Rilis Pers
#SeptemberHitam: Ingatan adalah Senjata, Merawatnya adalah ancaman bagi penguasa!"
Sejarah mencatat banyaknya rentetan kasus Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia (HAM) Indonesia yang terjadi sepanjang bulan September. Antara lain Peristiwa 1965–1966, Peristiwa Tanjung Priok 1984, Peristiwa Semanggi II 1999, hingga Pembunuhan Munir Said Thalib tahun 2004, yang telah meninggalkan begitu banyak luka dan duka bagi segenap masyarakat di Indonesia. Ingatan akan rentetan peristiwa pelanggaran HAM di bulan September yang menimbulkan luka dan duka ini tercermin dalam sebuah istilah “September Hitam”.
September Hitam sejatinya merupakan manifestasi dari upaya masyarakat untuk terus menjaga ingatan dan menuntut keadilan atas kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang belum benar-benar terselesaikan secara adil. Namun, kendati September Hitam terus digaungkan oleh masyarakat sipil, negara tidak kunjung menunjukan upayanya untuk memperbaiki situasi penegakan HAM di Indonesia. Pada kenyataannya, kenyataan pahit yang harus dihadapi masyarakat Indonesia saat ini adalah bahwa kekerasan negara tidak hanya berhenti di masa lalu. Hal ini karena negara justru mereproduksi pelanggaran HAM di masa lalu menjadi peristiwa pelanggaran HAM serupa di masa kini seperti Pembunuhan Salim Kancil 2015, Reformasi Dikorupsi 2019, Pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani 2020, hingga Penggusuran Rempang 2023.
Selain itu itu, di tahun 2025, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti bahwa reproduksi atas pelanggaran HAM di masa lalu tersebut kembali teridentifikasi seiring dengan merosotnya situasi kebebasan sipil di Indonesia. Sepanjang bulan Januari-Juni tahun 2025 saja, KontraS mencatat bahwa setidaknya terdapat 503 orang setidaknya telah menjadi korban dari kekerasan aparat negara hanya karena mengekspresikan pendapat mereka di ruang publik. Tingginya angka korban ini merupakan akumulasi dari rentetan peristiwa kekerasan seperti penangkapan, intimidasi, kekerasan fisik, pelabelan negatif, hingga kekerasan psikis oleh Polisi, TNI, hingga aparat pemerintahan lainnya yang berupaya merepresi hak masyarakat untuk berpendapat dan berekspresi.
Kendati di semester pertama tahun 2025 tersebut telah terdapat korban kekerasan negara yang begitu tinggi, negara tidak kunjung melakukan tindakan tegas yang berarti untuk mencegah terciptanya kembali korban-korban pelanggaran HAM negara. Gagasan ini terbuktikan dalam rentetan kasus kekerasan oleh aparat kepolisian yang terjadi dalam beberapa hari terakhir menjelang peringatan September Hitam. Kekerasan ini muncul selama meningkatnya eskalasi demonstrasi masyarakat sipil yang mengekspresikan kekecewaannya atas perilaku pejabat-pejabat hingga kebijakan-kebijakan negara yang semakin sewenang-wenang menindas rakyat.
Selama periode 1-30 Agustus 2025, KontraS mencatat bahwa setidaknya telah terdapat sebanyak 354 korban yang mengalami luka-luka, 2 orang tewas, dan 1.606 lainnya ditangkap selama aksi demonstrasi berlangsung. Satu di antara korban-korban tersebut adalah Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang tewas akibat dilindas oleh kendaraan taktis (rantis) Polri berupa mobil Barracuda. Temuan-temuan kasus kekerasan ini sejatinya hanyalah angka sementara yang tercatat secara resmi melalui pemantauan KontraS terhadap pemberitaan di media massa. Sementara itu, mengingat semakin tingginya tindakan represif aparat kepolisian pada berbagai wilayah di Indonesia, maka semakin tinggi pula kemungkinan bahwa jumlah korban tersebut dapat mengalami peningkatan. Kondisi ini menandai bahwa September Hitam di tahun ini akan diperingati dengan atmosfer mencekam dari situasi kekerasan di Indonesia yang terus memburuk.
Memburuknya situasi kekerasan yang terjadi di Indonesia dalam beberapa waktu jelang peringatan September Hitam sejatinya semakin memperkuat gagasan bahwa negara tidak kunjung menunjukan upayanya untuk memperbaiki situasi penegakan HAM di Indonesia. Alih-alih memperbaiki situasi, negara melalui Polri justru terus melakukan tindakan-tindakan represif yang kian membuat kebebasan masyarakat sipil terepresi.
Sementara represifitas aparat terus berlangsung, secara paralel negara juga berupaya menghapus ingatan masyarakat akan catatan gelap pelanggaran HAM yang terekam dalam September Hitam. Gagasan ini dapat dibuktikan dengan adanya proyek Kementerian Kebudayaan untuk menulis ulang sejarah Indonesia oleh agar sejarah tersebut menjadi lebih “indonesiasentris”, yang justru sarat akan kepentingan penguasa untuk menghapus sejarah buruk pelanggaran HAM di Indonesia.
Upaya untuk menghapus sejarah tersebut turut dijalankan dengan tindakan negara menganugerahkan penghargaan kepada sejumlah orang yang telah terbukti terlibat dalam kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Pada awal tahun 2025 misalnya, negara berupaya menjadikan Soeharto, presiden Indonesia pada masa Orde Baru yang merupakan dalang atas sebagian besar peristiwa pelanggaran HAM masa lalu, sebagai bagian dari pahlawan nasional. Sementara itu di pertengahan tahun 2025 negara turut pula memberikan peningkatan pangkat bintang empat berupa Jenderal Kehormatan (HOR) kepada Sjafrie Sjamsoeddin. Padahal, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998 telah mencatat bahwa Syafrie merupakan salah satu nama yang bertanggung jawab atas peristiwa Pelanggaran Berat HAM Mei 1998. Syafrie juga diketahui terlibat dalam operasi militer di Timor Timur pada 1976 dan 1990, Aceh pada 1980, dan Papua pada 1987 yang telah menewaskan ratusan ribu jiwa.
Tidak hanya menunjukan upaya menghapus ingatan masyarakat saja, proyek penulisan ulang sejarah dan pemberian gelar kehormatan bagi para penjahat HAM sejatinya juga mencerminkan agenda negara mempertahankan militerisme yang telah mengakar kuat dalam struktur kekuasaan di Indonesia. Dalam hal ini, negara berusaha mengkonsolidasikan kekuasaannya dengan menghapuskan jejak buruk militerisme dan memulihkan citra para anggota militer yang terlibat dalam kasus pelanggaran HAM. Kondisi ini merupakan ekses dari pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI pada Maret 2025 lalu, yang membuat posisi militer dalam pemerintahan di Indonesia menjadi kian meluas dan menguat. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan negara terkait dengan militer ini menggambarkan jelas bahwa negara sedang memperkuat militerisme di Indonesia dan mempersubur kultur impunitas atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer.
Atas dasar pemaparan di atas, maka dapat kembali ditegaskan bahwa negara tidak kunjung melakukan pembenahan situasi penegakan HAM meskipun September Hitam telah berulangkali digaungkan masyarakat sipil. Alih-alih berbenah, negara justru menjalankan kebijakan atau melakukan tindakan yang kian memperlegam ingatan buruk masyarakat sipil atas pelanggaran HAM di Indonesia yang melekat kuat dalam September Hitam.
KontraS percaya bahwa ingatan sejatinya adalah senjata terkuat untuk memperjuangkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Indonesia secara adil. KontraS juga meyakini bahwa merawat ingatan adalah ancaman bagi penguasa negara yang takut akan terselesaikannya kasus pelanggaran HAM yang seadil-adilnya. Oleh karena itu, KontraS menekankan pentingnya menjaga dan merawat ingatan dalam September Hitam agar ingatan tersebut terus hidup sebagai senjata untuk melawan pelanggaran HAM di masa lalu, serta sebagai ancaman bagi penguasa yang berusaha mengulangnya dalam bentuk-bentuk serupa di masa kini.
Dengan demikian, September Hitam di tahun 2025 ini menjadi momentum KontraS untuk mendesak negara agar segera:
-
Menghentikan berbagai tindakan represif terhadap masyarakat sipil, terkhusus oleh Polri, selama tereskalasinya demonstrasi masyarakat sipil dalam beberapa waktu terakhir;
-
Mengurungkan berbagai upaya penulisan ulang sejarah, termasuk pemutihan catatan gelap Orde Baru;
-
Membatalkan pemberian penghormatan kepada aktor-aktor yang terlibat dalam kasus pelanggaran HAM yang seharusnya diadili; dan
-
Memperbaiki situasi penegakan HAM di Indonesia, yang meliputi penuntasan atas kasus pelanggaran HAM sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku dan prinsip pemberian keadilan substantif bagi korban, serta reformasi terhadap institusi keamanan untuk mencegah berulangnya kembali kasus-kasus pelanggaran HAM di masa mendatang.
Jakarta, 1 September 2025
Badan Pekerja KontraS,
Dimas Bagus Arya
Koordinator

KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan