Senin, 24 Juni 2024 Polda DIY menetapkan Meila Nurul Fajriah sebagai Tersangka pencemaran nama baik sesuai dengan pasal 27 ayat (3) UU ITE jo Pasal 45 Ayat (3) UU ITE. Penetapan ini bermula saat Meila melakukan pendampingan kasus Kekerasan Seksual di Yogyakarta. Pendampingan kasus ini dimulai pada April 2020 dan Meila sebagai Pengacara LBH Yogyakarta melakukan pembelaan terhadap 30 korban kekerasan seksual baik langsung maupun secara online yang diduga kuat dilakukan oleh satu pelaku yakni IM (mantan Mahasiswa berprestasi Universitas Islam Indonesia).
Dalam proses advokasi, LBH Yogyakarta tidak sendiri, tetapi bersama lembaga lain termasuk dari Gerakan Mahasiswa di UII yang membuka posko pengaduan sebagai bentuk pelayanan bantuan hukum demi terjaminnya akses keadilan terhadap korban. Pada saat kasus ini ditangani, ada bacaan bahwa terdapat indikasi korban akan semakin banyak sehingga ada kebutuhan untuk menjalin kerja bersama dengan jaringan organisasi masyarakat sipil lainnya.
Pada tahun 2020, IM melaporkan 3 orang pengacara LBH Yogyakarta termasuk Meila ke POLDA DIY dengan tuduhan pencemaran nama baik karena menyebutkan nama lengkap IM saat melakukan siaran pers. Alih-alih mendapatkan dukungan dan perlindungan oleh aparat penegak hukum, Meila justru ditetapkan tersangka. Selama proses penanganan kasus ini, Penyidik tidak berdiri atas asas kredibilitas dalam penyidikan sebagaimana diatur dalam Perkapolri No 15/2006 tentang Kode Etik Profesi Penyidik Polri, dimana Penyidik tidak memperhatikan dan berupaya mencari fakta-fakta yang akurat berkaitan dengan kasus KS. Padahal dalam waktu yang bersamaan, LBH Yogyakarta juga telah menginformasikan bahwa kasus ini telah diselidiki oleh pihak universitas dan yang salah satunya telah dibuktikan oleh Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) sebagai dasar pencopotan status IM sebagai Mahasiswa Berprestasi (Mawapres UII). Pasca dicabutnya gelar mahasiswa berprestasi tersebut, IM juga melayangkan gugatan ke UII lewat PTUN Yogyakarta. Dalam persidangan tersebut, Rektor UII melalui Tim Pendampingan dan Advokasi setidaknya menemukan fakta bahwa terdapat 4 korban yang mendapatkan KS dari IM dan berdampak buruk kondisi psikologis korban, bahkan 1 diantaranya sempat berpikir untuk lakukan bunuh diri (Hal 45-46 Putusan No 17/G/2020/PTUN.YK)
Putusan serta pemeriksaan yang dilakukan oleh Rektor UII diatas tidak dijadikan muatan penting oleh Polda DIY sebagai kenyataan bahwa IM telah melakukan tindakan kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Bersama antara Menkominfo, Jaksa Agung dan Kapolri tentang Pedoman Implementasi UU ITE tahun 2021 yang menyebutkan bahwa menyampaikan kenyataan atau fakta bukanlah bagian dari delik pencemaran nama baik.
Siaran pers yang dilakukan oleh Meila sebagai Pengacara Publik LBH Yogyakarta dilakukan karena Meila menjadi pengacara korban pada saat itu sehingga proses internal di dalam Dewan Kehormatan Advokat harus dilakukan terlebih dahulu jika dianggap ada kesalahan dalam penanganan kasus. Hingga saat ini, Meila tidak pernah dilaporkan ke Dewan Kehormatan Advokat dan tidak pernah disidang karena melanggar kode etik advokat. Sehingga kami juga melihat bahwa penetapan tersangka ini mendelegitimasi proses internal melalui Dewan
Kehormatan karena dapat dikatakan tindakan pembelaan Meila tidak bertentangan dengan Kode
Etik Profesi Advokat.
Penetapan tersangka oleh Polda DIY merupakan serangan serius terhadap Perempuan Pembela HAM dan/atau pendamping korban kekerasan seksual yang pada akhirnya menjadi preseden buruk kepada seluruh korban kekerasan seksual di tanah air. Polda DIY telah serampangan dan menganulir hak impunitas advokat sebagaimana diatur dalam UU 18/2003 tentang Advokat, hak impunitas pemberi bantuan hukum sebagaimana dalam UU 16/2011 Bantuan Hukum dan hak impunitas pendamping korban dalam UU 12/2022 tentang TPKS yang kesemuanya dimiliki Meila sebagai Pengacara, sebagai pemberi bantuan hukum dan sebagai Pendamping Korban. “Perempuan Pembela HAM/Women Human Right Defender (WHRD) seharusnya menjadi salah satu elemen kunci dalam mendorong penegakan hak asasi manusia di masyarakat. Kriminalisasi terhadap WHRD menunjukkan bahwa WHRD masih berada dalam posisi rentan dan jelas merupakan upaya untuk melemahkan perjuangan. Ini menggambarkan bahwa perlindungan bukan hanya kepada WHRD, namun juga perempuan korban kekerasan, belum sepenuhnya dilakukan dan menjadi perhatian negara.” Indiah Wahyu Andari, Direktur Rifka Annisa Woman Crisis Centre.
Selain rentannya Perempuan Pembela HAM, kondisi korban kekerasan seksual juga menemui tantangan yang serupa. Ika Agustina Direktur Eksekutif Kalyanamitra juga mengatakan bahwa“Korban kekerasan seksual sampai saat ini sulit mendapatkan akses keadilan karena berbagai kendala dalam sistem hukum di Indonesia, salah satunya terkait dengan perspektif aparat penegak hukum kita yang belum berperspektif gender. Kasus-kasus kekerasan seksual yang dilaporkan seringkali dianggap masih kurang bukti dan saksi oleh aparat penegak hukum. Bahkan korban dilaporkan balik oleh pelaku dengan tuduhan pencemaran nama baik. Pendamping korban seringkali juga mendapat intimidasi dan teror dari pelaku, tanpa ada perlindungan dari institusi penegak hukum.”
Senada dengan itu, Dimas Bagus Arya Koordinator KontraS menyampaikan, “Kepolisian tidak berpihak kepada korban dan justru menjadi pelaku pelecehan terhadap profesi advokat. Kita bisa melihat bahwa pola Kill The Messenger terjadi kembali dalam kasus ini sehingga telah menihilkan peran pendampingan yang dilakukan oleh Meila terhadap para korban dan mengalihkan beban tanggung jawab dari yang seharusnya fokus memberikan sanksi kepada terduga pelaku, malah justru membebankannya ke pendamping. Selain itu, kami lihat Kepolisian telah cacat logika dalam memproses penetapan tersangka. Sudah seharusnya polisi menghentikan kasus karena tidak memenuhi delik pencemaran nama baik karena yang disampaikan oleh Meila adalah bukan delik yang berkaitan dengan muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik bila merupakan penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan sebagaimana diatur dalam poin C SKB Pedoman UU ITE.”
“Meski kami bergerak di isu lingkungan namun kasus KS adalah isu kita bersama. Kami menyesalkan tindakan hukum yang dilakukan Polda DIY kepada Meila, apa yang dilakukan adalah menunjukkan bahwa APH yangs seharusnay berada di garis depan untuk melindungi para korban tapi belum memahami urgensi UU TPKS”. Khalisah Khalid perwakilan Greenpeace Indonesia
Selain itu, Nenden Sekar Arum Direktur Eksekutif SafeNet mengungkapkan bahwa “Kasus ini menunjukkan pasal karet yang ada di UU ITE sangat berbahaya dan efektif untuk mengkriminalisasi pihak-pihak yang kritis. Kita perlu melihat pasal 27 ayat 3 UU ITE sebagai suatu muatan yang bermasalah dan bagaimana hasil revisi kedua UU ITE masih belum memperhatikan aspek kepekaan gender dan perspektif hak digital”.
Eni perwakilan dari Kolektif Purple Code juga menambahkan bahwa “Kriminalisasi yang terjadi terhadap Meila menjadi momok yang menakutkan bagi korban-korban kekerasan seksual yang sedang berjuang. Bagaimana tidak karena pendamping korban sendiri menjadi target kriminalisasi oleh terduga pelaku”. Ketua umum Yayasan LBH Indonesia, Muhamad Isnur juga menyampaikan respon terkait dukungan kepada Meila, “Keluarga LBH-YLBHI mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang menyatakan sikap bahwa Meila tidak sendiri. Meila adalah advokat dan pelaksana bantuan hukum, kriminalisasi ini adalah menihilkan upaya-upaya negara dalam penegakan hukum. Ini bukan hanya Meila dan LBH-YLBHI, namun ini tentang kita semua; para korban, penyintas, keluarga dan orang terdekat kita.”
Pada akhirnya, kriminalisasi ini adalah jalan mundur yang dilakukan oleh Polda DIY ditengah komitmen seluruh elemen bangsa Indonesia yang saat ini secara bersama-sama mendukung korban kekerasan seksual dan melawan budaya dan tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh siapapun sebagaimana dalam UU 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Alih-alih Polda DIY sebagai institusi garda terdepan menjalankan UU TPKS, justru tindakan kontraproduktif yang mereka pilih yakni melindungi Pelaku dan mengkriminalisasi pendamping korban.
Atas dasar point-point di atas, kami jaringan masyarakat sipil mendesak:
- Kapolri Listyo Sigit Prabowo secara langsung melakukan evaluasi yang menyeluruh terhadap Kapolda DIY;
- Kapolda DIY Suwondo Nainggolan segera mencabut dan menghentikan segala proses kriminalisasi Perempuan Pembela HAM, Pengacara dan Pendamping Korban atas nama Meila Nurul Fajriah;
- Kompolnas melakukan pengawasan yang holistik terhadap Kapolda DIY serta Tim Penyidik Polda DIY yang menangani perkara a quo dengan menjamin profesionalisme dan akuntabilitas serta mengevaluasi seluruh proses kriminalisasi Meila Nurul Fajriah;
- Komnas Perempuan memberikan atensi besar terhadap Kriminalisasi Meila Nurul Fajriah dan mengevaluasi seluruh proses penetapan tersangka kepada Meila Nurul Fajriah;
- Mengajak seluruh elemen masyarakat Indonesia untuk melawan tindakan kekerasan seksual, melindungi korban kekerasan seksual dan melawan segala tindakan yang mengancam pendamping korban maupun Pembela HAM.
Jakarta, 25 Juli 2024
Hormat kami:
1. Yayasan LBH Indonesia
2. LBH Yogyakarta
3. LBH Manado
4. LBH Medan
5. LBH Padang
6. LBH Jakarta
7. LBH Makassar
8. LBH Surabaya
9. LBH Pekanbaru
10. LBH Semarang
11. LBH Project Base Kalimantan Barat
12. LBH Bandung
13. LBH Banda Aceh
14. LBH Papua
15. LBH Bali
16. LBH Bandar Lampung
17. LBH LBH Samarinda
18. LBH Palangkaraya
19. LBH Palembang
20. LBH Apik Semarang
21. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
22. Kolektif Purple Code
23. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)
24. INFID - International NGO Forum on Indonesian Development
25. LBH Apik Jakarta
26. Kalyanamitra
27. Trend Asia
28. Amnesty International Indonesia
29. Greenpeace Indonesia
30. WALHI Yogyakarta
31. UII Bergerak
32. Lingkar Belajar Untuk perempuan Sulteng
33. Aliansi Sumut Bersatu
34. Perkumpulan Kediri Bersama Rakyat
35. Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (Sumatera Utara)
36. Women Crisis Center (WCC) Rifka Annisa
37. Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (Kabar Bumi)
38. Olin Monteiro, Artsforwomen Indonesia
39. Nabila Tauhida, Emancipate Indonesia
40. Susi Handayani_ Yayasan PUPA
41. Fiolita Berandhini, Animals Don’t Speak Human
42. Ferena Debineva - Setya Garuda Remaja Cendikia (SGRC)
43. Frenia Nababan - Yayasan Kesehatan Perempuan
44. Ayut Enggeliah (Sawit Watch)
45. Lita Anggraini- JALA PRT
46. Dian Septi Trisnanti - Marsinah.id
47. Kekek Apriana DH- Srikandi Sejati Foundation
48. Othe Patty - Yayasan Peduli Inayana Maluku.
49. Mike Verawati - Koalisi Perempuan Indonesia
50. Jumisih - JALA PRT/FSBPI
51. YERYANA _PEREMPUAN AMAN
52. Danielle Samsoeri - Akara Perempuan
53. Dani Manu - LBH APIK NTT
54. Dewi Tjakrawinata - YAPESDI
55. Dewi Rana, Libu Perempuan Sulteng
56. Purwanti, SIGAB Indonesia
57. Iim Suluh Perempuan
58. Wahidah Suaib - ANSIPOL
59. LBH APIK Banten
60. Jakarta Feminist
61. Ika Ayu - Perkumpulan Samsara
62. Save All Women and Girls
63. Jaringan Perempuan Yogyakarta
64. Cari Layanan
65. Gerak Bersama Perempuan Maluku
66. Jaringan Perempuan Borneo
67. Ditta Wisnu, PasahKahanjak
68. Nazla Mariza
69. Valentina Sagala, Institut Perempuan
70. Kolektif Semai
71. PKBI DIY
72. Perempuan Mahardhika
73. Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI)
74. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
75. Save Amira
76. Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD)
77. ASB Plural Official
78. Saukang Sahabat Konservasi Lingkungan
79. Yayasan Konservasi Way Seputih
80. FIK ORNOP Sulsel
81. Yayasan Samahita Bersama Kita
82. Forum LSM DIY
83. Lokadaya Nusantara
84. Penabulu Foundation
85. Ina Irawati, KPuK (Koalisi Perempuan untuk Kepemimpinan) - Malang
86. Laili Zailani,Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (HAPSARI) Sumut
87. HopeHelps Network
88. Sri Rahayu, Kelas Perempuan Mandiri Berbudaya (KELAPA MUDA) Sumut
89. Tong Pu Ruang Aman
90. LRC-KJHAM (Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia)
91. Koalisi Anti Kekerasan Seksual - Jayapura
92. Nurhasanah, Yayasan Swara Parangpuan Sulut/Gerakan Perempuan Sulut (GPS)
93. Khotimun S, Asosiasi LBH APIK Indonesia
94. Servina P. Payon
95. Emmy Astuti-ASPPUK
96. Berti S D Malingara, Gerakan Advokasi Transformasi Disabilitas untuk Inklusi
(GARAMIN) NTT
97. Resister Indonesia
98. Combine Resource Institute
99. Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS)
100. Sekretariat Nasional Jaringan Gusdurian
101. Forum Perlindungan Korban Kekerasan (FPKK) Daerah Istimewa Yogyakarta
102. Rumah Muda Integritas
103. DPD IMM DIY
104. Thinkpath Indonesia
105. Solidaritas Perempuan Kinasih
106. Forum Pancoran Bersatu
107. Cakra Wikara Indonesia
108. Afrintina, DAMAR Lampung
109. Nyingalaha Maluku Utara
110. Front Anti Kekerasan Maluku Utara
111. Gerak 28 September
112. Partai Hijau Indonesia
113. Elly Bin Yahya – Individu
114. Ersa - Gender Mahardika Yogyakarta (Feminis Yogya)
115. AJI Yogyakarta
116. Harapan Fian
117. Feminis Jakarta (KOMPAKS)
118. PBHI Yogyakarta
119. Sindikasi Jogja
120. Cilacapbisa
121. Anggun - Zinethink
122. Jesse - SINDIKASI Jogja
123. Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) Universitas Islam Indonesia
Tags
KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan