60 tahun silam, Soeharto dan Angkatan Darat di bawah komandonya memulai pembantaian dan pemusnahan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI). Alasannya, PKI dituduh melakukan pembunuhan dan kudeta terhadap sejumlah Jenderal Angkatan Darat dan kudeta terhadap pemerintah Indonesia. Pembantaian dan pemusnahan ini dilakukan secara keji, tidak berkemanusiaan, bahkan turut menyasar mereka yang tidak mengetahui apapun mengenai pembunuhan Jenderal Angkatan Darat dan bahkan juga menyasar ke masyarakat sipil yang sama sekali tidak terafiliasi dengan PKI. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menetapkan peristiwa ini sebagai pelanggaran berat terhadap HAM pada 2012. Melalui penyelidikan pro-yustisia, Komnas HAM menyimpulkan telah terjadinya pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kebebasan sewenang-wenang, penyiksaan, kekerasan seksual, persekusi, dan penghilangan orang secara paksa, dengan merujuk pada Pasal 7 Undang-undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Kami menyoroti tidak adanya pertanggungjawaban yang dilakukan oleh negara dan keadilan yang substantif bagi korban, hingga 60 tahun sejak dimulainya peristiwa 1965-166 telah berlalu.

Ditambahkan pula, melalui penelitian akademis yang ditulis oleh para sejarawan di berbagai dunia, sekurang-kurangnya  ada 10 naskah akademis yang ditulis para peneliti/sejarawan: Jess Melvin, Robert Cribb, Bradley  Simpson, John Roosa, Vincent Bevins serta pengakuan CIA melalui dokumen yang sudah dideklasifikasi serta tulisan berbagai kesaksian para korban maupun anggota Partai Komunis Indonesia yang berhasil diwawancarai  dan juga penemuan 359 kuburan massal oleh YPKP 65 adalah  bukti novum bahwa  apa yang dituduhkan seolah PKI melakukan pembunuhan terhadap para jenderal dan lakukan kudeta, adalah hanyalah propaganda Orde Baru rezim fasis militer Suharto belaka.

Kejahatan yang secara aktif dilakukan oleh negara kepada warga negaranya sendiri melalui tindakan langsung dan kebijakan tersebut meninggalkan luka mendalam bagi para korban dan keluarganya, serta menjadi catatan kelam dalam sejarah bangsa Indonesia. Faktanya, kejahatan yang dilakukan negara tidak hanya berhenti pada 1966, melainkan terus berlangsung hingga hari ini. Pasalnya, pemenjaraan sewenang-wenang tanpa proses pengadilan dan perbudakan yang dilakukan oleh negara di berbagai titik seperti Nusa Kambangan, Plantungan, Moncongloe, Tangerang, Tanjung Kaso Medan, Argosari Kalimantan Timur dan Pulau Buru terus berlangsung hingga setidaknya akhir periode 1979.

Diskriminasi dan peminggiran aktif kepada para penyintas terus dipertahankan, seperti dengan memberikan label eks tapol (ET) dalam Kartu Tanda Penduduk penyintas dan doktrin “Bersih Diri, Bersih Lingkungan” yang kemudian menjadi dasar bagi pembatasan akses penyintas atas berbagai hal termasuk akses atas pekerjaan. Di berbagai daerah pun masih terus berlangsung upaya “pengawasan aktif” yang dilakukan aparat keamanan baik tentara maupun kepolisian terhadap para mantan tahanan politik peristiwa 65. Tindakan ini adalah  upaya penghancuran dan teror terhadap warga negara meskipun mereka sudah dinyatakan bebas. Para korban harus menghadapi konsekuensi dan kerugian jangka panjang akibat perampasan hak milik korban atas berbagai hal seperti tanah dan rumah. Situasi-situasi ini membuat korban mengalami viktimisasi berulang atau korban untuk kedua kalinya karena hak-haknya untuk bisa hidup dengan layak, untuk mengembangkan diri, dan hidup dengan rasa aman turut dirampas.

Kejahatan juga menimpa mereka yang tengah berada di luar negeri, melalui pencabutan status kewarganegaraan hingga mereka tidak bisa kembali ke tanah air dan harus hidup dalam berpindah-pindah tanpa perlindungan hukum selama bertahun-tahun. Propaganda kebencian dan narasi yang keliru terus dirawat negara dengan melakukan penayangan film “Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI” secara rutin setiap tahunnya di sekolah-sekolah sejak 1984 sehingga mempertahankan stigma pada para penyintas. Bahkan pasca turunnya Soeharto, Sang Jenderal Jagal, dari kursi kekuasaan pada 1998, negara masih belum melakukan pelurusan narasi sejarah dan pemulihan menyeluruh kepada para korban.

Mengacu pada sistem hukum nasional yaitu UU Pengadilan HAM, proses hukum untuk peristiwa 1965-1966 sebenarnya sudah dimulai dengan adanya penyelidikan pro-yustisia yang dilakukan oleh Komnas HAM. Akan tetapi, penyidikan dan tindak lanjut tidak kunjung dilakukan oleh Jaksa Agung sesuai dengan tugasnya yang diatur dalam Pasal 21 UU Pengadilan HAM. Selain kebuntuan dalam proses yudisial, pengungkapan kebenaran yang independen, transparan, menyeluruh, dan berpihak pada korban mengenai peristiwa ini pun juga tidak kunjung dilakukan negara. Padahal, rezim HAM internasional telah mengakui bahwa korban, keluarganya, dan publik secara umum memiliki hak untuk mengetahui dan hak atas kebenaran atas terjadinya suatu pelanggaran berat HAM. Kesimpulan dari Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal 1965)---yang berlandaskan pada hukum nasional, hukum internasional, hingga sejumlah yurisprudensi dan preseden hukum internasional bahwa telah terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida dalam peristiwa 1965-1966—juga belum cukup untuk mendorong pertanggungjawaban negara.

Saat penuntasan kasus dan pertanggungjawaban negara masih belum kunjung dilaksanakan, negara malah kembali mengebiri hak-hak warganya. Kita seakan berada kembali pada situasi kelam dari peristiwa 1965-1966, yang kemudian menjadi landasan dari berdiri dan berjalannya rezim otoriter Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penghilangan orang secara paksa, penyiksaan, penyitaan buku, dan pemberian label buruk anarko secara serampangan yang terjadi saat ini menunjukkan gejala otoritarian yang pernah terjadi pada era Orde Baru. Pola pemburuan yang dilakukan negara hari ini juga serupa dengan pola yang dilakukan negara pada peristiwa 1965-1966, yaitu pemburuan dan penyangkaan tindak pidana berdasarkan asosiasi. Represi terhadap suara-suara kritis dan aspirasi rakyat tersebut tidak ubahnya merupakan keberulangan dari kejahatan negara di masa lalu. Keberulangan ini terjadi, di antaranya, karena tidak pernah ada penuntasan kasus yang menyeluruh dan substantif atas peristiwa 1965-166. “Jika kejahatan setara dengan Holocaust tersebut tidak diproses secara hukum, tidaklah mengherankan bila aparat keamanan dan penegak hukum Indonesia menganggap pembinasaan manusia di abad ke-XX itu sebagai kenormalan,” ujar almarhum Harry Wibowo, Koordinator Perhimpunan IPT 1965.

 

Oleh karena itu, kami mendesak:

  1. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk melakukan penyelidikan ulang/lanjutan sehubungan dengan ditemukannya berbagai pengakuan terduga pelaku serta barang bukti baru sejak 2012 hingga saat ini mengenai kejahatan melawan kemanusiaan dan/atau kejahatan genosida 1965-66, termasuk mengidentifikasi dan menyelidiki ratusan titik temuan kuburan massal di berbagai pelosok/daerah di berbagai kabupaten/ kota  terkait dengan kejahatan serius tersebut;

  2. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Jaksa Agung untuk meningkatkan koordinasi demi mendorong kelanjutan proses hukum ke tahap penyidikan sesuai dengan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, termasuk dengan melindungi situs kuburan massal sesuai prosedur standar internasional mengenai penggalian, penyelidikan, dan memorialisasi kuburan massal;

  3. Kementerian Kebudayaan untuk menghentikan pemutihan peristiwa 1965-1966 dan melakukan pelurusan narasi sejarah mengenai peristiwa 1965-166;

  4. Pemerintah untuk memenuhi hak-hak korban secara menyeluruh dan substantif, dengan melibatkan korban secara penuh dalam perumusan kebijakan pemenuhan hak sebagaimana dijamin dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Revisi UU Nomor 13 Tahun 2006; dan

  5. Pemerintah untuk menghentikan segala bentuk pengawasan maupun teror terhadap korban dan keluarganya, sebab korban berhak atas jaminan keamanan dan perlindungan oleh negara dari segala bentuk persekusi yang dilakukan oleh baik aparat negara maupun sesama warga negara.

 

6 Oktober 2025

  1. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

  2. Perhimpunan International People’s Tribunal 1965 (IPT 65)

  3. Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-66 (YPKP 65)

  4. Watch 65

  5. Paguyuban Minggu Pon (Pagupon)

  6. Kiprah Perempuan (KIPPER)

  7. Forum Pendidikan dan Perjuangan HAM (FOPPERHAM)

 

Writer Profile

KontraS

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan