Menjelang satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto, relasi sipil-militer di Indonesia menunjukkan kemunduran. Penguatan kelembagaan dan peran militer, disertai pembangunan infrastruktur militer yang memperluas pengaruhnya di ruang sipil, sementara ruang pengawasan sipil semakin menyempit, berpotensi memperburuk masalah impunitas di tubuh militer. Situasi ini tentu tidak berada dalam ruang yang kosong. Pengembangan organisasi militer itu seharusnya hanya menjadi kelanjutan dari bagaimana Pemerintah membangun orientasi pertahanan, kebijakan postur dan strategi pertahanannya dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Namun, semenjak masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan Republik Indonesia, Prabowo Subianto tidak pernah menyusun Strategic Defence Review dan juga membuat buku putih pertahanan sebagai sebuah cetak biru arah kebijakan pertahanan Indonesia. Hal ini penting, mengingat membangun kekuatan pertahanan tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat dan tergesa untuk menghindari penyimpangan dan subyektivitas tertentu.

Pengembangan struktur dan organisasi ini, khususnya penambahan 6 komando teritorial baru, menunjukkan orientasi pertahanan masih mengacu pada dinamika di dalam negeri (inward looking) dan belum melihat sebuah kebutuhan untuk mengurai dinamika dan perkembangan global (outward looking). Apalagi penambahan struktur Komando teritorial tidak sejalan dengan semangat reformasi TNI dan semangat dalam UU TNI. Penghapusan doktrin dwi fungsi ABRI seharusnya membuat struktur komando teritorial mengalami restrukturisasi atau dikurangi. Sayangnya, kini yang terjadi adalah ditambah bukan dikurangi dan ini adalah sebuah masalah. Apalagi di dalam UU TNI di bagian penjelasan, jelas dikatakan bahwa gelar kekuatan TNI tidak boleh mengikuti dan menduplikasi struktur pemerintah sipil. 

Koalisi masyarakat sipil untuk reformasi sektor keamanan menilai bahwa langkah politik Presiden Prabowo dalam mengembangkan organisasi militer merupakan wujud nyata penguatan corak militer, sekaligus mencerminkan _self-fulfilling prophecy_ sebagaimana telah diprediksi sejak awal pemerintahannya. Koalisi menganalisis bahwa kebijakan ini menimbulkan sejumlah masalah:

*Pertama*, tata kelola organisasi militer semakin bersifat pragmatis dan hanya berorientasi pada kepentingan elite militer. Penambahan struktur dan pengembangan organisasi dilakukan semata-mata untuk mengatasi penumpukan jumlah perwira menengah dan tinggi di tubuh TNI yang berlebih, tanpa mempertimbangkan implikasi dan dampaknya terhadap beban anggaran negara. Kebijakan ini juga tidak dilandasi postur dan strategi pertahanan baru yang ideal serta berorientasi pada nilai-nilai demokrasi. Selain itu, penambahan infrastruktur militer akan membutuhkan perekrutan personel baru yang justru berpotensi semakin memperburuk tata kelola sumber daya manusia di lingkungan militer.

*Kedua*, kebijakan ini akan memicu pembengkakan anggaran pertahanan. Pengembangan organisasi berimplikasi pada meningkatnya beban belanja di sektor pertahanan, sementara selama ini anggaran pertahanan sudah terbebani oleh belanja rutin dan operasional. Akibatnya, pemenuhan kebutuhan prioritas seperti modernisasi alat utama sistem pertahanan (alutsista) dan peningkatan kesejahteraan prajurit menjadi semakin sulit.
*Ketiga*, kebijakan ini memperluas peran militer di ranah non-militer. Pembentukan 100 batalyon teritorial, 20 brigade teritorial pembangunan, serta pengelolaan komponen cadangan akan melemahkan kapasitas institusi sipil dalam tata kelola pemerintahan negara, sekaligus menggerus profesionalisme militer dalam menjalankan tugas utamanya sebagai alat pertahanan negara.

Selain itu, penetapan pengembangan postur baru militer tersebut dilakukan dalam Upacara Gelar Pasukan dan Kehormatan Militer di Pusdiklatpassus, Batujajar, Jawa Barat, pada hari Minggu, 10 Agustus 2025, di mana terdapat persoalan lain yaitu penganugerahan terhadap individu yang kami nilai bermasalah. Presiden Prabowo Subianto memberikan penghargaan kenaikan pangkat kehormatan Letnan Jenderal kepada Mayjen TNI (Purn) Chairawan K. Nusyirwan. Padahal, Chairawan adalah mantan Komandan Grup IV Kopassus pada 1997–1998, yang namanya muncul dalam kesaksian sidang sebagai sosok yang diduga memerintahkan penculikan aktivis pro-demokrasi oleh Tim Mawar, meskipun ia tidak pernah diadili atas tuduhan tersebut.


Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak:

  1. Presiden Prabowo Subianto untuk menghentikan ekspansi struktur komando teritorial yang tidak sejalan dengan semangat reformasi TNI dan UU TNI.
    Pemerintah harus membatalkan penambahan enam komando teritorial baru dan restrukturisasi harus diarahkan pada pengurangan struktur yang menduplikasi organisasi pemerintah sipil. Kebijakan pertahanan harus berbasis pada Strategic Defence Review dan Buku Putih Pertahanan yang disusun secara transparan, partisipatif, dan berorientasi pada kepentingan pertahanan nasional jangka panjang, bukan kepentingan elite militer.
  2. Pemerintah seharusnya memprioritaskan anggaran pertahanan untuk modernisasi alutsista dan kesejahteraan prajurit, bukan pembengkakan struktur birokrasi militer.
    Koalisi mendesak agar seluruh kebijakan pengembangan organisasi militer dianalisis secara ketat dari segi efisiensi anggaran, dengan fokus pada peningkatan kapasitas pertahanan yang profesional dan responsif terhadap ancaman global, bukan pada penyerapan perwira berlebih atau pembentukan unit yang memperluas peran militer di ranah sipil.
  3. Presiden Prabowo Subianto membatalkan pemberian penghargaan kepada individu yang diduga terlibat pelanggaran HAM berat.
    Pemerintah harus memastikan bahwa setiap penganugerahan pangkat kehormatan dilakukan dengan memperhatikan rekam jejak integritas dan kepatuhan terhadap prinsip HAM. Pemberian pangkat kehormatan kepada Chairawan K. Nusyirwan bertentangan dengan komitmen negara terhadap penyelesaian kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis pro-demokrasi 1997–1998, serta berpotensi memperburuk impunitas di tubuh militer.


Jakarta, 10 Agustus 2025


Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan

Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, Centra Initiative, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Public Virtue, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), De Jure.

Narahubung:
1. Ardi Manto (Direktur Imparsial)
2. ⁠Usman Hamid (Direktur Amnesty International Indonesia)
3. ⁠Daniel Awigra (Direktur HRWG)
4. ⁠Dimas Bagus Arya (Koordinator KontraS)
5. ⁠Julius Ibrani (Ketua PBHI)
6. ⁠M. Isnur (Direktur YLBHI)
7. ⁠Al Araf (Ketua Badan Pengurus Centra Initiative)
8. ⁠Bhatara Ibnu Reza (Direktur Eksekutif DeJure)

Writer Profile

KontraS

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan