Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) mengecam sikap negara yang tidak peduli pada kasus pembunuhan racun arsenik terhadap Munir Said Thalib. Mereka membuang waktu selama bertahun-tahun hingga kasus ini berusia 21 tahun pada 7 September ini.
Munir adalah pejuang hak asasi manusia yang berani dan konsisten di Indonesia. Dalam situasi saat ini, sosok Munir diperlukan untuk menyikapi merebaknya unjuk rasa, Agustus lalu, yang menolak kebijakan pro-elite namun berujung tewasnya warga, dari pengemudi ojek daring, mahasiswa, hingga pelajar. Ini mengingatkan kami, sejak kematian Munir pada 7 September 2004, pola kekerasan negara terus berulang, budaya impunitas dipelihara, dan hukum hanya menjadi alat kepentingan penguasa.
KASUM menegaskan, kasus Munir merupakan tindak pidana luar biasa (extra ordinary crimes) atau pelanggaran HAM yang berat (gross violations of human rights) atau bahkan dinilai sebagai kejahatan yang amat serius (the most serious crimes) seperti kejahatan melawan kemanusiaan (crimes against humanity) yang direncanakan melalui operasi rahasia. Petinggi intelijen tak hanya menyalahgunakan badan intelijen, tapi juga maskapai penerbangan milik negara, dengan demikian semakin jelas bahwa peristiwa meninggalnya Munir Said Thalib merupakan suatu peristiwa pelanggaran HAM berat.
KASUM percaya kasus Munir perlu pengusutan tuntas, jujur, dan adil. Kami tidak ragu akan kemampuan negara, tapi langkah-langkah hukum selalu tersendat faktor politik. Misalnya, seperti diberitakan Tempo pada 4 November 2024, elite DPR RI meminta Komnas HAM menunda penetapan kasus Munir sebagai pelanggaran HAM berat yang dianggap dapat memicu “kegaduhan” di 100 hari pertama pemerintahan Prabowo–Gibran.
Setelah 100 hari pertama pemerintahan berlalu, Komnas HAM pun tak memberi kemajuan. Ini adalah upaya sistematis untuk menutupi kasus Munir. Ini artinya intervensi politis elite berhasil melemahkan Komnas HAM. Cara pelemahan seperti ini bukan hal baru. Sedari awal, kebenaran kasus Munir dianggap berbahaya bagi elite.
Masalah utamanya bukan hanya lemahnya kemauan politik. Tapi ada segelintir elite politik yang berperan aktif mengubur dalam-dalam kasus ini. Dan mayoritas elite negara memilih diam, takut dan enggan menyingkap tabir sesungguhnya. Padahal peluang hukum terbuka, baik melalui investigasi baru kepolisian maupun peninjauan kembali kejaksaan.
KASUM telah menyurati Ketua Komnas HAM pada 25 Agustus 2025, guna menanyakan informasi terkait perkembangan proses penyelidikan kasus Munir. Sementara itu, Komnas HAM sendiri telah memberitahukan Jaksa Agung, tapi hingga kini tak ada kemajuan. UU HAM dan Pengadilan HAM mewajibkan Komnas HAM dan Jaksa Agung bekerja jujur dan benar, bukan membeli waktu untuk meredam tekanan politik. Berlarutnya penyelidikan ialah penundaan yang tak wajar (undue delay).
Penyelesaian kasus Munir seharusnya bisa menjadi preseden penting bagi perlindungan pembela HAM. Jika Negara menegakkan keadilan kasus ini, maka akan jadi momentum penghormatan HAM. Sebaliknya, jika dibiarkan berlarut, maka jelas bahwa aktivis bisa diperlakukan sewenang-wenang, dibunuh, dan pelakunya akan tetap bebas.
KASUM mendesak negara untuk segera membuka kembali kasus Munir. KASUM juga mendesak Komnas HAM dan Jaksa Agung untuk bekerja secara objektif dan segera mengumumkan temuannya.
Tanpa keberanian menembus tembok kekuasaan dan kepentingan politik, negara akan terus mengalami krisis legitimasi.
Jakarta, 7 September 2025
Tertanda,
Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM)

KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan