Isu pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto tak lagi sekadar wacana kosong—ini adalah cermin dari bagaimana kekuasaan terus-menerus mereproduksi dirinya untuk memutihkan sejarah kelam bangsa. Kini, konsolidasi elit politik untuk mendukung gelar pahlawan bagi Soeharto semakin masif, terlebih setelah Kementerian Sosial merilis daftar 10 calon penerima gelar Pahlawan Nasional 2025 yang mencantumkan nama Soeharto; sosok yang selama 32 tahun berkuasa lewat rezim Orde Baru dipenuhi rentetan kejahatan HAM, penyalahgunaan kekuasaan, serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang sistematis, serta tidak memberikan keadilan bagi para korban hingga detik ini.
Langkah politik menuju rehabilitasi nama Soeharto ini sebelumnya juga terlihat dari keputusan kontroversial MPR pada 25 September 2024 yang mencabut TAP MPR No. XI/MPR/1998—sebuah produk hukum penting yang selama ini menjadi rujukan moral bangsa dalam melawan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Padahal, sejak reformasi, MPR tidak lagi memiliki kewenangan legislasi lewat Amandemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945 pasca Reformasi. Tindakan ini kuat diduga sebagai bagian dari strategi sistematis untuk membersihkan nama Soeharto dan membuka jalan menuju gelar Pahlawan Nasional.
Pernyataan dari Istana melalui Menteri Sekretaris Negara yang menyebut pemberian gelar kepada Soeharto sebagai hal wajar, menambah legitimasi politik atas agenda ini. Jika ditarik benang merahnya, tak bisa dipungkiri bahwa Prabowo, memiliki relasi dengan keluarga cendana lantaran pernah menjadi menantu dari mendiang Soeharto, apalagi Prabowo dalam kampanye di Pemilihan Presiden tahun 2014 pernah memiliki janji politik untuk menjadikan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional sebagai bentuk penghormatan guna mengingat jasanya. Di sisi lain, Partai Golkar, partai warisan Orde Baru yang dulu menjadi alat politik Soeharto dalam mempertahankan kekuasaannya, juga terus mendorong wacana ini sejak 2008 hingga kini. Anak kandung Soeharto, Titiek Soeharto, juga kini duduk sebagai anggota DPR, memperkuat posisi politik dinasti Cendana.
Bahkan, dilansir dari laman media, ketika ditanya soal keterlibatan Soeharto dalam kasus mega korupsi yang telah merugikan negara hingga triliunan rupiah, Prasetyo—mengatasnamakan Kabinet Merah Putih—menyatakan bahwa “manusia tidak ada yang sempurna.” Padahal, klaim Soeharto sebagai Bapak Pembangunan seringkali menutupi fakta bahwa pembangunan di masanya dijadikan kamuflase bagi praktik korupsi yang menguntungkan dirinya dan kroni-kroninya. Ia bahkan pernah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penyalahgunaan dana yayasan pada tahun 2000, meskipun proses hukumnya dihentikan secara sepihak oleh Kejaksaan Agung melalui penerbitan Surat Keterangan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) pada 11 Mei 2006 karena alasan kesehatan. Meski begitu, koalisi Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) mengajukan gugatan pra-peradilan terhadap SKP3 tersebut di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hakim kemudian menyatakan bahwa penghentian perkara itu prematur dan seharusnya proses hukum terhadap Soeharto tetap dilanjutkan. Semua ini memperkuat kenyataan bahwa selama 32 tahun pemerintahannya, Soeharto menjalankan praktik KKN. Laporan Stolen Asset Recovery Initiative dari UNODC dan Bank Dunia tahun 2007 pun menempatkan Soeharto sebagai pemimpin paling korup di abad ke-20.
Selain itu, dalih bahwa proses pengusulan gelar dilakukan secara formal dan berdasarkan kajian akademik, seperti yang disampaikan Kementerian Sosial, bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan. Prosedur tersebut cenderung berlangsung secara tertutup, elitis, dan minim partisipasi publik yang luas dan bermakna. Suara penolakan publik seperti dari Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) yang secara konsisten menyuarakan akuntabilitas kasus Kejahatan HAM era Soeharto dan aktif menolak gelar pahlawan kepada Soeharto sejak awal reformasi, diabaikan. Faktanya, tak pernah ada forum publik atau diskusi terbuka yang transparan, padahal Pasal 2 huruf h Undang-Undang Nomor 20 tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan, menjelaskan bahwa pemberian Tanda Kehormatan harus dilakukan secara transparan, terbuka, dan dapat dikontrol secara bebas oleh masyarakat luas.
KontraS juga menyoroti bahwa dalam beberapa tahun terakhir, proses pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan oleh negara semakin menunjukkan kecenderungan politis dan dilakukan secara tertutup, tanpa memperhatikan rekam jejak calon penerima yang bermasalah. Pemberian Bintang Jasa Utama kepada Eurico Guterres tahun 2021, serta tanda kehormatan melalui pemberian pangkat istimewa Jenderal Kehormatan Bintang Empat kepada Prabowo Subianto, menunjukkan preseden buruk dalam pemberian penghargaan negara tanpa basis akuntabilitas. Bahkan Mahkamah Agung dalam putusan kasasi Nomor 638 K/TUN/KI/2024 tanggal 15 Oktober 2024 telah menegaskan bahwa informasi terkait pemberian penghargaan kepada Eurico bukanlah informasi rahasia dan harus dibuka ke Publik—yang hingga saat ini putusan tersebut belum dilaksanakan oleh Kementerian Sekretariat Negara secara patuh. Tidak hanya soal keterbukaannya, pada gugatan yang KontraS ajukan terhadap pemberian pangkat istimewa juga ditemukan praktik yang bertentangan dengan Undang-Undang yang berlaku—baik Undang-Undang tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan maupun Undang-Undang TNI—tidak ada dasar hukum yang mengatur kenaikan pangkat kehormatan bagi purnawirawan TNI seperti Prabowo, yang telah diberhentikan dari militer aktif sejak 1998. Kini, jangan biarkan preseden buruk tersebut dilanggengkan untuk memberikan gelar pahlawan nasional untuk ‘Sang Jenderal Jagal’.
Jika gelar Pahlawan Nasional benar-benar diberikan kepada Soeharto, maka itu akan menjadi bentuk legitimasi simbolik atas politik kekuasaan yang dibangun di atas penderitaan rakyat. Sesuai UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan serta aturan pelaksanaanya melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 35 Tahun 2010, gelar tersebut tidak hanya memberi hak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, tetapi juga membawa hak finansial bagi ahli waris yang dananya bersumber dari APBN—uang pajak rakyat. Artinya, pajak rakyat—termasuk yang dibayarkan oleh korban dan keluarga korban Orde Baru—akan digunakan untuk menghormati koruptor dan penjahat HAM sementara keluarga korban hidup tanpa keadilan dan ketidakpastian hukum.
Kami menegaskan bahwa negara tidak seharusnya memberikan pengakuan simbolik, politik, dan finansial kepada aktor-aktor yang telah terbukti menyalahgunakan kekuasaan dan melanggar hak asasi manusia. Memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto bukan hanya bentuk pemutarbalikan sejarah, tetapi juga sebuah penghinaan terhadap perjuangan reformasi, nilai-nilai demokrasi, serta luka kolektif bangsa ini. Kita tidak bisa membiarkan sejarah dibengkokkan demi kepentingan politik elit semata dan selalu permisif terhadap kejahatan pelanggaran HAM di Indonesia.
Jakarta, 24 April 2025
Badan Pekerja KontraS
Dimas Bagus Arya
Koordinator
082175794518

KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan