Rilis Pers

Pengangkatan Militer Aktif Ex Tim Mawar Sebagai Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Mengangkangi Konstitusi 

Letjen Djaka Budhi Utama, anggota militer aktif ex Tim Mawar yang sebelumnya menduduki jabatan Sekretaris Utama Badan Intelijen Nasional (BIN) menjadi Direktur Jenderal (Dirjen) Bea dan Cukai resmi dilantik pada hari ini, Jumat (23/5). Pengangkatan Djaka Budhi menambah lagi nama-nama anggota ex Tim Mawar yang ditunjuk oleh Presiden Prabowo menjadi pejabat publik. Sebelumnya, Djaka Budhi Utama yang bersama-sama dengan Bimo Wijayanto menghadap ke Presiden pada Selasa (20/5) dan diisukan akan menempati jabatan baru yaitu sebagai Dirjen Bea dan Cukai dan Dirjen Pajak pada Kementerian Keuangan. Secara khusus, perhatian harus difokuskan pada penunjukan Letjen Djaka Budhi Utama yang masih berstatus militer aktif dan sekaligus adalah bekas bawahan Presiden Prabowo pada satuan Korps Pasukan Khusus (Kopassus) serta secara spesifik tergabung dalam Tim Mawar yang divonis bersalah dan dihukum penjara 16 Bulan melalui Putusan Mahkamah Militer Tinggi II No. PUT.25-16/K-AD/MMT-II/IV/1999 dan diperkuat lagi melalui Putusan Mahkamah Militer Agung tertanggal 24 Oktober 2000 telah melakukan penghilangan paksa 23 aktivis pro-demokrasi pada rentang periode 1997-1998 yang mana 13 orang di antaranya masih hilang hingga saat ini. 

Pengangkatan Letjen Djaka Budhi Utama menjadi Dirjen Bea dan Cukai dapat dikritisi secara normatif maupun substantif. Secara normatif, pelantikan dan penunjukan Letjen Djaka Budhi Utama telah mengangkangi Pasal 108 ayat b  Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil yang merumuskan syarat-syarat pengangkatan pejabat kalangan Non-PNS yang akan ditempatkan pada posisi Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Madya yang beberapa syaratnya adalah “memiliki pengalaman Jabatan dalam bidang tugas yang terkait Jabatan yang akan diduduki paling singkat selama 10 tahun”, “Memiliki kualifikasi pendidikan minimal pascasarjana”, dan “tidak pernah dipidana dengan pidana penjara”. Berdasarkan syarat-syarat tersebut, walaupun Letjen Djaka Budhi Utama telah tidak lagi berstatus sebagai militer aktif tapi secara formil telah tidak memenuhi syarat untuk dapat diangkat menjadi JPT Madya atas dasar vonis bersalah pada Mahkamah Militer, belum memiliki kualifikasi pendidikan minimal pascasarjana, dan tidak memiliki pengalaman di bidang Bea dan Cukai selama 10 Tahun ditinjau dari rekam jejaknya yang berkarir di militer.

Selain itu, secara substantif, pengangkatan Letjen Djaka Budhi Utama juga sangat tidak menghormati sistem meritokrasi yang terbangun dalam instansi Kementerian Keuangan khususnya pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Mengingat, dalam lingkup Kementerian Keuangan, terdapat Politeknik Keuangan Negara Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (PKN STAN) yang dibentuk khusus untuk mencetak calon pegawai yang akan mengabdikan diri secara profesional kepada instansi Kementerian Keuangan. Hal ini juga mengindikasikan bahwa tidak berjalannya proses vetting mechanism dengan serius dalam sistem politik dan pemerintahan di Indonesia untuk memeriksa rekam jejak seorang calon pejabat yang akan menduduki jabatan-jabatan publik yang juga merupakan elemen kunci dari reformasi sektor keamanan yang efektif, tapi tidak pernah berjalan di Indonesia sejak Indonesia bertransisi dari kepemimpinan otoriter ke demokrasi dan supremasi sipil pada 1998. Lebih jauh lagi, apabila ditinjau secara konstitusional melalui Pasal 28D ayat (1), bentuk-bentuk penunjukan pejabat yang mengabaikan merit system dan vetting mechanism juga melanggar hak konstitusional dari para pegawai yang berada di instansi tersebut karena tidak memberikan pengakuan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Padahal, tren masyarakat internasional melalui prinsip-prinsip dalam hukum internasional yang salah satunya adalah Updated Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights Through Action to Combat Impunity pada Februari 2005 (Rangkaian Prinsip yang Diperbarui untuk Perlindungan dan Promosi HAM Melalui Tindakan Memerangi Impunitas) dalam Prinsip 36 menyebutkan bahwa “Public officials and employees who are personally responsible for gross violations of human rights, in particular those involved in military, security, police, intelligence and judicial sectors, shall not continue to serve in State institutions.” (Pejabat dan pegawai publik yang secara pribadi bertanggung jawab atas pelanggaran berat HAM, khususnya yang terlibat di bidang militer, keamanan, polisi, intelijen, dan peradilan, tidak boleh terus bertugas di lembaga negara).

Kami juga mengecam semakin banyaknya mantan anggota Tim Mawar—sebuah unit kecil di dalam Grup IV bentukan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang pada saat itu dibentuk oleh Mayor Jenderal Prabowo Subianto—yang terlibat dalam Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa pada tahun 1997-1998 di tampuk kekuasan. Seperti Nugroho Sulistyo Budi yang dilantik sebagai Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) pada 19 Februari 2025 melalui Keputusan Presiden Nomor 29b Tahun 2025 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Kepala Badan Siber dan Sandi Negara, serta Yulius Selvanus yang juga dilantik pada 20 Februari 2025 sebagai Gubernur Sulawesi Utara setelah memenangkan Pemilihan Kepala Daerah 2024. Fenomena ini memperlihatkan semakin menguatnya para penjahat hak asasi manusia (HAM) di tampuk kekuasaan sekaligus membuktikan betapa suramnya wajah penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Di sisi lain, banyaknya sosok penjahat HAM yang kini menduduki jabatan strategis pemerintahan menjadi ancaman serius bagi masa depan Indonesia. Pemerintah seharusnya memperkuat komitmen untuk menegakkan keadilan dan memastikan bahwa siapapun yang terlibat dalam pelanggaran HAM harus diproses sesuai hukum.

Jakarta, 23 Mei 2025
Badan Pekerja KontraS

Dimas Bagus Arya
Koordinator

Narahubung: 082175794518

 

Writer Profile

KontraS

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan