Pada Kamis, 10 Juli 2025 Menteri Hak Asasi Manusia menggelar pertemuan dengan sejumlah pihak untuk membahas rencana Revisi terhadap UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM).1 Berdasarkan keterangan menteri HAM, revisi UU HAM akan memuat beberapa hal antara lain penguatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM),2 memperluas cakupan “pelanggar HAM” tidak hanya terbatas pada aktor negara melainkan juga korporasi dan individu,3 serta wacana untuk menggabungkan beberapa lembaga HAM seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia menjadi satu lembaga tunggal.
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti dan memberikan wacana revisi UU HAM tersebut. Diskursus mengenai HAM dalam tataran internasional memang senantiasa berkembang, dan oleh karena itu UU HAM sampai batasan tertentu perlu mengakomodasi perkembangan diskursus tersebut. Namun, pada sisi lain wacana revisi UU HAM harus dilakukan dengan cermat dan hati-hati. Perubahan tersebut juga harus menjawab permasalahan struktural pelanggaran HAM yang terus berulang serta mendengarkan dan berpihak pada korban pelanggaran HAM.
Berikut beberapa catatan awal KontraS terkait wacana revisi UU HAM tersebut:
Pertama, wacana untuk memperluas kategori aktor pelanggaran HAM. Revisi UU HAM disebut akan memperluas cakupan pelaku pelanggaran HAM, sehingga nantinya baik korporasi maupun individu yang bukan aparat negara juga dapat dikategorikan sebagai aktor pelanggaran HAM. Dalam perkembangan pemikiran dan praktik HAM, memang terapat pendapat bahwa korporasi juga dapat digolongkan sebagai pelaku human rights violations atau pelanggaran HAM.
Namun, jika UU HAM ingin mengatur hal tersebut pengaturannya harus dirumuskan dengan cermat agar tidak tumpang tindih dengan pengaturan mengenai korporasi sebagai subjek tindak pidana (pidana korporasi) sebagaimana diatur dalam KUHP baru yang akan berlaku pada tahun 2026 mendatang. Lebih lanjut, mengkategorikan individu yang bukan aparat negara sebagai pelaku pelanggaran HAM juga harus dilakukan dengan cermat, agar pengaturannya tidak tumpang tindih dengan peraturan hukum pidana.
Kedua, wacana untuk menggabungkan Komnas HAM dengan lembaga seperti Komnas Perempuan dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia berpotensi menyebabkan pelemahan terhadap perlindungan serta pemenuhan hak perempuan dan hak anak. Menggabungkan lembaga-lembaga ini juga berisiko melemahkan fokus, keahlian, dan pendekatan sensitif terhadap isu perempuan dan anak, yang membutuhkan penanganan khusus dan berbeda dari isu HAM umum. Hal tersebut juga dapat menyebabkan besarnya beban kerja serta tidak seimbangnya pemenuhan prioritas masing-masing isu. Lebih lanjut jika mengacu pada standar internasional, General Comment No. 2 Committee on the Rights of the Child menyatakan bahwa sebaiknya negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (seperti Indonesia) memiliki lembaga khusus yang menangani persoalan perlindungan dan pemenuhan hak anak.4
Oleh karena itu, wacana menggabungkan beberapa lembaga HAM ke dalam naungan Komnas HAM harus dikaji secara hati-hati agar tidak menjadi langkah mundur dalam upaya negara melindungi, memenuhi dan mempromosikan HAM.
Ketiga, wacana untuk melakukan revisi terhadap UU HAM harus dilakukan dengan melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan khususnya kelompok korban. Revisi undang-undang tidak cukup dilakukan dengan mendengarkan masukan dari pakar HAM dan organisasi HAM namun juga harus sepenuhnya mendengarkan aspirasi dari korban pelanggaran HAM. Revisi undang-undang harus dilakukan secara terbuka dan tidak mengulangi proses penyusunan tertutup dan tidak partisipatif sebagaimana proses penyusunan sejumlah peraturan perundang-undangan terdahulu.
Keempat, perlu digarisbawahi bahwa pemerintah hingga kini belum melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap 13 kasus pelanggaran berat HAM. Oleh karena itu komitmen terhadap perlindungan HAM harus dilakukan tidak hanya dengan melakukan revisi terhadap UU HAM, melainkan dengan secara serius menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM terhadap peristiwa pelanggaran berat HAM yang terjadi. Revisi peraturan perundang-undangan harus disertai dengan komitmen hukum dan politik untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran berat HAM.
Kelima, berbagai kasus pelanggaran HAM seperti tindak penyiksaan juga masih kerap terjadi. Pemantauan KontraS pada Juni 2024-Mei 2025 menunjukkan adanya 67 peristiwa penyiksaan di berbagai daerah di Indonesia. Hal tersebut menunjukkan adanya masalah struktural yang menjadi penyebab terjadinya pelanggaran HAM di Indonesia. Komitmen terhadap HAM harus juga ditunjukkan dengan melakukan evaluasi terhadap berbagai lembaga negara agar peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM tidak terus berulang. Pemerintah harus memastikan agar UU HAM tidak sekedar menjadi naskah peraturan perundang-undangan melainkan untuk diimplementasikan khususnya oleh aparat penegak hukum.
Jakarta, 11 Juli 2025
Badan Pekerja KontraS
Dimas Bagus Arya
Koordinator
1Kompas.id, “Pemerintah Gulirkan Waca Penguatan Rekomendasi Komnas HAM” https://www.kompas.id/artikel/luncurkan-kajian-revisi-uu-ham-pemerintah-gulirkan-wacana-penguatan-rekomendasi-komnas-ham
2Waspada.co, “UU HAM Direvisi Natalius Pigai untuk Beri Penguatan” https://waspada.co.id/uu-ham-direvisi-natalius-pigai-untuk-beri-penguatan-dan-tak-bisa-diperdebatkan/
3Hukumonline, “UU HAM Harus Antisipasi Pergeseran Pelaki dan Cakupan Hak Asasi” https://www.hukumonline.com/berita/a/revisi-uu-ham-harus-antisipasi-pergeseran-pelaku-dan-perluas-cakupan-hak-asasi-lt686f976bcad06/?page=2
4General Comment No. 2 Committee on the Rights of the Child, diakses dari https://www.refworld.org/legal/general/crc/2002/en/17892

KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan