Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti penunjukkan prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada jabatan sipil serta pemberian tugas dan peran yang berada di luar tugas pokok prajurit TNI yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Pada awal pemerintahan Prabowo Subianto, KontraS telah menyampaikan perihal kecenderungan corak militeristik dalam era Prabowo dengan banyaknya simbol-simbol dan juga seremoni ala militer yang dimunculkan oleh Prabowo Subianto, seperti program retret para menteri, wakil menteri dan utusan khusus Presiden di Lembah Tidar, Magelang, Jawa Tengah, pengangkatan sejumlah perwira aktif baik dalam kabinet pemerintahan hingga institusi publik seperti BUMN, serta wacana pembentukan 100 batalyon infanteri teritorial pembangunan dan wacana untuk penambahan kantor komando daerah militer (Kodam) di sejumlah provinsi. 

Kebijakan pemerintah hari ini yang sangat mengesankan pemusatan corak militer pada tata kelola negara dan pemerintahan merupakan wujud dari pengkhianatan pada amanat reformasi yang tertuang pada TAP MPR VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri. Dalam bagian pertimbangan (konsideran), telah menegaskan bahwa peran sosial politik melalui Dwifungsi ABRI menyebabkan telah terjadinya penyimpangan tugas pokok yang menyebabkan tidak berkembanganya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

Terlebih, secara khusus kebijakan pengisian jabatan sipil oleh tentara aktif yang juga disetujui oleh Pemerintah merupakan bentuk perlawanan terhadap supremasi hukum. Karena ketentuan dalam Undang-undang nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI mengatur soal limitasi pengisian jabatan sipil oleh prajurit TNI. Pada pasal 47 ayat 1, secara eksplisit dijelaskan bahwa penempatan tentara aktif di jabatan sipil tidak diperkenankan kecuali telah masuk masa pensiun atau mengundurkan diri terlebih dahulu. Penunjukkan Mayor Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet adalah bukti nyata pembangkangan terhadap hukum dan cita-cita untuk menuju profesionalisme TNI. Terbaru, Mayor Jenderal TNI, Novi Helmy Prasetya diangkat sebagai Direktur Utama Perum Bulog berdasarkan Keputusan Menteri BUMN Nomor: SK-30/MBU/02/2025 tanggal 7 Februari 2025. 

Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Dimas Bagus Arya menyatakan bahwa “Kecenderungan untuk menabrak aturan hukum terkait dengan penunjukkan perwira aktif untuk mengisi jabatan sipil membuktikan bahwa pemerintahan hari ini mengedepankan corak militeristik untuk menjalankan tata kelola pemerintahan yang tentu tidak kompatibel dengan nilai Demokrasi. Pada era Prabowo, sejauh ini ada 5 kementerian lembaga yang tidak disebut dalam pasal 47 ayat (2) UU TNI yang diisi oleh perwira aktif, meliputi Sekretaris Kabinet, Inspektur Jenderal Kementerian Perhubungan, Inspektur Jenderal Kementerian Pertanian, Badan Penyelenggara Haji, dan Direktur Utama Perum Bulog.”

Hal lainnya yakni wacana pembentukan 100 Batalyon Infanteri Teritorial Pembangunan yang terdiri atas kompi perikanan, kompi peternakan dan kompi pertanian untuk menyukseskan program pemerintah khususnya Program Ketahanan Pangan Nasional. Terbaru, TNI juga dilibatkan dalam sektor lingkungan hidup dengan dalih penertiban kawasan hutan sebagaimana diatur dalam Perpres 5/2025.   Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya menyatakan “pelibatan militer dalam proyek berkaitan dengan pangan harus dikaji ulang karena dapat menciptakan ketimpangan kekuasaan yang berpotensi mengancam hak-hak warga sipil dan memunculkan sejumlah pelanggaran HAM dan kekerasan oleh negara pada warga negara. Sebagai institusi yang memiliki mandat utama di bidang pertahanan dan keamanan, militer tidak dirancang secara khusus untuk melakukan pengelolaan agraria dan pembangunan ekonomi berbasis komunitas. Hal ini berisiko menimbulkan konflik kepentingan serta memperburuk tata kelola proyek tersebut.” 

Lebih lanjut, pihak terkait seperti halnya Panglima TNI dan Menteri Pertahanan seharusnya dapat menjelaskan secara transparan dan akuntabel mengenai urgensi pembentukan Batalyon Infanteri Teritorial Pembangunan serta munculnya wacana pembentukan Kodam baru di sejumlah provinsi. Belum lagi penambahan ini akan berimplikasi pada sektor lainnya, seperti halnya pembebanan anggaran negara. Selain itu, kami juga menyoroti kinerja DPR RI yang justru tidak maksimal. Semestinya DPR RI melalui Komisi I sebagai mitra kerja TNI maupun Kementerian Pertahanan mampu melaksanakan fungsi pengawasan secara objektif, seperti aktif terlibat menekan laju kebijakan re-militerisasi ke ranah sipil yang bertentangan peraturan perundang-undangan. 

KontraS mengecam kecenderungan Pemerintah Republik Indonesia yang memunculkan kembali orientasi militer dalam tata kelola negara. Kegagalan pemerintahan orde baru yang memusatkan kekuasaan di sekitar kekuatan militer, seharusnya menjadi sebuah pelajaran yang bisa mencegah pengulangan. Apabila tidak diawasi, dievaluasi dan ditinjau ulang, Prabowo Subianto bertanggung jawab dalam kapasitasnya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan terhadap regresi reformasi sektor keamanan dan pertahanan, pelanggaran HAM dan krisis demokrasi berkelanjutan. 



Jakarta 11 Februari 2025

Badan Pekerja KontraS

 

Narahubung: +6281232758888

 

Writer Profile

KontraS

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan