Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL), Amnesty International Indonesia, dan Asia Justice and Rights (AJAR) mengecam kelalaian dan pengabaian negara dalam penuntasan peristiwa Talangsari. Tanggal 7 Februari 2025, menandai 36 tahun sejak terjadinya peristiwa Talangsari, sebuah peristiwa pelanggaran berat hak asasi (HAM) yang terjadi di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Lampung Timur yang mengakibatkan setidaknya 246 korban meninggal dunia, puluhan warga ditahan tanpa proses hukum, disiksa, dan dihilangkan secara paksa.
Penting untuk digarisbawahi bahwa peristiwa ini telah diselidiki secara pro-yustisia oleh Komisi Nasional (Komnas) HAM dan hasil penyelidikan menetapkan peristiwa ini sebagai pelanggaran berat HAM pada 2008, sesuai dengan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Artinya, proses hukum dari peristiwa Talangsari telah berjalan sejak lama. Namun, hingga kini, keadilan yang substantif dan bermartabat bagi korban belum kunjung ditegakkan dan kebenaran belum kunjung diungkap.
Sebaliknya, negara justru sejak lama telah melakukan berbagai jalan pintas yang mencederai dan merendahkan martabat korban. Langkah-langkah tersebut yaitu ‘deklarasi damai’ sepihak pada 20 Februari 2019 yang dilakukan oleh Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM di bawah Kementerian Koordinator, Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) dan surat komitmen bersama mengenai perbaikan infrastruktur tanpa memperhatikan hak korban pada 16 Oktober 2020, serta Tim Penyelesaian secara Non-yudisial (PPHAM) pada 22 Agustus 2022 yang hanya berfokus pada pemberian bantuan secara materil. Hal ini mengesankan bahwa negara menganggap peristiwa Talangsari bukanlah kejahatan serius akibat penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh negara terhadap warganya.
Pemerintahan yang baru juga berencana menghindari akuntabilitas negara, hanya dalam waktu kurang dari 100 hari setelah pelantikan. Pada 10 Desember 2024, Yusril Ihza Mahendra yang menjabat sebagai Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan dan Atnike Nova Sigiro yang merupakan Ketua Komnas HAM mengungkapkan bahwa penyelesaian pelanggaran berat HAM akan dilakukan melalui mekanisme Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Mereka mengklaim bahwa mekanisme ini dipilih sebagai upaya menanggulangi kesulitan pengumpulan bukti dan keterangan terkait lantaran peristiwa tersebut sudah lama terjadi.
Kami menduga wacana tersebut tidak lain hanyalah sebuah upaya untuk merawat impunitas terhadap pelaku dalam peristiwa Talangsari 1989. Dugaan ini pun bukan tanpa alasan. Pasalnya, dalam program Asta Cita milik pemerintahan saat ini, tidak ada penuntasan pelanggaran berat HAM masa lalu sebagai salah satu program kerja yang akan dilakukan. Lebih lanjut, rekonsiliasi bukanlah mekanisme alternatif terhadap mekanisme yudisial yang dapat dipilih oleh negara dengan sesuka hati. Rekonsiliasi merupakan sebuah istilah payung terhadap sebuah rangkaian proses struktural sebagai upaya untuk melakukan penyelesaian yang berkeadilan dan menghargai martabat korban. Rangkaian proses tersebut haruslah dimulai dengan mengungkap fakta-fakta terkait peristiwa termasuk nama-nama pelaku dan jumlah korban, kepada korban dan keluarga korban termasuk kepada publik.
Pengungkapan kebenaran penting untuk dilakukan agar negara tidak dengan serampangan memanipulasi sejarah dan mendorong pemulihan korban dengan maksimal. Hal inilah yang tidak pernah dilakukan oleh negara. Tanpa pengungkapan kebenaran, pemulihan korban tidak akan maksimal, karena korban tidak akan pernah mengetahui apa yang terjadi pada mereka atau keluarga mereka.
Oleh karena itu, dalam momentum peringatan 36 Tahun Peristiwa Talangsari, kami menuntut:
-
Jaksa Agung untuk menindaklanjuti berkas penyelidikan pro-yustisia kasus Talangsari 1989 yang telah dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) ke tahap penyidikan dan penuntutan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 21 dan 23 Undang-undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM;
-
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Jaksa Agung untuk meningkatkan koordinasi dengan sebaik-baiknya untuk mendapatkan barang bukti yang dibutuhkan; dan
-
Pemerintah untuk memenuhi hak korban Peristiwa Talangsari 1989 atas pengungkapan kebenaran dan pemulihan, termasuk dengan melakukan memorialisasi atas peristiwa tersebut.
Jakarta, 6 Februari 2025
-
Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL)
-
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
-
Amnesty International Indonesia
-
Asia Justice and Rights (AJAR)
KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan