Pada 12 September 2025, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) merilis laporan dari kerja Posko Orang Hilang yang dibuka untuk menerima pengaduan orang hilang dalam aksi pada 25–31 Agustus 2025. Pasca rangkaian aksi demonstrasi pada periode tersebut, KontraS menerima lonjakan laporan terkait individu yang hilang secara tiba-tiba, terutama dari wilayah-wilayah yang menjadi pusat mobilisasi massa utamanya Jakarta dan Bandung. Posko pengaduan orang hilang yang dibuka oleh KontraS sejak 1 September 2025 bertujuan untuk menampung aduan, menelusuri keberadaan korban, dan mencatat berbagai pola tindakan aparat yang mengarah pada praktik penghilangan orang secara paksa.
Dari pencarian dan verifikasi yang telah KontraS lakukan terhadap seluruh pengaduan yang masuk, sebagian besar merupakan korban penghilangan paksa. Mereka ditahan oleh aparat negara, dalam hal ini kepolisian, secara incommunicado, yaitu dengan menghalangi komunikasi dan akses mereka terhadap dunia luar seperti keluarga dan orang terdekatnya. Mereka juga tidak diperbolehkan untuk menerima pendampingan hukum sesuai pilihan mereka. Dalam kata lain, aparat kepolisian telah melakukan penyembunyian nasib dan keberadaan orang-orang yang ditahan. Situasi ini menyebabkan para korban berada di luar jangkauan perlindungan hukum, yang terjadi dalam bentuk penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, dan proses hukum yang tidak adil dan transparan. Unsur-unsur ini merupakan unsur konstitutif dari penghilangan paksa, sebagaimana dinyatakan dalam Konvensi Internasional Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (ICPPED), yang telah ditandatangani oleh Indonesia pada 27 September 2010.
Meskipun korban kemudian telah dapat diverifikasi dan diketahui keberadaannya, periode selama mereka disembunyikan nasib dan keberadaannya tetaplah merupakan suatu praktik penghilangan paksa. Dalam hal ini, para korban secara spesifik mengalami penghilangan paksa dalam jangka pendek atau short-term enforced disappearances. Selain itu, hingga laporan ini dirilis, negara masih belum mengembalikan 3 orang lainnya yang diduga juga mengalami penghilangan paksa dalam gelombang aksi pada 25–31 Agustus 2025.
Laporan ini bertujuan tidak hanya untuk mendokumentasikan praktik penghilangan paksa yang terjadi dalam aksi 25–31 Agustus 2025, namun juga untuk menuntut akuntabilitas negara atas terjadinya pelanggaran HAM tersebut. Sebab, penghilangan paksa bukanlah praktik pelanggaran HAM baru di Indonesia, melainkan sudah terjadi sejak lama terutama pada periode Orde Baru untuk membungkam kritik dan oposisi terhadap pemerintah. Tidak pernah adanya evaluasi dan reformasi institusi menyeluruh dan substantif menyebabkan praktik penghilangan paksa masih terus terjadi dan berulang hingga hari ini. “KontraS menyimpulkan bahwa tindakan penghilangan paksa yang terjadi selama periode gelombang demonstrasi 25-31 Agustus adalah pelanggaran HAM dan negara wajib melakukan upaya pencegahan keberulangan di masa depan,” ujar Dimas Bagus Arya, Koordinator KontraS.
Laporan selengkapnya dapat diakses di sini
Presentasi perilisan laporan dapat diakses di sini

KontraS
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan