Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dengan tegas mengecam semakin banyaknya mantan anggota Tim Mawar—sebuah unit kecil di dalam Grup IV bentukan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang pada saat itu dibentuk oleh Mayor Jenderal Prabowo Subianto—yang terlibat dalam Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa pada tahun 1997-1998. Fenomena ini memperlihatkan semakin menguatnya para penjahat hak asasi manusia (HAM) di tampuk kekuasaan sekaligus membuktikan betapa suramnya wajah penegakan hak asasi manusia di Indonesia.
Salah satu contoh terbaru adalah pelantikan Nugroho Sulistyo Budi sebagai Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) pada 19 Februari 2025 melalui Keputusan Presiden Nomor 29b Tahun 2025 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Kepala Badan Siber dan Sandi Negara serta Yulius Selvanus yang juga dilantik pada 20 Februari 2025 sebagai Gubernur Sulawesi Utara setelah memenangkan Pemilihan Kepala Daerah 2024.
Kecaman ini tentu bukan tanpa alasan. Pasalnya, baik Nugroho Sulistyo Budi maupun Yulius Selvanus keduanya merupakan anggota dari Tim Mawar. Keterlibatan Tim Mawar, termasuk Nugroho dan Yulius Selvanus, telah dibuktikan melalui hasil penyelidikan pro-yustisia pelanggaran berat HAM yang dilakukan oleh Komisi Nasional (Komnas) HAM, sesuai dengan ketentuan Pasal 18 Undang-undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Keduanya juga telah divonis bersalah untuk kasus tersebut oleh Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta pada 1999 dan dikuatkan oleh Mahkamah Militer Agung pada 2000.
Lebih lanjut, dilantiknya kedua eks-Tim Mawar semakin menambah daftar panjang penjahat yang menjadi pejabat dalam periode pemerintahan kali ini. Meskipun pada periode sebelumnya, Joko Widodo juga telah memberikan karpet merah kepada para penjahat di kursi pemerintahan seperti Yulius Selvanus sebagai Kepala Badan Instalasi Strategis, Dadang Hendra Yudha sebagai Direktur Jenderal Potensi Pertahanan di Kementerian Pertahanan, Nugroho Sulistyo Budi sebagai Staf Ahli Kementerian Pertahanan, hingga Untung Budiharto yang dilantik menjadi Panglima Kodam Jaya pada awal Januari 2022 yang kini menjabat sebagai Komisaris Utama PT. Transjakarta sejak 8 Juni 2023. Hal ini semakin memperjelas betapa panjangnya rantai impunitas yang ditunjukan melalui tren pengangkatan para penjahat HAM ke posisi kekuasaan, yang seharusnya menjadi tempat untuk melindungi hak-hak warga negara, bukan untuk memperpanjang masa kekuasaan mereka.
Meskipun hal ini tak mengherankan karena posisi Presiden Indonesia sekarang pun turut diisi oleh penjahat HAM. Hasil penyelidikan pro-yustisia Komnas HAM menunjukkan bahwa Prabowo Subianto merupakan sosok yang patut dimintai pertanggungjawaban atas Kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa tahun 1997-1998 berdasarkan prinsip tanggung jawab komando karena sebelumnya menjabat sebagai Komandan Jenderal Kopassus dan kemudian sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) ABRI; yang kemudian mengakibatkan 9 orang disiksa, ditahan, diculik lalu dikembalikan dan 13 orang lainnya masih dinyatakan hilang sampai dengan sekarang
Pemerintah kini dipenuhi oleh individu-individu yang terlibat dalam pelanggaran berat HAM, yang semakin memperburuk integritas sistem politik Indonesia. Menurut pedoman Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk Keadilan Transisi, institusi yang terlibat dalam pelanggaran HAM harus direformasi, termasuk dengan mengevaluasi individu pelaku kejahatan HAM di dalamnya, bukan justru diberi jabatan strategis. Pengangkatan para penjahat HAM ke posisi kekuasaan hanya memperburuk kondisi penegakan hukum dan hak asasi manusia yang berujung pada rentetan belenggu impunitas dan tidak terpenuhinya hak para korban lantaran tidak adanya Pengadilan HAM ad Hoc untuk mengadili dan menghukum para pelaku, pengungkapan kebenaran melalui pencarian orang hilang lewat Komisi Orang Hilang, pemberian pemulihan bagi keluarga korban hingga jaminan ketidak berulangan melalui ratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan terhadap Semua Orang dari Tindakan Penghilangan Secara Paksa yang masih tersandera di DPR.
Di sisi lain, banyaknya sosok penjahat HAM yang kini menduduki jabatan strategis pemerintahan menjadi ancaman serius bagi masa depan Indonesia. Pemerintah seharusnya memperkuat komitmen untuk menegakkan keadilan dan memastikan bahwa siapapun yang terlibat dalam pelanggaran HAM harus diproses sesuai hukum. Pengangkatan penjahat HAM ke kursi kekuasaan tidak hanya mencoreng integritas sistem politik Indonesia, tetapi juga memperburuk suasana sosial yang sudah terfragmentasi oleh ketidakadilan.
Kini, Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara semakin mengalami kegelapan. Pemangkasan anggaran untuk layanan publik, penempatan militer pada jabatan sipil, kebijakan Proyek Strategis Nasional, ketiadaan pembayaran tunjangan kinerja bagi dosen Aparatur Sipil Negara, dan program food estate semakin diperparah oleh pengangkatan para penjahat HAM sebagai pejabat. Dua dekade telah berlalu sejak Reformasi, Indonesia justru mengalami kemunduran demokrasi dan mencederai nilai-nilai HAM. Mengangkat penjahat HAM menjadi pejabat menunjukkan negara, sebagai pemangku kewajiban, telah gagal dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM dari warga negaranya, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28I Ayat (4) Undang-undang Dasar 1945.
Jakarta, 21 Februari 2025
Badan Pekerja KontraS
Dimas Bagus Arya Saputra
Narahubung: 081564642001

KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan