Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung mengecam keras tindak kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok organisasi masyarakat (ormas) terhadap Masyarakat Sukahaji yang sedang berkumpul dan bersolidaritas di area bekas kebakaran yang melanda wilayah Gang Satata Sariksa, Kelurahan Sukahaji, Kecamatan Babakan Ciparay, Kota Bandung. Tindakan tersebut menyebabkan beberapa warga mengalami luka-luka akibat lemparan batu, pukulan benda tumpul, dan robek akibat sayatan benda tajam.

Berdasarkan informasi yang telah kami dapat, peristiwa ini bermula sekitar pukul 11:30 WIB. Ketika itu masyarakat bersama dengan gerakan-gerakan solidaritas sedang berkumpul di area bekas kebakaran. Kemudian sekitar pukul 12:30 WIB, sekelompok orang yang diduga kuat merupakan para anggota ormas mendatangi lokasi tersebut dan langsung melakukan penyerangan terhadap masyarakat dengan melakukan pelemparan batu. Akibatnya terdapat 5 warga menjadi korban dengan mengalami luka pada bagian wajah, lengan, dan kaki akibat terkena batu. Tidak hanya menggunakan benda tumpul, berdasarkan dokumentasi yang didapatkan oleh masyarakat, ormas tersebut turut melakukan pemukulan terhadap salah seorang perempuan yang menyebabkan luka lebam di wajah. Selain melakukan penyerangan secara fisik, ormas tersebut turut mengintimidasi serta melakukan tindak pelecehan secara verbal terhadap sejumlah perempuan yang berada di lokasi aksi.

Lebih lanjut, penyerangan oleh ormas ini kembali terjadi pada malam hari yakni sekitar pukul 21.26 WIB. Kali ini ormas tersebut mendatangi posko yang dibuat oleh masyarakat sembari membawa senjata tajam dan melakukan penyerangan terhadap masyarakat yang berada di area posko dan pemukiman warga. Serangan ini membuat 2 orang warga mengalami luka robek akibat sayatan benda tajam, masing-masing korban mengalami luka sayatan pada area punggung serta kepala. Total akibat rentetan penyerangan yang dilakukan oleh ormas pada hari Senin, 21 April 2025 tersebut mengakibatkan setidaknya 14 warga menjadi korban tindak kekerasan, yang dimana 8 korban mengalami luka akibat lemparan batu, 4 korban mengalami luka-luka akibat pengeroyokan, dan 2 korban luka-luka akibat benda tajam. Bahkan 1 dari 14 korban tersebut merupakan anak perempuan berusia 14 tahun.    

Berkenaan dengan peristiwa tersebut, kami menyoroti terkait ketidakprofesionalan Polisi dalam menjalankan tugasnya sebagai pihak yang berwenang dalam menjaga keamanan dan ketertiban serta pengayom di masyarakat. Berdasarkan keterangan dari salah seorang saksi yang berada di lokasi, sebetulnya pada saat terjadinya penyerangan oleh ormas tersebut terdapat beberapa aparat Kepolisian yang berjaga. Namun anggota Polisi yang berada dan berjaga di lokasi tersebut justru hanya mendiamkan dan bahkan mengabaikan tindakan represif yang dilakukan oleh ormas tersebut.

Terlebih, masyarakat juga mengalami kesulitan ketika ingin melaporkan tindak kekerasan yang mereka alami. Hal ini dibuktikan oleh tidak dapat diaksesnya hotline pengaduan milik Kepolisian Resor Kota Besar Bandung. Sejatinya masyarakat sudah mencoba menghubungi hotline Kepolisian tersebut sejak pukul 11:00 WIB, namun hingga pukul 00:21 WIB (Selasa, 22 April) masyarakat belum dapat terhubung dengan nomor tersebut.  

Atas pengabaian tersebut, kami menilai telah terjadi pelanggaran etik yang dilakukan oleh anggota Kepolisian tersebut. Kepolisian telah gagal dalam memberikan pelayanan bermutu bagi masyarakat serta gagal dalam menjamin dan menciptakan ketertiban serta rasa aman terhadap publik. Alih-alih sebagai bagian dari alat negara yang diberikan tugas dan wewenang melindungi HAM dalam konteks demonstrasi, Polri justru melakukan pelanggaran HAM karena tidak melakukan tugas dan fungsinya (by omission). Semestinya, Polri dapat mencegah tindakan penyerangan yang dilakukan oleh ormas dan melakukan perlindungan terhadap warga Sukahaji. Dengan demikian, kami menilai bahwa tindakan tersebut telah melanggar ketentuan dalam Pasal 7 huruf a Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selain itu, terhadap tindakan pembiaran yang dilakukan oleh anggota Polri berpotensi melanggar ketentuan pidana  yakni Pasal 304 dan Pasal 421 KUHP yang menitik beratkan perbuatan tidak melakukan atau membiarkan sesuatu yang menyebabkan seseorang sengsara. 

Lebih lanjut, Ormas yang melakukan kekerasan harus diproses hukum dan dipertanggungjawabkan secara hukum melalui proses peradilan. Kami menilai, terdapat sejumlah ketentuan pidana yang dilanggar yakni Pasal Pasal 170 KUHP dan Pasal 35 KUHP. Semestinya, dalam hal ini Polri perlu secara aktif melakukan langkah-langkah proses penegakan hukum.

Hal lain yang turut kami soroti adalah adanya konflik horizontal antara masyarakat dengan ormas yang belakangan masif terjadi. Hal ini kami tengarai oleh adanya Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa. Sejatinya Indonesia memiliki sejarah kelam akan kehadiran pam swakarsa dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Kami menilai bahwa pam swakarsa merupakan kekuatan “negatif” akibat oleh tidak adanya mekanisme pengawasan yang ketat dan justru menguatkan budaya kekerasan dalam “menjaga keamanan” bahkan dalam beberapa kasus kehadiran pamswakarsa rentan akan penyalahgunaan kewenangan oleh kelompok-kelompok tertentu yang pada akhirnya dapat menyebabkan peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia. 

Mengacu pada data pemantauan yang dilakukan oleh KontraS, dalam setahun terakhir telah terjadi beberapa peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh pam swakarsa ini. Setidaknya 2 kasus yang kami highlight pada tahun 2024 lalu, yakni kasus pembubaran kegiatan The People’s Water Forum (PWF) di Bali dan bentrokan antara Satpam Jakarta International Stadium dengan warga di Kampung Bayam, Jakarta Utara. Dari kasus-kasus tersebut menjadi bukti kuat bahwa kehadiran pam swakarsa berdampak negatif dalam menghadirkan keamanan di masyarakat. Kehadiran pamswakarsa justru memperparah situasi pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. 

Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, kami mendesak kepada:

Pertama, Kapolri mengevaluasi secara menyeluruh dan segera mencabut Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa;

Kedua, Polda Jawa Barat untuk segera memproses dan menindak anggota Kepolisian yang melakukan pengabaian dan pelanggaran etik Kepolisian. Bahwa proses penegakan hukum terhadap anggota Kepolisian tidak hanya pada tahapan etik semata tetapi juga diadili melalui mekanisme peradilan pidana. Kemudian untuk segera memproses ormas yang melakukan tindak kekerasan secara transparan dan akuntabel;

Ketiga, Kompolnas untuk dapat melakukan pendalaman secara komprehensif serta memberikan rekomendasi sebagai langkah preventif akan keberulangan peristiwa dimasa yang akan datang.

Keempat, Komnas HAM untuk dapat melakukan penyelidikan dan pemantauan atas dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Sukahaji.



Jakarta - Bandung, 22 April 2025

Hormat Kami,

 

KontraS  - LBH Bandung

 

Narahubung: 

Andrie Yunus (KontraS)

Heri Pramono (LBH Bandung)

 

Writer Profile

KontraS

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan