Pada 27 Mei 2024, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyelenggarakan acara diskusi publik dengan tema “Seniman & Warga Menilai Pemerintahan Joko Widodo. Kegiatan diskusi publik ini diselenggarakan sebagai salah satu rangkaian acara dari Pameran Seni dengan tema“Dukade” sebagai sebuah perwujudan dalam memperingati momentum MeiLawan 2024. MeiLawan sendiri merupakan sebuah kampanye untuk gerakan menolak lupa terhadap peristiwa kekerasan negara dan pelanggaran d Hak Asasi Manusia yang terjadi bulan Mei. . Terdapat sejumlah peristiwa penting yang harus terus diingat yakni Simpang KKA 1999, pembunuhan Marsinah, tragedi Mei 1998, peristiwa Trisakti 1998, peristiwa Jambo Keupok 2003, Reformasi 1998, dan Pekan Penghilangan Orang secara Paksa. Sementara itu, di penghujung kepemimpinan Presiden Joko Widodo, kita telah sama-sama menyaksikan bagaimana demokrasi dan amanat Reformasi telah dirusak dan dikhianati serta perlahan sejarah peristiwa-peristiwa diputihkan dan disangkal.

Diskusi publik ini menghadirkan tiga orang narasumber, yaitu Dolorosa Sinaga (Seniman), Reza Muharam (Beranda Rakyat Garuda), dan Jane Rosalina (Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS). Secara garis besar, diskusi ini membahas penegakan HAM dalam satu dekade terakhir, yaitu dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo, yang secara khusus juga dilihat dari sudut pandang seni.

Dolorosa Sinaga adalah seorang pematung yang terkenal dengan pembawaan pesan aktivisme dalam karya-karyanya, sekaligus pengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan aktif memfasilitasi ruang diskusi di Beranda Rakyat Garuda (BRG). Dolorosa menilai bahwa pemerintahan Joko Widodo tidak menjadikan HAM sebagai landasan dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Dalam kaitannya dengan seni, Dolorosa menyampaikan bahwa pameran seni “Dukade” ini menjadi refleksi bagi kita semua mengenai langkah ke depan apa yang perlu kita lakukan dalam menyikapi pemerintahan kita selama satu dekade terakhir. “Seni bisa menjadi alat untuk melawan ketidakadilan,” tekan Dolorosa. Ia juga mengingatkan bahwa, sejatinya, seni memiliki muatan politis yang luar biasa.

Reza Muharam aktif di Beranda Rakyat Garuda (BRG), International People’s Tribunal (IPT) 65, dan Agrarian Resource Center (ARC). Reza menilai bahwa terdapat kontradiksi dalam citra Joko Widodo di masa Pemilihan Umum 2014 dengan kebijakan-kebijakan yang ia keluarkan Presiden. Menurutnya, sebelumnya, Joko Widodo cukup memiliki potensi sebab ia berasal dari warga sipil dan bukan produk lama dari rezim Orde Baru. Reza menyampaikan bahwa  ia kecewa dengan pemerintahan Joko Widodo ini. Baginya, dalam mengenang pemerintahan Joko Widodo nantinya, ia tidak akan melihat jalan tol dan Ibukota Negara (IKN). Sebaliknya, ia akan mengingat Presiden Joko Widodo sebagai presiden yang mengorbankan hidup rakyat atas nama pembangunan. “Masa pemerintahan Joko Widodo adalah wajah Orde Baru yang nyata,” ujar Reza. Lebih lanjut, Presiden Joko Widodo, meskipun berasal dari kalangan sipil, adalah presiden yang menyediakan karpet merah bagi Prabowo Subianto, seseorang dengan catatan buruk sebagai produk orde baru.

Jane Rosalina adalah Kepala Divisi Pemantauan Impunitas di KontraS. Jane menyampaikan bahwa banyak keluarga korban yang dibohongi oleh janji Nawacita milik Joko Widodo dalam kampanye Pemilihan Umum 2014. “Meskipun Jokowi berasal dari kalangan sipil, ia lebih buruk dari pemerintahan Orde Baru sebab ia berhasil merangkul jenderal-jenderal Orde Baru ke pemerintahannya,” ujar Jane. Dalam kaitannya dengan bulan Mei ini yang menjadi momentum peringatan 26 Tahun Reformasi pun, tidak ada agenda Reformasi yang dijalankan. Presiden Joko Widodo malah mengawinkan Prabowo Subianto dengan putranya, Gibran Rakabuming Raka, untuk Pemilihan Umum 2024 melalui jalur nepotisme. Terakhir, dalam kaitannya dengan pelanggaran berat HAM, penyelesaian non-yudisial pun dihadirkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai upaya cuci tangan dari dosa karena keengganan mengadili kasus pelanggaran berat HAM secara yudisial.

Secara umum, seluruh narasumber bersepakat bahwa Presiden Joko Widodo telah gagal menegakkan HAM. Alih-alih membawa kemajuan penegakkan HAM sebagai figur yang murni hadir dari kalangan sipil dalam periode pasca Reformasi, ia malah seakan membawa kembali unsur-unsur Orde Baru dalam pelaksanaan pemerintahan dan terlebih semakin memundurkan kehidupan demokrasi substansial di Indonesia yang semakin memperkuat lahirnya bentuk kekerasan baru dan seakan melakukan pengabaian terhadap tanggungjawab penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu.

 

Jakarta, 28 Mei 2024
Badan Pekerja KontraS

Tags
Writer Profile

KontraS

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan

Popular Post

Thumbnail Post

Popular Tags