Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas yang terdiri dari sejumlah organisasi masyarakat sipil  dan individu, dalam pernyataan bersama ini mengecam keras pernyataan yang disampaikan oleh Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, terkait Peristiwa Mei 1998. Dalam video wawancara “Real Talk: Debat Panas!! Fadli Zon 

vs Uni Lubis Soal Revisi Buku Sejarah” yang tayang di kanal YouTube IDN Times pada 10 Juni 2025, Fadli Zon menyampaikan dua pernyataan yang sangat bermasalah. Pertama, ia menyatakan bahwa tidak terdapat bukti kekerasan terhadap perempuan, termasuk perkosaan massal, dalam peristiwa tersebut. Kedua, ia mengklaim bahwa informasi tersebut hanyalah rumor dan tidak pernah dicatat dalam buku sejarah. 

Kami menilai pernyataan tersebut merupakan bentuk manipulasi, pengaburan sejarah, serta pelecehan terhadap upaya pengungkapan kebenaran atas tragedi kemanusiaan yang terjadi, khususnya kekerasan terhadap perempuan dalam peristiwa Mei 1998. Hal tersebut sejalan dengan proyek penulisan ulang sejarah yang tengah dipimpin oleh Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan yang tampaknya menyingkirkan narasi penting tentang pelanggaran berat HAM dari ruang publik. Pernyataan Fadli Zon menunjukan sikap nirempati terhadap korban dan seluruh perempuan yang berjuang bersama korban. Ia telah gagal dalam memahami kekhususan dari kekerasan seksual dibandingkan dengan bentuk-bentuk kekerasan lainnya, terlebih lagi ada  kecenderungan untuk secara sengaja menyasar pihak yang dijadikan korban, yaitu perempuan Tionghoa. 

Pernyataan Fadli Zon merupakan upaya untuk mendiskreditkan kerja Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang telah melakukan pendokumentasian dan penyelidikan atas peristiwa Mei 1998, dengan kekerasan seksual sebagai bagian dari peristiwa tersebut. TGPF sendiri dibentuk oleh Presiden BJ Habibie pada bulan Juli 1998 yang terdiri dari berbagai unsur yang berasal dari pemerintah, Komnas HAM, LSM, dan organisasi kemasyarakatan lainnya untuk menyelidiki peristiwa Mei 1998, termasuk laporan tentang kekerasan seksual yang mencuatkan fakta mengejutkan. TGPF bertugas mengungkap fakta, pelaku dan latar belakang peristiwa Mei 1998 serta mencari jejak-jejak peristiwa dan hubungan antar subjek di setiap lokasi. Dari proses pengumpulan data dan bukti kurang lebih selama tiga bulan, TGPF merilis Laporan Akhir pada 23 Oktober 1998. 

Laporan akhir TGPF mencatat adanya tindak kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya, Medan dan Surabaya. Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang ditemukan dalam Peristiwa Mei 1998, dibagi dalam beberapa kategori yaitu: perkosaan, perkosaan dan penganiayaan, penyerangan seksual/penganiayaan dan pelecehan seksual yang terjadi di dalam rumah, di jalan, dan di depan tempat usaha. Terdapat 52 korban perkosaan, 14 korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 korban penyerangan/penganiayaan seksual, dan 9 korban pelecehan seksual yang diperoleh dari sejumlah bukti baik keterangan korban, keluarga korban, saksi mata, saksi lainnya (perawat, psikiater, psikolog, pendamping, rohaniawan), hingga keterangan dokter. TGPF juga menemukan korban-korban kekerasan seksual yang terjadi sebelum dan setelah Peristiwa Mei 1998. Dalam kunjungan ke daerah Medan, TGPF juga mendapatkan laporan tentang ratusan korban pelecehan seksual yang terjadi pada tanggal 4–8 Mei 1998. Setelah Peristiwa Mei tersebut, juga diikuti dengan 2 (dua) kasus terjadi di Jakarta tanggal 2 Juli 1998 dan 2 (dua) kasus terjadi di Solo pada tanggal 8 Juli 1998. 

TGPF juga menemukan bahwa sebagian besar kasus perkosaan adalah gang rape, yang mana korban diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian pada waktu yang sama. Kebanyakan kasus perkosaan juga dilakukan di hadapan orang lain. Pelapor Khusus Komnas Perempuan Tentang Kekerasan Seksual Mei 1998 dan Dampaknya pun menemukan bahwa ada kesengajaan untuk menyasar perempuan beretnis Tionghoa, yang pada saat itu dikonstruksikan sebagai kambing hitam akibat krisis moneter di Indonesia. Kesengajaan ini tampak dari adanya kesaksian salah satu perempuan yang tidak jadi diperkosa karena ibunya yang ‘pribumi’ berhasil meyakinkan para pelaku bahwa ia adalah anaknya.

Meskipun temuan ini telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung untuk proses hukum lebih lanjut, hingga kini tidak ada penyelesaian hukum yang memadai di tingkat penyidikan hingga proses pengadilan. Namun fakta memilukannya adalah hingga saat ini kasus tersebut tidak pernah tuntas. Tidak pernah ada pengungkapan kebenaran, kepastian bahkan keadilan baik dalam peristiwa ini maupun terhadap korban dan keluarga korban Peristiwa Mei 1998 yang sudah berpuluh tahun memperjuangkan haknya yang sudah barang tentu menjadi kewajiban Negara untuk memenuhinya. Hal ini tidak hanya melanggar hak setiap warga negara untuk hidup aman dan bermartabat, tetapi juga menciptakan trauma berkepanjangan serta iklim ketakutan yang mendalam di masyarakat. 

Pernyataan Fadli Zon yang menegasikan kekerasan seksual Mei 1998 berarti menghapus sejarah berdirinya Komnas Perempuan, yang dibentuk melalui Keppres No. 181/1998 sebagai respons atas tragedi tersebut. Komnas Perempuan adalah anak kandung reformasi—penyangkalan terhadap kekerasan itu sama saja dengan mengingkari semangat reformasi. Bahkan, memori kolektif atas tragedi ini telah diabadikan lewat Memorial Mei 1998 di Pondok Rangon, yang diresmikan pada tahun 2015 oleh Komnas Perempuan dan Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama. Menghapus fakta sejarah ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap korban dan perjuangan mereka.

Pernyataan Fadli Zon mencerminkan upaya sistematis untuk menghapus jejak pelanggaran HAM di masa Orde Baru, dengan cara meniadakan narasi tentang peristiwa kekerasan seksual Mei 1998 dan pelanggaran berat HAM lainnya dari buku-buku sejarah yang sedang direvisi. Tindakan ini pun merupakan kemunduran negara dalam menjamin perlindungan kepada perempuan dan justru semakin memperkuat citra maskulinitas negara. Ironisnya, alih-alih mempertanyakan absennya cerita tentang kekerasan Mei 1998 dalam buku sejarah, Fadli Zon sebagai Menteri seharusnya memastikan bahwa kasus-kasus ini dimuat secara jujur dan adil, serta berpihak pada suara korban. Pengosongan narasi ini justru memperdalam ketidakadilan dan pengabaian terhadap hak-hak korban.

Kami memandang tindakan ini juga merupakan upaya memutus ingatan kolektif dan mengkhianati perjuangan para korban untuk memperoleh pengakuan, keadilan, kebenaran dan pemulihan. Jika Fadli Zon menginginkan sejarah yang ditulis sebagai pemersatu bangsa, maka keberanian menghadapi kenyataan bahwa sejarah Indonesia tidak terlepas dari luka para korban dan keluarga korban. Pelanggaran berat HAM adalah bentuk komitmen dalam membentuk sejarah yang mempersatukan Bangsa sebagai bagian tidak terpisahkan dalam sejarah Indonesia sekaligus menjadi pembelajaran generasi yang akan datang. 

Kami memandang bahwa Indonesia tidak bisa terus-menerus dikelola dengan cara-cara yang menulifikasi bukti-bukti yang dikumpulkan secara ilmiah, yang lepas dari konflik kepentingan. Berbagai kajian dan teks akademis telah dilakukan oleh peneliti dari dalam dan luar negeri yang membuktikan bahwa kejadian pemerkosaan atas dasar sentimen etnis ini sungguh dan benar terjadi. Kepentingan penguasa tidak dapat didirikan di atas fondasi rapuh dengan menutup mata atas fakta sejarah. Jika hal ini tidak disikapi dan dicegah, generasi mendatang akan enggan untuk berdiri di atas bahu ilmu untuk membawa Indonesia kepada kemajuan sebagai bangsa besar.

Lebih jauh lagi, kekhawatiran kami semakin meningkat dengan ditunjuknya Fadli Zon sebagai Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK). Dewan ini memiliki mandat penting dalam memberikan pertimbangan kepada Presiden terkait tokoh-tokoh yang akan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Kombinasi peran sebagai Menteri Kebudayaan yang tengah merevisi sejarah dan sebagai Ketua GTK, menjadi indikasi kuat adanya agenda besar untuk mengubah arah narasi sejarah nasional, termasuk kemungkinan mendorong rehabilitasi politik terhadap figur-figur bermasalah dari masa Orde Baru. 

Salah satu indikasi nyata adalah menguatnya kembali wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, tokoh sentral rezim Orde Baru yang bertanggung jawab atas berbagai pelanggaran HAM, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan selama puluhan tahun. Fadli Zon secara terbuka pernah menyatakan bahwa Soeharto layak mendapat gelar pahlawan. Ini jelas bertolak belakang dengan fakta sejarah dan menyinggung rasa keadilan para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di masa lalu.

Maka dari itu, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas menuntut:

  1. Mengecam dan menolak keras pernyataan Fadli Zon yang menyangkal adanya kekerasan seksual dalam Peristiwa Mei 1998 serta menyebutnya sebagai rumor. Pernyataan ini mencederai upaya pengungkapan kebenaran dan keadilan bagi korban serta berpotensi melanggengkan budaya impunitas.

  2. Menuntut Fadli Zon untuk mencabut pernyataannya secara terbuka, memberikan klarifikasi, dan menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada korban dan keluarga korban pelanggaran berat HAM, khususnya kekerasan seksual dalam Peristiwa Mei 1998 dan seluruh perempuan Indonesia yang berjuang membersamai korban untuk menegakkan keadilan.

  3. Mendesak pembatalan pengangkatan Fadli Zon sebagai Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) karena jabatan tersebut berpotensi digunakan untuk merevisi sejarah secara sepihak dan menyesatkan.

  4. Menuntut agar Kementerian Kebudayaan menghentikan proyek penulisan “sejarah resmi” Indonesia karena berpotensi mengaburkan fakta sejarah, khususnya kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu, dan dikhawatirkan penulisan sejarah resmi itu hanya menjadi proyek politik sesaat.

  5. Mendorong hadirnya ruang partisipatif dan inklusif dalam penulisan sejarah nasional, di mana suara korban kekerasan seksual Mei 1998 dan pelanggaran berat HAM lainnya menjadi bagian sentral dalam membangun memori kolektif bangsa yang adil dan bermartabat.

  6. Menegaskan pentingnya menjaga hasil kerja Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), Komnas HAM, dan Komnas Perempuan sebagai bagian dari upaya pengungkapan kebenaran dan pencatatan sejarah pelanggaran HAM berat.

  7. Mendesak Jaksa Agung segera menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM terkait kasus-kasus pelanggaran berat HAM, dengan membentuk Tim Penyidik ad hoc sesuai mandat Pasal 21 ayat (3) UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.

  8. Menolak segala bentuk upaya rehabilitasi politik terhadap figur-figur bermasalah dari rezim Orde Baru, termasuk wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.

  9. Mendesak negara untuk menjamin pemulihan, pengakuan, pengungkapan kebenaran dan keadilan bagi para korban dan keluarga korban, serta menjadikan sejarah kekerasan Mei 1998 maupun pelanggaran HAM berat lainnya sebagai bagian dari ingatan kolektif bangsa.

  10. Menyerukan kepada seluruh masyarakat sipil, akademisi, media, dan komunitas korban untuk terus mengawal narasi sejarah bangsa agar tidak jatuh ke dalam revisi yang menyesatkan dan ahistoris.

12 Juni 2025 

Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas

 

Rilis selengkapnya dapat diakses di sini

Writer Profile

KontraS

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan