JAKARTA, 25 Juni 2024 - Rezim Presiden Joko Widodo dinyatakan terbukti bersalah langgar hak konstitusi rakyat dan tidak lagi memiliki kelayakan sebagai presiden oleh sembilan Hakim Rakyat pada Mahkamah Rakyat Luar Biasa yang digelar pada Selasa (25/6) di Wisma Makara Universitas Indonesia, Jakarta. Kegiatan ini dihadiri oleh ratusan masyarakat sipil dari berbagai provinsi di Indonesia dan disaksikan oleh ribuan orang secara daring melalui siaran langsung YouTube selama 8 jam. Masyarakat melakukan gugatan kepada Presiden Joko Widodo dengan mekanisme pengaduan konstitusional (constitutional complaint) atas sederet kasus yang disampaikan oleh 9 pengadu, didukung dengan keterangan dari 6 saksi dan 4 ahli, serta ditimbang dan diadili oleh 9 Majelis Hakim Rakyat.

 

Selain Presiden Jokowi, masyarakat turut menggugat Puan Maharani selaku Ketua DPR RI dan Lanyalla Mahmud Mattalitti selaku Ketua DPD yang memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi demokrasi dan hak asasi manusia. Selain itu, adapun sepuluh partai politik yang memiliki kewenangan di bidang legislasi yang lolos parlemen dari tahun 2014, antara lain PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PAN, Hanura, PPP, Demokrat, dan PKS. Walau sudah melayangkan undangan jelang kegiatan, yaitu pada hari Senin (24/5), namun tidak ada satu pun tergugat termasuk Presiden Jokowi yang hadir dalam dalam sidang dan memenuhi undangan.

 

Sejumlah masalah yang diadukan dan kemudian dicatat sebagai “Nawadosa (sembilan dosa), meliputi masalah sosial, politik, lingkungan, keamanan, budaya maupun ekonomi. Alasannya, masyarakat resah dan marah atas tindakan aktif pemerintah dalam pelanggaran hak konstitusional masyarakat, seperti normalisasi terhadap Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), pembangunan Rempang Eco City, PLTP Ulumbu 5-6 Poco Leok, Bandara Kulon Progo, reklamasi Teluk Jakarta, eksplorasi nikel sejumlah daerah termasuk di pulau kecil Pulau Wawonii, deforestasi Papua yang mengancam Masyarakat Adat Suku Awyu dan Moi, penggusuran Taman Sari dan Dago Elos, maupun berbagai proyek dan kebijakan lainnya yang justru merugikan masyarakat dan menguntungkan pihak segelintir.

 

Selain itu, masih banyak kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang belum tuntas diselesaikan, di antaranya Pembantaian Tahun 1965-1966, Peristiwa Talangsari 1989, Tragedi Rumah Geudong, Pembantaian Dukun Santet Banyuwangi, Penembakan Misterius, kasus Munir dan Marsinah, Penghilangan Orang Secara Paksa, Kerusuhan Mei 98, Tragedi Trisakti, Semanggi 1 dan 2, Timor Timur, Simpang KKA, Kasus Abepura, Wasior Papua, Wamena, Jambo Keupok Aceh, Timang Gajah di Bener Meriah, Paniai, hingga Tragedi Stadion Kanjuruhan dan kejahatan kemanusian lainnya.

 

Putusan

Berdasarkan kasus-kasus yang disebutkan, sidang Mahkamah Rakyat akhirnya ditutup dengan putusan majelis hakim yang terbagi ke dalam dua bagian, yakni:

 

  1. Berdasarkan sektoral

  1. Menyatakan tergugat telah melakukan pelanggaran hak hidup dan indikasi kuata adanya kejahatan kemanusiaan dengan cara memanipulasi kebijakan untuk mengusir secara paksa masyarakat/petani.

  2. Tergugat terbukti melembagakan dan menormalisasi kekerasan, kekerasan berbasis rasisme, persekusi, kriminalisasi, dan diskriminasi yang menyebabkan penyempitan ruang sipil.

  3. Tergugat terbukti melanggar ham dan merusak demokrasi dengan cara memberi ruang bagi pelanggar ham berat dan melanggengkan impunitas.

  4. Menyatakan tergugat terbukti telah gagal melaksanakan tugas konstitusi yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dengan tidak melaksanakan tugas pemenuhan hak atas pendidikan warga negara, terlibat secara cara aktif melakukan komersialisasi pendidikan dan pendudukan atas kebebasan akademik.

  5. Menyatakan tergugat telah melanggar seluruh tabu reformasi dengan menghidupkan kembali korupsi, kolusi, dan nepotisme yang bahkan jauh lebih vulgar daripada masa Orde Baru. Dengan demikian, tergugat telah melakukan impeachable offense sebagaimana tertuang pada pasal 7a UUD RI 1945.

  6. Menyatakan tergugat telah terbukti secara sistematis melakukan kegiatan eksploitasi sumber daya alam demi kepentingan segelintir orang dengan mengorbankan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang bersih dan baik.

  7. Menyatakan tergugat telah melakukan secara sistematis memiskinkan hidup buruh dengan cara menghadirkan kebijakan mendukung praktik politik upah murah yang mengorbankan buruh.

  8. Menyatakan tergugat telah melakukan kejahatan demokrasi dan konstitusi melalui pembajakan regulasi yang mengabaikan prinsip kedaulatan rakyat dan negara hukum yang ditujukan untuk kepentingan kelompok dan kekuasaan;

  9. Menyatakan tergugat telah melakukan kejahatan demokrasi dengan cara menghidupkan kembali dwi fungsi abri, melanggengkan impunitas, operasi militer illegal,

 

B. Secara Umum

  1. Tergugat terbukti menyebabkan adanya pelanggaran HAM lintas generasi.

  2. Tergugat terbukti memundurkan demokrasi antara lain mengembalikan dwi fungsi TNI/POLRI, melemahkan lembaga dan gerakan pemberantasan korupsi serta memberlakukan kembali azas Domein Verklaring dalam pertanahan dari masa kolonial.

  3. Tergugat gagal memenuhi sumpah dan kewajiban Presiden Republik Indonesia yaitu dengan sebaik­-baiknya dan seadil-­adilnya, memegang teguh Undang­-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-­undang dan peraturannya dengan selurus lurusnya serta berbakti, kepada Nusa dan Bangsa”.

  4. Tergugat terbukti melakukan setidaknya pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan dan pendirian negara yang ada dalam pembukaan UUD 1945, korupsi dalam arti luas, adan/atau terbukti melakukan perbuatan tercela

 

Kutipan

  • Khariq Anhar, Mahasiswa Universitas Riau, selaku Penggugat Komersialisasi, Penyeragaman, Penundukan Sistem Pendidikan:
    Hidup rakyat Indonesia? Rakyatnya diperas, pendidikannya ditindas. Hidup pendidikan Indonesia? Pendidikan kita mahal, sulit untuk dibayar. Hidup mahasiswa? Beberapa waktu lalu, kawan-kawan kami meninggal hanya karena memperjuangkan UKT

  • Sunarno, Ketua Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), selaku Penggugat Sistem Kerja yang Memiskinkan dan Menindas Pekerja:
    Saya mewakili kawan-kawan buruh merasa dirugikan oleh kebijakan Presiden Jokowi selama 10 tahun terakhir. Pada tahun 2015, PP 78 menyebabkan upah buruh semakin murah. Pada 2019 (catatan: disahkan 2020), kebijakan UU Cipta Kerja, terutama klaster ketenagakerjaan, semakin merugikan buruh. Bukannya memperbaiki upah, justru banyak buruh yang di-PHK dan upah semakin rendah. Sistem kerja kontrak, outsourcing, harian lepas, borongan, dan magang membuat buruh tidak punya kepastian kerja. Ini juga berdampak pada teman-teman mahasiswa yang akan menjadi pekerja

  • Ambrosius Mulait, perwakilan Orang Asli Papua, korban operasi militer ilegal dan berbagai macam tindak tanduk rasis dan diskriminatif terhadap orang papua selaku Saksi Militerisme dan Militerisasi:
    Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa ‘Sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, oleh karena itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan’. Jadi kami orang papua juga menuntut penjajahan di atas tanah Papua juga harus dihapuskan

  • Warga Rempang selaku Saksi Perampasan Ruang Hidup dan Penyingkiran Masyarakat:
    Kami hidup bergantung pada hasil laut dan hasil tani, jadi hingga saat ini kami menolak investasi yang tidak ramah lingkungan. Kami tidak anti investasi, tapi kami punya masa depan, kalau laut kami hancur, kebun kami hancur, kami mau makan apa? Kami hanya masyarakat kecil, orang Melayu punya prinsip: Lebih baik mati berdiri daripada hidup berlutut. Kami menolak relokasi, kami menolak digusur. Hidup Melayu!

  • Henry, Ketua Serikat Buruh Industri Pertambangan (SBIPE) IMIP Morowali selaku Saksi Eksploitasi SDA dan Program Solusi Palsu untuk Krisis Iklim:
    Apa yang hari ini disampaikan oleh pemerintahan Jokowi atas berbagai keuntungan yang diperoleh negara dalam bentuk pertambahan nilai dan seluruh keistimewaan dari hilirisasi tersebut ternyata berbanding terbalik dengan kenyataan yang terjadi, khususnya di Morowali, dan dialami langsung oleh buruh yang ada di hubungan kerja dalam IMIP itu sendiri

 

 

Tentang Mahkamah Rakyat

Mahkamah Rakyat atau People’s Tribunal merupakan mekanisme alternatif dalam sistem demokrasi untuk menyelesaikan masalah hukum. Pertama kali diselenggarakan oleh Bertrand Russell dan Jean-Paul Sartre pada 1967, gerakan ini muncul karena ketidakpercayaan masyarakat terhadap kebijakan dan penegakan hukum, karena ketidakberpihakannya pada kepentingan rakyat.

 

Lembaga masyarakat sipil yang terlibat dalam penyelenggaraan Mahkamah Rakyat Luar Biasa, antara lain (sesuai urutan abjad): AJI Indonesia, Arus Pelangi, ASEAN SOGIE Caucus, BEM FH UI, Enter Nusantara, Greenpeace Indonesia, ICW, Imparsial, JATAM, Jakartanicus, Kanopi Hijau Indonesia, KASBI, KontraS, LBH Bandung, LBH Jakarta, LBH Lampung, LBH Makassar, LBH Masyarakat, LBH Padang, LBH Palembang, LBH Semar, ya, LBH Yogyakarta, Purple Code, Satya Bum, Social Movement institute, Tim, Advokasi untuk Demokrasi (TAUD), Transmen Indonesia, Trend Asia, Watchdoc dan YLBHI.

 

 

Kontak media untuk wawancara dengan para pihak dalam persidangan silahkan menghubungi :

  • Juru Bicara Edy K. Wachid, Staf Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Nomor: (+62) 853 9512 2233

 

Lainnya

  • Siaran Mahkamah Rakyat dapat ditonton ulang melalui tautan: Sesi 1 dan Sesi 2.

  • Dokumen Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) dapat diunduh di sini.

  • Profil Penggugat, Saksi, Ahli, Tim Kuasa Hukum, dan Majelis Hakim Rakyat dapat diakses di sini.

  • Informasi selengkapnya dengan Mahkamah Rakyat dapat diakses melalui mahkamahrakyat.id

Tags
Writer Profile

KontraS

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan