungkapan kebenaran terhadap kasus Tanjung Priok 1984;
-
Presiden dan DPR RI untuk segera meratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Orang secara Paksa sesuai rekomendasi Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dalam surat nomor PW.01/6024/DPR RI/IX/2009.
Jakarta, 12 September 2025
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
Ikatan Keluarga Korban Tanjung Priok (IKAPRI)

KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan