Kasus pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, khususnya yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru, masih menjadi pekerjaan rumah besar yang belum terselesaikan hingga saat ini. Pengungkapan kebenaran merupakan salah satu kewajiban negara dalam rangka meluruskan sejarah serta memenuhi hak-hak korban pelanggaran berat HAM, termasuk di Indonesia. Upaya ini sangat penting untuk memastikan tercapainya demokrasi yang utuh dan substantif. Sebuah bangsa tidak dapat melangkah maju dengan meninggalkan luka sejarah yang belum diselesaikan. Transisi menuju demokrasi harus dibangun di atas pondasi sejarah yang transparan, adil, dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, pengungkapan kebenaran menjadi langkah yang tidak dapat dihindari, terutama dalam kasus kejahatan yang sistematis dan terstruktur, yang melibatkan aktor negara sebagai pelaku utama.
Pembentukan Komisi Kebenaran merupakan langkah penting dalam mengungkap kebenaran dan menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM di masa lalu. Namun, agar berfungsi sesuai tujuannya, regulasi yang mengaturnya harus diawasi secara ketat guna mencegah celah impunitas atau penyalahgunaan sebagai alat untuk menggugurkan kewajiban negara dalam mengadili pelaku. Indonesia pernah memiliki Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Namun, pada tahun 2006, melalui Putusan Nomor 006/PUU-IV/2006, Mahkamah Konstitusi membatalkan undang-undang tersebut dengan alasan bahwa Pasal 27 UU KKR bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28D Ayat (1), serta Pasal 28I Ayat (1), (4), dan (5) Undang-undang Dasar (UUD) 1945. UU KKR pun dibatalkan secara keseluruhan karena substansi dari Pasal 27 UU KKR merupakan muara dan inti dari UU tersebut. Hasilnya, KKR pun telah lama terkubur dan tidak terdengar lagi dalam upaya-upaya penuntasan pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) yang terjadi selama periode pemerintahan otoriter Orde Baru.
Wacana untuk menghidupkan kembali mekanisme KKR kembali muncul dalam pemerintahan Prabowo-Gibran, bahkan sebelum mereka genap 100 hari menjabat. Gagasan ini dimaksudkan untuk menangani kasus-kasus yang terjadi sebelum diundangkannya UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Namun, pendekatan yang diusulkan menuai kontroversi karena pemerintah berencana menjadikan KKR sebagai alternatif dari mekanisme yudisial, bukan sebagai mekanisme pelengkap.
Melalui kertas ini, kami mengkaji seperti apa pembentukan Komisi Kebenaran yang ideal untuk dilakukan di Indonesia, sesuai dengan sifat dan karakteristik kejahatan masa lalu yang terjadi. Hal penting yang kami tegaskan dalam kajian ini adalah urgensi untuk melibatkan korban dalam segala perumusan kebijakan mengenai Komisi Kebenaran maupun pelaksanaan kerja-kerjanya. Di akhir kertas ini, kami pun menyajikan sejumlah rekomendasi yang penting untuk diterapkan demi tercapainya pengungkapan kebenaran dan penyelesaian pelanggaran berat HAM yang menyeluruh dan menghargai martabat korban.
Kasus pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, khususnya yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru, masih menjadi pekerjaan rumah besar yang belum terselesaikan hingga saat ini. Pengungkapan kebenaran merupakan salah satu kewajiban nega

KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan