4 April 2003 menjadi hari kelam bagi masyarakat Papua, khususnya di Wamena. Tepat pada tanggal ini 22 tahun lalu, tim gabungan TNI/Polri melakukan penyisiran terhadap 25 kampung dan desa guna mencari pelaku atas pembobolan gudang senjata milik Markas Kodim I 1702/Wamena yang turut menewaskan 2 prajurit Kodim.
Atas penyisiran yang dilakukan oleh aparat tersebut mengakibatkan setidaknya 4 orang meninggal dunia, 39 orang mendapatkan tindak penyiksaan, 5 orang menjadi korban penghilangan paksa dan bahkan 1 orang mendapatkan tindak kekerasan seksual. Selanjutnya, Komnas HAM sejatinya telah melakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaran HAM yang terjadi pada tragedi ini. Hingga pada 3 September 2003 Komnas HAM telah menyerahkan berkas hasil penyelidikan pro-justisia tersebut kepada Kejaksaan Agung untuk dapat ditindaklanjuti ke tahap penyidikan, namun sayangnya hingga sampai saat ini laporan tersebut tak kunjung ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung.
Mandeknya proses penegakan hukum tersebut menunjukan buruknya situasi penegakan hak asasi manusia di Indonesia khususnya di Papua. Negara yang seharusnya memiliki tanggungjawab untuk memberikan perlindungan, pemenuhan, dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia nyatanya justru abai akan tanggung jawab tersebut. Pengabaian ini turut menunjukan bahwa Pemerintah tidak memiliki kemauan dan juga keseriusan dalam penegakan hak asasi manusia bagi negara ini. Padahal, penegakan hukum merupakan suatu hal yang sangat penting bagi perlindungan hak asasi manusia itu sendiri untuk mencegah keberulangan peristiwa di masa yang akan datang.
Di lain sisi, Pemerintah justru memilih mengambil jalur pintas untuk menyelesaikan peristiwa ini melalui jalur penyelesaian non-yudisial. Sebagaimana yang diketahui bersama, Jokowi yang ketika itu menjabat sebagai presiden Republik Indonesia telah menetapkan 12 peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, dimana Tragedi Wamena masuk ke dalam daftar tersebut. Namun demikian, kritikan dan penolakan terhadap penyelesaian non-yudisial masif disuarakan, tak terkecuali dari pihak keluarga korban. Bahkan keluarga korban secara tegas menolak penyelesaian melalui jalur non-yudisial dan menuntut agar tragedi ini diselesaikan secara terbuka.1
Terlebih, pemulihan yang diberikan melalui mekanisme ini hanyalah terfokus kepada kompensasi dan juga rehabilitasi semata, sementara pemulihan tersebut dianggap tidak sebanding dengan penderitaan yang selama ini mereka alami. Para korban tentunya menginginkan proses hukum yang transparan dalam penyelesaian tragedi ini. Tuntutan untuk menyelesaikan melalui jalur yudisial menjadi tuntutan utama, karena proses ini diharapkan dapat mengungkap kebenaran serta dapat memberikan hukuman/sanksi yang setimpal bagi para pelaku sehingga dapat memberikan keadilan serta memulihkan hak-hak korban secara komprehensif. Pada akhirnya kegagalan negara dalam menegakan hukum secara akuntabel dan transparan menciptakan budaya impunitas yang semakin kental bagi para pelaku pelanggaran HAM.
Nihilnya penegakan hukum serta langgengnya impunitas menyebabkan keberulangan pelanggaran HAM menjadi suatu keniscayaan. Penting untuk diingat bahwa tragedi Wamena merupakan 1 dari sekian banyaknya peristiwa kekerasan hingga bahkan pelanggaran HAM yang terjadi di tanah Papua. Setidaknya berdasarkan pemantauan yang telah KontraS lakukan medio April 2024 hingga Maret 2025 ini, telah terjadi 66 peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh aparat terhadap masyarakat sipil di Papua yang menyebabkan 29 korban meninggal dunia serta 43 korban mengalami luka-luka. Lebih lanjut, tingginya angka kekerasan yang terjadi di Papua juga tidak dapat dilepaskan oleh paradigma militeristik yang selama ini diterapkan oleh pemerintah terhadap situasi yang terjadi di Papua. Pada periode yang sama, pemerintah telah menerjunkan 5987 personel prajurit untuk “menjaga” stabilitas di Papua. Nyatanya paradigma atau pendekatan yang dilakukan tersebut menjadi faktor utama tingginya angka kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi, lebih lanjut hal ini diperparah oleh adanya sudut pandang rasial yang diterapkan oleh aparat TNI/Polri terhadap masyarakat Papua. Sudut pandang ini pada akhirnya mengesampingkan criminal justice system dalam mekanisme kerja penegakan hukum yang menyebabkan situasi semakin keruh.
Lebih jauh, situasi penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia dirasa semakin berada di titik nadir. Hal ini tercermin oleh kebijakan pertahanan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia, salah satunya melalui pengesahan terhadap Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang belum lama terjadi. Revisi UU TNI ini memungkinkan penempatan personel TNI aktif dalam jabatan sipil yang dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik kepentingan serta penyalahgunaan wewenang. Terlebih penempatan TNI dalam ranah sipil juga dapat meningkatkan potensi terjadinya tindakan represif terhadap masyarakat sipil. Lebih lanjut, penambahan kewenangan ini tidak diimbangi oleh pengawasan yang ketat serta mekanisme peradilan terhadap segala bentuk penyelewengan tugas yang dijalankan. Sehingga pada akhirnya melalui pengesahan UU ini menimbulkan kekhawatiran kembalinya budaya militerisme seperti orde baru pada rezim saat ini yang dimana pastinya hal tersebut sangat mengkhianati amanah reformasi yang memiliki spirit supremasi sipil.
Berdasarkan hal tersebut diatas, KontraS mendesak:
Pertama, Presiden untuk dapat berkomitmen secara serius untuk dapat melaksanakan kewajiban dalam melakukan perlindungan, pemenuhan, serta penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia masyarakat Indonesia serta melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap kebijakan pertahanan di Indonesia khususnya wilayah Papua dan menarik seluruh pasukan TNI/Polri yang telah diterjunkan. Kemudian, mengeluarkan kebijakan untuk segera membatalkan pengesahan atas revisi UU TNI karena dapat menggerus kehidupan Demokrasi Republik Indonesia;
Kedua, Jaksa Agung untuk segera menindaklanjuti laporan hasil penyelidikan pro-justisia Komnas HAM dan segera membentuk Tim Ad Hoc guna penuntasan kasus tragedi Wamena;
Ketiga, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk berperan aktif dan turun langsung ke keluarga korban untuk dapat memberikan akses bantuan medis, psikologis, dan psikososial sebagai hak korban dan keluarga atas pelanggaran HAM berat yang menimpa masyarakat di Wamena.
Jakarta, 5 April 2025
Badan Pekerja KontraS,
Dimas Bagus Arya,
Koordinator
Narahubung: +6289651581587
1 Lihat, 20 Tahun Kasus Pelanggaran HAM Wamena, Sikap Korban Tidak Berubah | Jubi Papua, Artikel 4 April 2023

KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan