Rilis Pers
Aksi Rakyat Pati: Pengamanan Eksesif Masih Terus Terjadi, Segera Reformasi Total Institusi Polri
(Dok: Tribun Jateng)
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam seluruh tindakan kekerasan dan eksesif yang dilakukan oleh aparat Kepolisian terhadap masyarakat sipil yang melakukan aksi menyatakan pendapat secara damai untuk menolak sejumlah kebijakan kontroversial yang dikeluarkan oleh Bupati Pati, Sudewo. Kekerasan yang terus berulang menunjukan bahwa institusi Polri menjalankan kewajibannya secara serampangan dan sewenang-wenang, minimnya pengawasan hingga evaluasi terhadap institusi ini, serta melanggengkan praktik impunitas. Sudah saatnya, institusi Polri direformasi secara keseluruhan.
Berdasarkan informasi yang telah kami kumpulkan, aksi yang dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Pati Bersatu memiliki beberapa landasan, di antaranya seperti: 1.) Kebijakan menaikkan Tarif PBB-P2 hingga 250 Persen, 2.) Mengubah ketentuan enam hari sekolah menjadi lima hari, 3.) Menyita barang donasi untuk aksi, hingga 4.) Menantang puluhan ribu warga untuk melakukan aksi demonstrasi. Aksi massa pun kemudian berlangsung di Kantor Bupati Pati, Jalan Tombronegoro, Kaborongan, Kecamatan Pati pada Rabu, 13 Agustus 2025. Dalam pelaksanaan aksi menyatakan pendapat tersebut, sebanyak 2.781 personel aparat keamanan yang terdiri dari personel gabungan polisi dari Polres dan Polda, TNI dan stakeholder lainnya untuk mengamankan aksi massa yang berlangsung.
Massa aksi yang tidak kunjung ditemui oleh perwakilan dari Pemerintahan Kabupaten pun merasa kecewa hingga terdorong untuk masuk dan mendorong gerbang kantor Bupati. Sayangnya, hal tersebut direspons dengan tembakan water cannon dan Gas Air Mata (GAM) – yang mana di antaranya sudah banyak yang kedulawarsa. Tidak hanya ditembakkan di lokasi aksi, namun GAM juga turut ditembakkan ke arah Masjid Agung Baitunnur dan pemukiman rumah warga. Tercatat setidaknya terdapat dua puluh tujuh (27) massa aksi yang terluka dan dilarikan ke rumah sakit (RS) terdekat dan dua puluh dua (22) massa aksi yang ditangkap secara sewenang-wenang.
Atas peristiwa tersebut, KontraS menilai bahwa Kepolisian telah menggunakan kekuatan secara berlebihan (excessive use of force). Kepolisian tidak boleh langsung membubarkan massa aksi tanpa alasan yang jelas dengan GAM karena penggunaan kekuatan Kepolisian harus disesuaikan dengan tingkat dan eskalasi ancaman. Hal tersebut sebagaimana telah diatur di dalam Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa (Perkap 16/2006) jo. Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan (Perkap 1/2009) yang menyatakan bahwa tindakan yang dapat dilakukan kepolisian dapat berupa kekuatan yang memiliki dampak pencegahan, perintah lisan, kendali tangan kosong lunak, kendali tangan kosong keras hingga kendali senjata tumpul dan harus memperhatikan asas legalitas, proporsionalitas dan asas nesesitas. Secara bertahap upaya-upaya tersebut semestinya dilakukan secara maksimal dalam mengurai gangguan keamanan yang terjadi.
Lebih lanjut, penggunaan GAM juga diatur di dalam Prosedur Tetap RI No. 1/X/2010 tentang Penanggulangan Anarki yang mengatur bahwa penggunaan GAM harus digunakan sesuai dengan standar Kepolisian. Hal tersebut menegaskan bahwa penggunaan GAM yang sudah kedulawarsa tidak termasuk ke dalam standar penggunaan. Sayangnya, belum terdapat mekanisme penghukuman lebih lanjut kepada pelaku penggunaan kekuatan yang berlebih dan GAM yang telah kedulawarsa. Absennya pemidanaan (impunitas) terhadap pelaku penembakan GAM serta tidak adanya upaya reformasi institusi Kepolisian berbasis HAM secara menyeluruh menjadi akar dari langgengnya praktik kekerasan, serta praktik excessive use of force.
Penangkapan yang dilakukan terhadap 22 orang massa aksi juga secara jelas telah melanggar Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM (Perkap 8/2009). Dalam Perkap ini, utamanya di dalam Pasal 11 disebutkan bahwa setiap anggota Polri dilarang melakukan penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang serta menggunakan kekerasan yang berlebihan.
Selain itu, penangkapan secara sewenang-wenang ini jelas melanggar hak setiap orang untuk bebas dari penangkapan sewenang-wenang, tidak disiksa ketika ditangkap, mendapatkan bantuan hukum, hak untuk diberitahukan penangkapan bertemu dengan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU 39/1999), Pasal 9 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), serta Pasal 60, 61 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Atas hal tersebut di atas, kami menilai bahwa peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh anggota Polri terhadap rakyat Pati yang melakukan aksi menyatakan pendapat di muka umum secara damai merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Anggota Polri yang terlibat dalam kekerasan maupun menembakkan gas air mata secara serampangan ke masjid dan rumah warga harus dipertanggungjawabkan secara pidana dan etik.” Tegas Dimas Bagus Arya selaku Koordinator KontraS.
Atas dasar tersebut, KontraS mendesak:
-
Kepolisian RI untuk berhenti menggunakan pendekatan keamanan yang represif dan eksesif dalam pengamanan aksi penyampaian pendapat di muka umum;
-
Kepolisian RI harus menghukum para anggota yang terlibat dalam melakukan kekerasan dan penangkapan sewenang-wenang, serta melakukan proses hukum melalui kewenangan penyidikan dan penyelidikan untuk dipertanggungjawabkan secara pidana;
-
Lembaga Negara, seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), serta Kompolnas untuk berperan lebih aktif dalam menjalankan fungsi serta kewenangannya atas peristiwa ini.
Jakarta, 15 Agustus 2025
Koordinator KontraS
Dimas Bagus Arya
Narahubung: 0895348175043

KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan