Pada hari Kamis, 12 September 2024, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas, yang terdiri dari Keluarga Korban Penghilangan Paksa 1997-1998, KontraS, Imparsial, AMAR, LBH Jakarta, YLBHI, serta sejumlah organisasi dan individu lainnya, menghadiri sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terkait gugatan terhadap Penganugerahan Pangkat Kehormatan Jenderal TNI kepada Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto yang didaftarkan sejak 28 Mei 2024 dengan nomor perkara 186/G/2024/PTUN.JKT. 

Dalam sidang kali ini, Majelis Hakim mendengarkan keterangan dari ahli yang dihadirkan oleh Koalisi yaitu Richo Andi Wibowo, S.H., LL.M., Ph.D. (Akademisi FH UGM) sebagai ahli Hukum Administrasi Negara (HAN). Persidangan ini membuktikan mengenai objek gugatan yang bertentangan dengan peraturan hukum administrasi negara maupun Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).

Dalam persidangan, melalui perspektif hukum administrasi negara, ahli memberikan penjelasan  yang pada intinya pemberian penghargaan kepada seseorang oleh Presiden RI harus melalui verifikasi oleh panitia seleksi yang berwenang. Kami menyoroti pendapat ahli yang juga sejalan dengan argumen yang kami jabarkan pada gugatan kami, bahwa  pemberian pangkat kehormatan kepada Prabowo Subianto memang sejak awal tidak melalui proses verifikasi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan beserta aturan turunannya oleh Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan sebagaimana yang juga dinyatakan dalam Surat Jawaban Permohonan Informasi Kementerian Sekretariat Negara Nomor B-20/S/Humas/HM.00.00/03/2024 mengenai Keputusan Presiden Nomor 13/TNI/2024 tanggal 21 Februari 2024 tentang Penganugerahan Pangkat secara Istimewa Berupa Jenderal TNI Kehormatan.

Ahli menyampaikan penerbitan keputusan yang tidak hati-hati termasuk tidak melalui prosedur verifikasi yang cermat sesuai peraturan perundang-undangan akan berdampak pada lahirnya keputusan yang problematik dan tidak berkepastian hukum. Hal inipun menandakan adanya praktik-praktik impunitas yang terus saja dilanggengkan oleh Negara baik untuk mendapatkan kekuasaan  ataupun sebagai ajang politik balas budi Presiden kepada seorang Prabowo Subianto.

Ahli juga menambahkan apabila tidak melalui prosedur berdasarkan pada hukum, hal tersebut merupakan bentuk Procedural impropriety yang memperlihatkan badan/pejabat publik mengambil keputusan/tindakan gagal dalam mematuhi prosedur yang dipersyaratkan oleh hukum. Kami menilai bahwa pendapat tersebut menguatkan argumentasi penggugat sebagaimana yang sudah didalilkan dalam gugatan. 

Pemberian pangkat kehormatan kepada Prabowo Subianto tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, namun juga mencederai sejumlah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) berupa asas kecermatan dan asas kehati-hatian. Ketidak hati-hatian ini dapat dilihat dari diabaikannya sejumlah rekam jejak yang buruk Prabowo Subianto sebagai seseorang yang terlibat dalam Kasus Pelanggaran berat HAM yakni Penghilangan Orang Secara Paksa 1997/1998. Artinya adanya pemberian  pangkat kehormatan kepada Prabowo Subianto dalam tinjauan hukum administrasi negara tidak hanya bertentangan dengan aspek sesuai dengan hukum maupun AUPB, namun juga bertentangan dengan perlindungan terhadap HAM. 

“Jangan sampai negara memberikan kerugian berlipat pada keluarga ini. Setelah mereka kehilangan anggota keluarga; keadilan dan kejelasan dari negara tidak kunjung datang, lalu malah negara via Keppres yang intinya memberikan privilege terhadap terduga pelanggar HAM”. Ujar dalam keterangannya pada sesi mendengar keterangan ahli HAN dalam agenda sidang pembuktian, kamis, 12 September 2024 oleh Richo Andi Wibowo.

Jakarta, 12 September 2024
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas

Narahubung:
Andi Rezaldy (KontraS)
Fadhil Alfathan (LBH Jakarta)
Airlangga Julio (AMAR Law Firm and Public Interest Law Office) 


Siaran Persidangan #GugatPresiden dapat ditonton lebih lengkap melalui:  https://www.instagram.com/reel/DAFbD3QSuLl/?igsh=MThnaWRpZ3FrbzV1

Tags
Writer Profile

KontraS

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan