Semarak HUT Bhayangkara Ke-79 yang diselenggarakan di seluruh wilayah di Indonesia dengan mengusung tema “Polri untuk Masyarakat” semakin menegaskan bahwa belum ada perubahan yang struktural dan sistematis dalam tubuh institusi Polri. Hal tersebut dibuktikan dengan kontradiksi situasi yang dihadapi masyarakat yang merupakan korban tindak kekerasan Polri dalam rentetan bentuk. “Polri untuk Masyarakat” tinggal slogan belaka dalam situasi saat ini, penyiksaan, penganiayaan, penembakan, penangkapan sewenang-wenang, bahkan extra judicial killing tiap tahunnya selalu terjadi dan pada akhirnya masyarakat yang menjadi korban dari kultur kekerasan yang mengakar di tubuh Polri.

Data Pemantauan KontraS terhadap Polri menunjukkan bahwa dalam periode Juli 2024 - Juni 2025 didapati bahwa telah terjadi 602 peristiwa kekerasan oleh anggota Polri. Penembakan, merupakan peristiwa yang menempati urutan pertama yang paling banyak terjadi sampai 411 peristiwa yang di dalam satu peristiwa tidak menutup kemungkinan terdapat dua atau lebih korban penembakan yang berakibat luka serius bahkan hingga berujung pada korban jiwa dari “timah panas” polisi. 

Tindak kekerasan oleh anggota Polri juga merentang dari Aceh hingga Papua dengan Provinsi Sumatera Utara menjadi locus tindak kekerasan terbanyak oleh Polri hingga mencapai 127 peristiwa. Kekerasan oleh Polri juga terjadi di pelbagai tingkatan Satuan Kerja Wilayah (Satkerwil) yakni pada tingkatan di Polda terdapat 82 peristiwa, tingkatan Polres 389 peristiwa, dan Polsek 131 peristiwa. Hal tersebut mengindikasikan bahwa tidak banyak perbedaan secara paradigmatis terhadap polisi yang ditempatkan di tingkat bawah maupun tingkat tinggi.

Peristiwa kekerasan Polri lainnya yang menjadi catatan serius KontraS yaitu peristiwa penangkapan sewenang-wenang (arbitrary arrest) dan pembubaran paksa aksi unjuk rasa (unlawful dispersal) yang marak terjadi di hampir seluruh unjuk rasa yang membawa narasi penolakan terhadap kebijakan negara yang tidak pro-rakyat. Temuan KontraS mencatat bahwa sepanjang periode pemantauan terdapat 42 pembubaran paksa dan 46 penangkapan sewenang-wenang, dari total 89 peristiwa kekerasan terhadap kebebasan sipil terdapat lebih dari 800 orang yang ditangkap dan setengahnya menjadi korban kekerasan hingga mendapat luka ringan hingga berat.

Selain itu berdasarkan data YLBHI-LBH, sepanjang tahun 2019 – mei 2024 setidaknya terdapat 95 kasus kriminalisasi yang menjerat ratusan korban dari latar belakang petani, buruh, akademisi, jurnalis, hingga mahasiswa. Di tahun 2022-2023 ylbhi-lbh mencatat terdapat 46 kasus penyiksaan dengan jumlah korban sebanyak 294 orang. Sepanjang tahun 2019 – 2024, ylbhi mendata sekitar 35 peristiwa penembakan aparat kepolisian dengan jumlah korban tewas 94 orang. Sektor kasusnya membentang dari konflik kemanusiaan berkepanjangan di papua, kasus narkotika, oposisi politik/kebijakan, hingga agraria. Polisi sering menggunakan upaya pembenaran untuk melakukan penembakan di tempat yang mengakibatkan kematian. Mulai dari melawan aparat dalam konteks penggerebekan bandar narkotika, hingga ‘di bawah pengaruh alkohol untuk kasus-kasus di papua.

Kekerasan yang telah menjadi kultur di Polri beresonansi dengan gerakan sipil dalam merespon kebijakan yang berujung pada kekeliruan dari Polri dalam penerapan Perkap No. 16 Tahun 2006 tentang Pengendalian Massa. Penggunaan kekerasan dalam tindakan anggota Polri juga bertentangan dengan Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi HAM dalam Penyelenggaran Tugas Kepolisian karena bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM serta prinsip proporsionalitas, prinsip necesitas, prinsip kehati-hatian, dan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent).

Kondisi serupa juga terjadi di Bandung yang selama ini dikenal sebagai episentrum gerakan masyarakat sipil, namun menjadi ladang subur bagi kekerasan aparat. Ruang demokrasi direpresi secara sistematis, dan warga yang menyuarakan protes terhadap kebijakan negara maupun ketidakadilan struktural kerap berhadapan dengan pembungkaman, penangkapan paksa, dan kriminalisasi

Hari Bhayangkara seharusnya menjadi momentum untuk merefleksikan peran Polri sebagai pengayom rakyat, bukan alat kekuasaan. Sayangnya, tahun ke tahun kita masih menyaksikan wajah aparat yang lebih cepat mengangkat senjata melakukan tindakan represif dan kriminalisasi dengan lebih cekatan membela investasi daripada melindungi hak hidup petani, nelayan, masyarakat adat,  buruh dan masyarakat sipil.

Ketika laporan pelanggaran kerap mandek, ketika pengaduan publik dibalas intimidasi, dan ketika suara-suara kritis dibungkam alih-alih didengar, kita patut bertanya: untuk siapa sebenarnya polisi bekerja?

Dalam beberapa tahun terakhir, pola-pola pelanggaran hak sipil dan politik semakin tampak sistematis dan brutal, menyasar siapapun yang dianggap mengganggu stabilitas kekuasaan.

Pada 23 Agustus 2024, massa aksi turun ke jalan untuk menolak RUU Pilkada yang dinilai menganulir putusan Mahkamah Konstitusi. Aksi ini berakhir dengan penangkapan sewenang-wenang terhadap sejumlah individu yang terlibat dalam aksi massa yang berlangsung di depan Gedung DPRD Jawa Barat. Mereka ditahan tanpa dasar yang jelas, dipaksa menandatangani surat pernyataan, dan diwajibkan dijemput keluarga sebagai syarat dibebaskan. Sejumlah massa aksi mengalami kekerasan fisik seperti pemukulan, pengeroyokan, serta perampasan dan pengrusakan barang pribadi. Pendampingan hukum sulit untuk dilakukan karena kepolisian berdalih massa aksi hanya diamankan.

Kekerasan serupa kembali terjadi pada aksi penolakan RUU TNI, aksi ini berlangsung pada 20 dan 21 Maret 2025. Aksi ini merupakan respons terhadap disahkannya undang-undang yang memperluas peran militer di ranah sipil. Di Bandung, aparat kepolisian dan TNI bertindak brutal. Aparat tak berseragam hingga ormas dikerahkan untuk membubarkan aksi. Tak kurang dari 25 orang mengalami luka-luka. Empat anak sekolah yang tidak terkait aksi pun ikut menjadi korban salah tangkap. Mereka dipukuli, digigit, ditelanjangi, bahkan barang-barang pribadi mereka seperti laptop dan ponsel dirampas. Selain represifitas fisik, kanal hotline YLBHI-LBH Bandung pun mengalami upaya peretasan, seperti percobaan pendaftaran pada berbagai aplikasi pinjaman online dan aplikasi berlangganan hingga spam chat. Pasca aksi pun MSA dan MTH diburu sebulan pasca-aksi dengan penangkapan yang tidak sesuai Prosedur. Penggunaan gas air mata, pentungan rotan, dan penangkapan sewenang-wenang terhadap massa aksi termasuk mahasiswa, pelajar, dan masyarakat sipil lainnya menunjukkan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia, khususnya hak untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat yang dijamin oleh Pasal 28E UUD 1945 dan instrumen HAM internasional seperti Kovenan ICCPR. Yang lebih memprihatinkan, tindakan represif ini tidak hanya terjadi sebagai ekses spontan, tetapi tampak terstruktur, dengan pola serupa di Bandung, Cirebon, dan Sukabumi pembubaran paksa, kekerasan fisik, dan upaya penghapusan bukti melalui intimidasi. 

Pada 21 April 2025, bertepatan dengan peringatan Hari Kartini, insiden kekerasan terhadap perempuan justru terjadi di Sukahaji, Bandung. Sejumlah ibu-ibu yang mempertahankan ruang hidup mereka menjadi korban pemukulan oleh anggota ormas ketika mencoba menghentikan proses pemagaran tanah di sekitar tempat tinggal mereka. Salah satu ibu terekam jelas dalam video saat menerima pukulan di depan umum, sebuah tindakan yang tidak hanya melanggar hukum, tapi juga mencoreng semangat emansipasi yang seharusnya diperingati hari itu. Meskipun bukti kekerasan terekam dan telah dilaporkan kepada pihak kepolisian, hingga hari ini belum ada langkah tegas dari aparat penegak hukum. Pelaku belum ditangkap, proses hukum tidak berjalan, dan rasa keadilan bagi para korban dibiarkan menggantung. Ketika aparat diam di hadapan kekerasan yang terang-benderang, pesan yang tersampaikan kepada publik pun jelas: bahwa perlindungan hukum bisa menjadi ilusi, terutama bagi rakyat kecil yang memperjuangkan hak atas tanah dan tempat tinggalnya.

Secara luas, korban kekerasan berbasis gender harus menghadapi perjuangan yang berlapis ketika melaporkannya ke kepolisian. Mei 2025, Fia (bukan nama sebenarnya) memutuskan berhenti memperjuangkan kasus kekerasan seksual yang menimpanya. Dua tahun sebelumnya, ia melapor ke Polrestabes Bandung setelah menjadi korban perekaman tanpa izin di toilet umum. Pelaku tertangkap tangan, bukti lengkap, tapi kasus tak pernah naik ke penyidikan. Permintaan informasi berkali-kali diabaikan. Saat ada kabar perkembangan, Fia sudah kehabisan harapan. Fia bukan satu-satunya. Ada korban perkosaan lain yang sudah lebih dari satu semester menanti kabar penyelidikan. Ada pula perempuan korban KDRT yang datang ke YLBHI-LBH Bandung dalam kondisi trauma: “Kak, tolong saya. Saya dipukuli suami, utang pinjol atas nama saya, dia juga selingkuh. Saya sudah lapor polisi, tapi seharian saya hanya diabaikan, bahkan diceramahi untuk taat pada suami,” ujarnya sambil terisak.Kisah-kisah ini hanyalah secuil dari banyaknya perjuangan korban kekerasan berbasis gender yang kandas di hadapan institusi penegak hukum. Di luar sana, mungkin ada lebih banyak tangisan yang tak terdengar, laporan yang diabaikan, dan keadilan yang tak pernah datang, semata karena acuhnya aparat yang seharusnya menjadi pintu pertama perlindungan.

Aksi May Day di Bandung diwarnai dengan kekerasan aparat yang menunjukkan wajah buruk institusi kepolisian yang represif. Dengan dalih pengamanan, Polda Jawa Barat melakukan penangkapan sewenang-wenang terhadap peserta aksi. Ada yang ditangkap saat aksi berlangsung, sebagian lagi diburu secara bertahap beberapa hari setelahnya. Menurut laporan advokasi dan kesaksian keluarga korban, beberapa peserta aksi dijemput paksa di rumah, dibuntuti usai orientasi kampus, bahkan ditangkap tiba-tiba di jalan dengan dugaan tanpa surat perintah resmi. Hingga lima orang peserta aksi telah ditetapkan sebagai tersangka MAA (26) dijerat Pasal 2 ayat (1) UU Darurat No. 12 Tahun 1951 karena membawa pisau lipat dan baton stick, dengan ancaman 10 tahun penjara. AR (23), TZH (21), dan FE (20) dijerat dengan Pasal 170 dan 406 KUHP karena dituduh melakukan pengrusakan kendaraan dinas dan menyerang aparat. Mereka juga dikenakan Pasal 160 KUHP (hasutan), yang sering digunakan sebagai pasal karet untuk membungkam gerakan rakyat. Ancaman hukuman mencapai 6–7 tahun penjara. Polisi menangkap tanpa surat perintah dan dasar hukum yang jelas, pendampingan hukum tidak didapatkan sejak awal, tidak diberi kesempatan untuk menyanggah atau membela diri, hingga proses diwarnai tekanan dan intimidasi.

Penangkapan 21 suporter Persikas Subang yang membentangkan spanduk bertuliskan "Selamatkan Persikas" dalam acara “Nganjang Ka Warga” bersama Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi pada hari Rabu, 28 Mei 2025 adalah bentuk nyata pembungkaman suara rakyat dan kemunduran demokrasi di tingkat lokal. Para suporter termasuk tiga anak di bawah umur ditangkap tanpa bukti permulaan, pendampingan hukum, atau surat penangkapan yang sah. Pemeriksaan oleh Polsek Ciasem berlangsung hingga dini hari, disertai pemaksaan pengakuan yang tidak sebenarnya dan beberapa suporter sedang berjongkok dengan telanjang dada. Esoknya mereka kembali dijemput polisi tanpa prosedur hukum yang benar, polisi menyita handphone mereka dan dibuka secara paksa. Padahal, dalam peristiwa ini kepolisian seharusnya mematuhi Perkap No. 8 Tahun 2009 yang melarang penangkapan sewenang-wenang dan perlakuan yang merendahkan martabat manusia. Hal ini juga melanggar Pasal 7 ICCPR yang menegaskan bahwa tak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam dan tidak manusiawi.

Berdasarkan hal-hal di atas maka dari itu kami mendesak agar:

  1. Kapolda Jawa Barat dan Kapolresta Bandung untuk segera menghentikan proses penyidikan terhadap 5 orang massa aksi May Day dan 2 orang massa aksi Tolak RUU TNI 2025 di Bandung yang saat ini ditetapkan sebagai tersangka dan telah ditahan selama lebih dari 45 Hari.

  2. Presiden dan DPR RI segera melakukan reformasi secara kultural dan struktural terhadap Institusi Kepolisian Republik Indonesia dalam bentuk evaluasi menyeluruh terhadap para anggota Polri dengan berpedoman pada prinsip dan standar HAM.

  3. DPR RI dapat menjalankan fungsi legislasi dengan mengedepankan aspirasi rakyat yang berkaitan dengan reformasi Polri demi menciptakan Polri yang berintegritas dan profesional.

  4. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo segera mengevaluasi kinerja anggota Polri secara menyeluruh mulai dari tingkatan Polsek, Polres, hingga Polda dan secara jenjang kepangkatan dari mulai yang bintara hingga perwira tinggi.

  5. Jika poin 2-4 tidak segera dilaksanakan, maka hentikan wacana reformasi parsial yang justru memperkuat impunitas dan kekerasan di tubuh Polri. Bongkar struktur kekuasaan Polri yang justru menjadikannya sebagai alat pelanggeng kekerasan struktural dan pelindung modal.

  6. Anggota Polri agar segera menghentikan segala bentuk ancaman terhadap gerakan masyarakat sipil yang merupakan manifestasi dari hak kebebasan berekspresi/ menyampaikan pendapat dan hak kebebasan berkumpul secara damai.

  7. Segera proses dan tuntaskan kasus kekerasan berbasis gender yang mandek, berikan sanksi yang tegas terhadap aparat yang menghambat proses hukum, dan pastikan hak korban dan saksi dilindungi sepanjang proses hukum.

  8. Menolak Revisi Undang-Undang Polri yang memberikan Polri menjadi lembaga superbody yang berpotensi melemahkan demokrasi, melanggar hak asasi manusia, dan membuka penyalahgunaan kekuasaan sistematis oleh institusi Kepolisian.

Bandung, 1 Juli 2025
Hormat kami,

 

Koalisi Rakyat Anti Kriminalisasi (Kertas Putih)

 

Writer Profile

KontraS

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan