Presiden Prabowo Subianto belakangan ini kerap dikabarkan memiliki agenda besar di pemerintahannya untuk memperbaiki sistem penegakan hukum di Indonesia, salah satunya melalui reformasi kepolisian. Rencana Presiden Prabowo tersebut sebagaimana diketahui, kemudian ditindaklanjuti dengan membentuk Komite Percepatan Reformasi Polri yang telah ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 122/P Tahun 2025 tentang Pengangkatan Keanggotaan Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia pada 7 November 2025 lalu, kendati dengan berbagai catatan terhadap komposisi keanggotaannya.
Alih-alih melakukan reformasi kepolisian, Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) justru tengah merancang dan mempercepat proses pengesahan produk legislasi, yakni, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang akan memperkuat monopoli kewenangan dan diskresi kepolisian sehingga semakin menjadikannya lembaga superpower, sementara mekanisme check and balances atau pengawasan terhadap kepolisian kian diperlemah. Situasi ini justru berlangsung belum lama berselang pasca komite yang bertujuan untuk melakukan pembenahan menyeluruh terhadap kepolisian ini ditetapkan.
Bahwa kegagalan praktik pemolisian yang profesional dan akuntabel serta gagalnya upaya reformasi kepolisian selama ini, tidak dapat dilepaskan dari kegagalan dalam mengatur kewenangan kepolisian dan mendesain mekanisme pengawasan (check and balances) terhadap kepolisian yang selama ini diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dengan ketentuan KUHAP sebelumnya, berbagai kasus penyiksaan, salah tangkap, rekayasa kasus, kriminalisasi, penyalahgunaan kewenangan, penelantaran perkara (undue delay), hingga diskriminasi dalam penegakan hukum kerap terjadi dan dilakukan oleh kepolisian menjalankan tugas dan fungsi konstitusionalnya dalam penegakan hukum, hal mana kerap dipotret dalam berbagai catatan berbagai organisasi masyarakat sipil dan lembaga negara independen.
Sementara dengan Rancangan KUHAP saat ini justru memperkuat kendali dan monopoli kewenangan serta memperluas diskresi polisi, justru akan melanggengkan berbagai praktik penyalahgunaan wewenang (abuse of power), kegagalan penegakan hukum, hingga praktik impunitas oleh kepolisian. Sehingga rencana Pemerintah dan DPR RI untuk mengesahkan KUHAP yang baru hanya akan menciptakan jalan buntu, menutup rapat pintu, bahkan menjegal wacana reformasi Polri yang digadang-gadangkan.
Sedikitnya, ketentuan yang patut dikhawatirkan dan berpotensi menutup upaya reformasi kepolisian di dalam draf revisi KUHAP di antaranya:
1. Kepolisian semakin menjadi lembaga superpower. Semua PPNS dan Penyidik Khusus di letakan di bawah koordinasi Polisi, menjadikan Polri lembaga super power dengan kontrol yang sangat besar (Pasal 7 dan Pasal 8);
2. Adanya pengaturan operasi undercover buy (pembelian terselubung) dan controlled delivery (pengiriman di bawah pengawasan) oleh kepolisian yang sebelumnya menjadi kewenangan penyidikan dan hanya untuk tindak pidana khusus (narkotika), kemudian dimasukkan secara serampangan dalam RKUHAP, ke dalam metode penyelidikan dan bisa diterapkan tanpa batas untuk semua jenis tindak pidana serta tanpa pengawasan hakim (Pasal 16). Sehingga kewenangan luas tanpa pengawasan ini berpotensi membuka peluang penjebakan (entrapment) guna merekayasa atau menciptakan tindak pidana terhadap siapapun;
3. Upaya Paksa Penggeledahan, Penyitaan, Pemblokiran bisa dilakukan tanpa izin pengadilan dengan alasan keadaan mendesak berdasarkan penilaian subjektif oleh kepolisian (Pasal 105, 112A, 132A). RKUHAP juga memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penyadapan tanpa izin hakim dengan dilandaskan pada undang-undang yang bahkan belum terbentuk (Pasal 124);
4. Semua semakin berpotensi mengalami pemerasan dan dipaksa damai dengan Dalih “RJ”, bahkan di ruang gelap penyelidikan oleh kepolisian. Dalam Pasal 74a RKUHAP dijelaskan bahwa kesepakatan damai antara pelaku dan korban dapat dilaksanakan pada tahapan yang belum dipastikan terdapat tindak pidana (penyelidikan).
5. Penelantaran laporan warga berpotensi langgeng oleh polisi. Pasal 23 RUU KUHAP gagal menyelesaikan masalah laporan warga yang tidak ditindaklanjuti (undue delay) oleh kepolisian. Pasal ini sekedar mengatur alur pelaporan secara internal di kepolisian, tetapi tidak menjelaskan kewajiban tindak lanjut, batas waktu pemeriksaanlaporan, atau mekanisme pengawasan yang efektif. Akibatnya, laporan masyarakat termasuk korban kekerasan seksual berpotensi diabaikan tanpa pertanggungjawaban.
6. Pasal 5 RKUHAP, pada tahap penyelidikan, polisi penyelidik bisa melakukan penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan bahkan penahanan, padahal pada tahap ini tindak pidana belum terkonfirmasi.
Dengan susbtansi RKUHAP demikian, namun nyatanya Pemerintah bersama DPR tetap akan memaksakan proses pengesahannya, dapat dipastikan agenda legislasi kali ini hanya akan melanggengkan kegagalan praktik penegakan hukum oleh kepolisian dan menggugurkan rencana pemerintah untuk menjalankan agenda reformasi kepolisian. Sehingga kami, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (Koalisi RFP), mendesak Presiden Prabowo dan DPR RI untuk menarik draf RKUHAP saat ini dan menunda rencana pengesahannya, setidaknya dengan mempertimbangkan diskursus reformasi kepolisian yang masih berlangsung.
Jakarta, 17 November 2025
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian
1. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
2. Indonesia Corruption Watch (ICW)
3. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
4. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
5. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
6. Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI)
7. Kurawal Foundation
8. LBH Masyarakat
9. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
10. LBH Jakarta
11. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
12. LBH Pers
13. Indonesia Judicial Research Society (IJRS)
Narahubung: Arif, Paul.
KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
